Saya mulai melihat bentang alam ujung barat Nusa Tenggara Timur (NTT), dari jendela pesawat yang terbang makin rendah. Pulau-pulau dengan bukit-bukit gersang di tengah lautan biru sungguh cantik. Ada yang besar. Ada yang kecil. Ada juga beberapa bagian laut dangkal dengan terumbu karangnya samar-samar memikat mata.
Mendarat di Labuan Bajo
Pesawat pun mendarat. Di bandara yang sepi. Pesawat yang saya tumpangi adalah pesawat satu-satunya yang terlihat. Saya tak melihat yang lain. Mungkin parkirnya jauh. Atau karena tak seramai Ngurah Rai, tempat saya berangkat sebelumnya.
Saya tiba di Bandara Komodo. Di Labuan Bajo. Saat waktu sudah menunjukkan hampir jam sebelas siang. Inilah pintu gerbang Flores dari barat. Yang namanya kini makin berkibar. Yang diharapkan bisa melahirkan Bali yang baru. Makin mendunia menjadi tujuan wisata.
Labuan Bajo adalah sebuah desa yang kini telah menjadi kota di Kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT. Nama ini berasal dari sejarah Suku Bajo di Sulawesi. Yang berlabuh di pesisir barat pulau. Kurang lebih berarti tempat berlabuh orang-orang Bajo.
Jadi Labuan Bajo awalnya dihuni oleh suku Bajo. Suku dari Sulawesi yang terkenal sebagai pelaut. Lama kelamaan mereka berbaur dan hidup berdampingan dengan orang asli Flores.
Mencari Tempat Bermalam
Tak ada ojek dengan aplikasi di Labuan Bajo. Adanya ojek biasa. Ketika saya keluar dari bandara, belasan orang sudah menawarkan jasa. Ojek... Ojek... Taksi... Taksi... Begitu yang saya dengar.
Saya diantar ke sebuah hostel. Yang murah meriah. Yang satu kamar terdiri dari tujuh dipan bertingkat. Empat belas tempat tidur. Khusus untuk para pejalan. Atau backpacker. Cukuplah bagi saya, untuk istirahat melepas lelah.
Kamar saya tipenya mix. Alias campur. Bisa diisi cowok maupun cewek. Karena tamu sepi, saya hanya sendiri. Belum ada tamu lain. Sedangkan kamar sebelah khusus cewek. Semua tempat tidur terisi. Penuh. Hmmm...
Keliling Labuan Bajo dengan Motor
Saya memutuskan menyewa sepeda motor. Tak jauh dari tempat saya menginap. Mau keliling-keliling. Lihat-lihat suasana.
Labuan Bajo cukup ramai. Pusatnya di sepanjang Jalan Soekarno-Hatta. Jalan utama di sekitar pelabuhan. Ada banyak kios yang menjual paket-paket wisata. Toko. Kafe. Warung. Penginapan. Mesin ATM. Bank. Kantor Pos. Juga satu kedai kopi bermerek yang baru buka di sebuah pertokoan yang baru dibangun.
Kalau pernah ke Nusa Penida atau Lembongan di Bali, kurang lebih suasananya mirip. Hanya sedikit lebih luas dan sedikit lebih ramai. Jalan beraspal di pusat keramaian ini tak terlalu baik. Trotoar berlubang dan retak di sana-sini. Dan yang pasti, tetap berkesan kering. Gersang. Khas pesisir berbukit.
Jalanan Soekarno Hatta di Labuan Bajo satu arah. Memutar. Berkebalikan dengan arah jarum jam. Yang ramai ada di bawah, di pesisir pantai. Melintang dari barat ke timur. Lalu naik ke pinggang perbukitan yang lebih sepi. Arahnya berbalik lagi, dari timur ke barat.
Ke Bagian Barat dan Utara
Saya memacu motor ke arah barat dan utara. Keluar dari lingkaran Jalan Soekarno-Hatta. Naik turun bukit. Berkelok-kelok.
Pemandangan alam ujung barat Flores sungguh menawan. Perbukitannya ditumbuhi rumput-rumput ilalang yang tak hijau-hijau amat. Pohon-pohon lontar berdiri di sana-sini.
Nun jauh mata memandang, pulau-pulau mengapung di tengah laut biru. Kapal-kapal besar dan kecil memenuhi sepanjang pesisir pelabuhan. Udara panas. Gerah.
Di beberapa titik, beberapa orang berhenti. Ada wisatawan lokal Flores. Ada domestik luar Flores. Ada mancanegara juga. Termasuk saya. Ikut berswafoto. Di latar pemandangan yang sayang jika tak diabadikan.
Ironi Pariwisata
Saya melihat ada banyak lahan kosong dengan papan pengumuman : Land for Sale. Tanah ini dijual. Papan seperti ini jumlahnya lebih dari sepuluh. Itu yang saya lihat saja. Hanya ada satu yang berbeda bertuliskan Not for Sale, alias tidak dijual.
Di beberapa tempat, tanah-tanah gersang berbukit dibuka. Diratakan. Oleh mesin-mesin ekskavator. Untuk pembangunan resort-resort berbintang.
Sebagai daerah pariwisata yang diramalkan akan makin berkembang pesat, Labuan Bajo seperti gula. Ia mengundang banyak semut untuk mencari makan. Investasi besar-besaran datang. Jalan baru dibuat. Masih mulus. Berkelok-kelok di sisi utara kota.
Di satu sisi, ekonomi meningkat. Lapangan pekerjaan bertambah. Interaksi dengan dunia luar berkembang. Tapi di sisi lain, alih kepemilikan lahan juga bertambah.
Saya mendengar kabar bahwa kafe atau hotel di Labuan Bajo banyak dimiliki oleh orang asing. Bukan orang Indonesia. Dengan kontrak jangka panjang. Atau pembelian melalui tangan kedua.
Begitu juga dengan berhektar-hektar tanah. Atau pulau-pulau kecil. Banyak dimiliki secara pribadi. Oleh pejabat atau tokoh ternama di negeri ini. Silahkan dicari saja di internet. Ada banyak nama terkenal yang menanam uang di sini. Saya tak mau membahasnya lebih lanjut.
Minum Sopi di Tepi Pantai
Di pesisir Labuan Bajo bagian utara, ada sebuah pantai. Yang landai. Bukan laut dalam, seperti bagian selatan yang jadi pelabuhan. Saya mampir ke sana menjelang sore. Kebetulan lewat. Karena pantainya ramai.
Hampir semua pengunjungnya adalah warga lokal. Maksudnya lokal dari Manggarai, Flores. Ada yang berpasangan. Ada keluarga. Ada anak-anak muda. Menggelar tikar sambil makan-makan. Atau bermain di air.
Di satu sudut bawah pohon yang rindang, saya melihat belasan pemuda berkumpul. Bermain gitar dan bernyanyi. Lagunya tak saya kenal. Liriknya juga saya tak paham. Saya tebak, itu adalah lagu daerah Manggarai.
Iseng saya mampir. Berkenalan. Mereka menyambut ramah. Menawari untuk bergabung. Ayo Kakae, silahkan sopinya. Begitu kata mereka.
Salah satunya menyodorkan sopi dalam gelas plastik air mineral. Berisi tak sampai seperempatnya. Kurang lebih mungkin sekitar satu sloki. Saya teguk. Lumayan juga. Persis arak bali.
Sopi adalah minuman beralkohol tradisional dari Flores. Namanya disebut demikian di Manggarai atau Flores bagian barat. Kalau di bagian timur, biasa disebut moke. Sama saja. Sadapan dari pohon lontar atau enau yang diuapkan. Bisa juga dari kelapa.
Sopi berasal dari bahasa Belanda Zoopje. Yang artinya alkohol cair. Menjadi minuman tradisi di Flores. Menjadi simbol persahabatan dan persaudaraan. Pengisi acara-acara pesta. Tak ada pesta tanpa sopi.
Indonesia memang kaya minuman beragam. Jepang punya sake. Korea punya soju. Rusia punya vodka. Maka Indonesia punya arak, salah satunya adalah sopi di Flores ini. Kalau minum, jangan berlebihan.
Suasana para pemuda ini cair waktu saya bergabung. Mereka senang ketika saya videokan. Lagunya berganti menjadi Terlalu Manis, ciptaan Slank. Mungkin karena ada saya. Tapi lagu itu saya minta diganti saja. Saya meminta mereka menyanyikan lagu-lagu Manggarai lagi.
Siap! Lagu ini khusus untuk Bli Komang dari Bali, kata mereka. Cheers...!!! Saya menyambutnya dengan satu tegukan sopi lagi. Nyanyian mereka mengalun gembira. Penuh semangat. Dibayangi lamat-lamat suara ombak di pantai yang berderu pelan.
Memutar ke Timur
Tak sampai sejam saya bergabung dengan pemuda-pemuda Manggarai tadi. Saya pamit. Mau melanjutkan keliling-keliling.
Bandara Komodo kalau dilihat di peta dikelilingi jalan. Saya memutar di sebelah utaranya. Jalannya mulus. Karena masih baru.
Tapi ketika memasuki ke pemukiman penduduk, jalannya banyak yang rusak. Beberapa tahun ke depan, sepertinya infrastruktur Labuan Bajo akan semakin baik. Seiring ramainya ia menjadi tujuan wisata.
Menunggu Malam di Pelabuhan
Saya sampai lagi di seputaran Jalan Soekarno-Hatta ketika langit telah memerah. Kemudian celingukan mencari warung yang menjual es kelapa muda. Rasanya pasti segar sekali. Sedari tadi keliling, saya tak bawa air. Hanya sempat minum sopi.
Akhirnya satu buah kelapa muda saya teguk habis airnya. Sambil memandangi laut yang dipenuhi kapal. Banyak sekali. Berkerumun. Dari satu ujung ke ujung lainnya.
Perlahan-lahan langit makin redup. Berpendar keemasan. Matahari perlahan-lahan turun di balik pulau. Beberapa bocah Labuan Bajo mandi di tepi pelabuhan. Meloncat bergiliran dari atas jembatan.
Setelah malam menjelang, saya menghabiskan waktu di sebuah kedai kopi. Menikmati kopi flores. Sambil ngobrol dengan salah seorang pengunjung. Namanya Ade Rajesh. Namanya keindia-indiaan. Tapi ia dari Kupang. Orang Timor asli. Yang akan ke Maumere minggu depan. Kebetulan, saya juga akan di Maumere kala itu. Kami berjanji bertemu di sana nanti.
Dan gara-gara minum kopi, saya malah susah tidur. Tinggi juga kandungan kafein kopi dari Flores ini. Saya memaksakan diri untuk tetap memejamkan mata. Supaya cukup istirahat. Esok selama tiga hari ke depan, saya akan melaut. Mengarungi perairan Taman Nasional Komodo. []
I Komang Gde Subagia - Labuan Bajo, Mei 2019
Saya Ketika Mengunjungi Salah Satu Bukit di Labuan Bajo |
Mendarat di Labuan Bajo
Pesawat pun mendarat. Di bandara yang sepi. Pesawat yang saya tumpangi adalah pesawat satu-satunya yang terlihat. Saya tak melihat yang lain. Mungkin parkirnya jauh. Atau karena tak seramai Ngurah Rai, tempat saya berangkat sebelumnya.
Saya tiba di Bandara Komodo. Di Labuan Bajo. Saat waktu sudah menunjukkan hampir jam sebelas siang. Inilah pintu gerbang Flores dari barat. Yang namanya kini makin berkibar. Yang diharapkan bisa melahirkan Bali yang baru. Makin mendunia menjadi tujuan wisata.
Labuan Bajo adalah sebuah desa yang kini telah menjadi kota di Kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT. Nama ini berasal dari sejarah Suku Bajo di Sulawesi. Yang berlabuh di pesisir barat pulau. Kurang lebih berarti tempat berlabuh orang-orang Bajo.
Jadi Labuan Bajo awalnya dihuni oleh suku Bajo. Suku dari Sulawesi yang terkenal sebagai pelaut. Lama kelamaan mereka berbaur dan hidup berdampingan dengan orang asli Flores.
Sebuah Pesawat Komersial Terbang Rendah untuk Mendarat di Bandara Komodo |
Komodo, Ikon Kota Labuan Bajo |
Mencari Tempat Bermalam
Tak ada ojek dengan aplikasi di Labuan Bajo. Adanya ojek biasa. Ketika saya keluar dari bandara, belasan orang sudah menawarkan jasa. Ojek... Ojek... Taksi... Taksi... Begitu yang saya dengar.
Saya diantar ke sebuah hostel. Yang murah meriah. Yang satu kamar terdiri dari tujuh dipan bertingkat. Empat belas tempat tidur. Khusus untuk para pejalan. Atau backpacker. Cukuplah bagi saya, untuk istirahat melepas lelah.
Kamar saya tipenya mix. Alias campur. Bisa diisi cowok maupun cewek. Karena tamu sepi, saya hanya sendiri. Belum ada tamu lain. Sedangkan kamar sebelah khusus cewek. Semua tempat tidur terisi. Penuh. Hmmm...
Keliling Labuan Bajo dengan Motor
Saya memutuskan menyewa sepeda motor. Tak jauh dari tempat saya menginap. Mau keliling-keliling. Lihat-lihat suasana.
Labuan Bajo cukup ramai. Pusatnya di sepanjang Jalan Soekarno-Hatta. Jalan utama di sekitar pelabuhan. Ada banyak kios yang menjual paket-paket wisata. Toko. Kafe. Warung. Penginapan. Mesin ATM. Bank. Kantor Pos. Juga satu kedai kopi bermerek yang baru buka di sebuah pertokoan yang baru dibangun.
Kalau pernah ke Nusa Penida atau Lembongan di Bali, kurang lebih suasananya mirip. Hanya sedikit lebih luas dan sedikit lebih ramai. Jalan beraspal di pusat keramaian ini tak terlalu baik. Trotoar berlubang dan retak di sana-sini. Dan yang pasti, tetap berkesan kering. Gersang. Khas pesisir berbukit.
Jalanan Soekarno Hatta di Labuan Bajo satu arah. Memutar. Berkebalikan dengan arah jarum jam. Yang ramai ada di bawah, di pesisir pantai. Melintang dari barat ke timur. Lalu naik ke pinggang perbukitan yang lebih sepi. Arahnya berbalik lagi, dari timur ke barat.
Salah Satu Sudut Pandang Kota Labuan Bajo dari Sisi Atas |
Ke Bagian Barat dan Utara
Saya memacu motor ke arah barat dan utara. Keluar dari lingkaran Jalan Soekarno-Hatta. Naik turun bukit. Berkelok-kelok.
Pemandangan alam ujung barat Flores sungguh menawan. Perbukitannya ditumbuhi rumput-rumput ilalang yang tak hijau-hijau amat. Pohon-pohon lontar berdiri di sana-sini.
Nun jauh mata memandang, pulau-pulau mengapung di tengah laut biru. Kapal-kapal besar dan kecil memenuhi sepanjang pesisir pelabuhan. Udara panas. Gerah.
Di beberapa titik, beberapa orang berhenti. Ada wisatawan lokal Flores. Ada domestik luar Flores. Ada mancanegara juga. Termasuk saya. Ikut berswafoto. Di latar pemandangan yang sayang jika tak diabadikan.
Jalan yang Meliuk-liuk di Sela Perbukitan. Salah Satu Pemandangan di Labuan Bajo |
Ironi Pariwisata
Saya melihat ada banyak lahan kosong dengan papan pengumuman : Land for Sale. Tanah ini dijual. Papan seperti ini jumlahnya lebih dari sepuluh. Itu yang saya lihat saja. Hanya ada satu yang berbeda bertuliskan Not for Sale, alias tidak dijual.
Di beberapa tempat, tanah-tanah gersang berbukit dibuka. Diratakan. Oleh mesin-mesin ekskavator. Untuk pembangunan resort-resort berbintang.
Sebagai daerah pariwisata yang diramalkan akan makin berkembang pesat, Labuan Bajo seperti gula. Ia mengundang banyak semut untuk mencari makan. Investasi besar-besaran datang. Jalan baru dibuat. Masih mulus. Berkelok-kelok di sisi utara kota.
Di satu sisi, ekonomi meningkat. Lapangan pekerjaan bertambah. Interaksi dengan dunia luar berkembang. Tapi di sisi lain, alih kepemilikan lahan juga bertambah.
Saya mendengar kabar bahwa kafe atau hotel di Labuan Bajo banyak dimiliki oleh orang asing. Bukan orang Indonesia. Dengan kontrak jangka panjang. Atau pembelian melalui tangan kedua.
Begitu juga dengan berhektar-hektar tanah. Atau pulau-pulau kecil. Banyak dimiliki secara pribadi. Oleh pejabat atau tokoh ternama di negeri ini. Silahkan dicari saja di internet. Ada banyak nama terkenal yang menanam uang di sini. Saya tak mau membahasnya lebih lanjut.
Salah Satu Petak Tanah yang Dijual di Labuan Bajo |
Pembangunan Pusat Perbelanjaan Baru di Labuan Bajo |
Minum Sopi di Tepi Pantai
Di pesisir Labuan Bajo bagian utara, ada sebuah pantai. Yang landai. Bukan laut dalam, seperti bagian selatan yang jadi pelabuhan. Saya mampir ke sana menjelang sore. Kebetulan lewat. Karena pantainya ramai.
Hampir semua pengunjungnya adalah warga lokal. Maksudnya lokal dari Manggarai, Flores. Ada yang berpasangan. Ada keluarga. Ada anak-anak muda. Menggelar tikar sambil makan-makan. Atau bermain di air.
Pantai di Pesisir Labuan Bajo Bagian Utara |
Di satu sudut bawah pohon yang rindang, saya melihat belasan pemuda berkumpul. Bermain gitar dan bernyanyi. Lagunya tak saya kenal. Liriknya juga saya tak paham. Saya tebak, itu adalah lagu daerah Manggarai.
Iseng saya mampir. Berkenalan. Mereka menyambut ramah. Menawari untuk bergabung. Ayo Kakae, silahkan sopinya. Begitu kata mereka.
Salah satunya menyodorkan sopi dalam gelas plastik air mineral. Berisi tak sampai seperempatnya. Kurang lebih mungkin sekitar satu sloki. Saya teguk. Lumayan juga. Persis arak bali.
Sopi adalah minuman beralkohol tradisional dari Flores. Namanya disebut demikian di Manggarai atau Flores bagian barat. Kalau di bagian timur, biasa disebut moke. Sama saja. Sadapan dari pohon lontar atau enau yang diuapkan. Bisa juga dari kelapa.
Sopi berasal dari bahasa Belanda Zoopje. Yang artinya alkohol cair. Menjadi minuman tradisi di Flores. Menjadi simbol persahabatan dan persaudaraan. Pengisi acara-acara pesta. Tak ada pesta tanpa sopi.
Indonesia memang kaya minuman beragam. Jepang punya sake. Korea punya soju. Rusia punya vodka. Maka Indonesia punya arak, salah satunya adalah sopi di Flores ini. Kalau minum, jangan berlebihan.
Pohon Lontar Banyak Tumbuh di Perbukitan |
Suasana para pemuda ini cair waktu saya bergabung. Mereka senang ketika saya videokan. Lagunya berganti menjadi Terlalu Manis, ciptaan Slank. Mungkin karena ada saya. Tapi lagu itu saya minta diganti saja. Saya meminta mereka menyanyikan lagu-lagu Manggarai lagi.
Siap! Lagu ini khusus untuk Bli Komang dari Bali, kata mereka. Cheers...!!! Saya menyambutnya dengan satu tegukan sopi lagi. Nyanyian mereka mengalun gembira. Penuh semangat. Dibayangi lamat-lamat suara ombak di pantai yang berderu pelan.
Minum Sopi di Tepi Pantai Bareng Anak-anak Muda Manggarai |
Memutar ke Timur
Tak sampai sejam saya bergabung dengan pemuda-pemuda Manggarai tadi. Saya pamit. Mau melanjutkan keliling-keliling.
Bandara Komodo kalau dilihat di peta dikelilingi jalan. Saya memutar di sebelah utaranya. Jalannya mulus. Karena masih baru.
Tapi ketika memasuki ke pemukiman penduduk, jalannya banyak yang rusak. Beberapa tahun ke depan, sepertinya infrastruktur Labuan Bajo akan semakin baik. Seiring ramainya ia menjadi tujuan wisata.
Menunggu Malam di Pelabuhan
Saya sampai lagi di seputaran Jalan Soekarno-Hatta ketika langit telah memerah. Kemudian celingukan mencari warung yang menjual es kelapa muda. Rasanya pasti segar sekali. Sedari tadi keliling, saya tak bawa air. Hanya sempat minum sopi.
Akhirnya satu buah kelapa muda saya teguk habis airnya. Sambil memandangi laut yang dipenuhi kapal. Banyak sekali. Berkerumun. Dari satu ujung ke ujung lainnya.
Perlahan-lahan langit makin redup. Berpendar keemasan. Matahari perlahan-lahan turun di balik pulau. Beberapa bocah Labuan Bajo mandi di tepi pelabuhan. Meloncat bergiliran dari atas jembatan.
Bocah-bocah yang Mandi di Pelabuhan |
Senja di Labuan Bajo |
Saat Malam Menjelang, Ada Banyak Kuliner Sea Food di Tepi Pantai |
Setelah malam menjelang, saya menghabiskan waktu di sebuah kedai kopi. Menikmati kopi flores. Sambil ngobrol dengan salah seorang pengunjung. Namanya Ade Rajesh. Namanya keindia-indiaan. Tapi ia dari Kupang. Orang Timor asli. Yang akan ke Maumere minggu depan. Kebetulan, saya juga akan di Maumere kala itu. Kami berjanji bertemu di sana nanti.
Dan gara-gara minum kopi, saya malah susah tidur. Tinggi juga kandungan kafein kopi dari Flores ini. Saya memaksakan diri untuk tetap memejamkan mata. Supaya cukup istirahat. Esok selama tiga hari ke depan, saya akan melaut. Mengarungi perairan Taman Nasional Komodo. []
I Komang Gde Subagia - Labuan Bajo, Mei 2019
Comments
Post a Comment