Jalan setapak di perkebunan menanjak. Lalu turun lagi. Masuk ke persawahan. Masuk ke perkebunan. Kadang menyeberangi sungai. Berulang beberapa kali. Di beberapa jalur, jalanan berlumpur. Bebatuan di sana-sini. Udara cukup segar. Sesekali, Gunung Batukaru terlihat gagah berdiri nun jauh di utara sana.
Ini Adalah Gietman MTB 2019
Jam lima pagi, saya sudah menuju Selemadeg bersama Alit Arimbawa. Hari minggu kali ini, kami ikut sebuah kegiatan bersepeda gunung. Namanya Gietman Mountain Bike (MTB) 2019. Diinisiasi oleh Yayasan Atlit Nusantara (YAN).
Kegiatan Gietman MTB 2019 ini adalah kegiatannya yang kesembilan. Tapi untuk bersepeda gunung, ini adalah yang kedua. Jika yang kedua ini dilakukan di Selemadeg di Tabanan, yang pertama dilakukan di Kintamani di Bangli. Di Bali. Kegiatan lainnya, kebanyakan bersepeda on road.
Menurut laman situs YAN, Gietman ini berasal dari kata giet. Sebuah istilah dari bahasa Bali. Yang artinya bersemangat. Bersungguh-sungguh dalam melakukan sebuah aktivitas. Jika paham bahasa Bali, pasti mengerti dengan istilah megiet. Seperti itulah.
Pertama Kali Ikut
Ini adalah kali pertama saya ikut sebuah kegiatan olahraga umum. Bersepeda yang dikordinir oleh pihak lain. Dan resmi.
Awal mulanya karena diajak oleh teman-teman Komunitas GAS LPG alias Grup Anak Sepeda - Lemah Peteng Gowes : Ketut Toet Adnyana dan kawan-kawan. Tapi menjelang hari H, mereka semua berhalangan satu per satu.
Maka, saya yang belakangan ingin mendaftar dipersilahkan menggunakan tiket mereka. Lumayan. Dapat gratisan. Tak perlu daftar lagi.
Selemadeg, di Lereng Batukaru
Saya dan Alit sampai di Selemadeg sekitar jam tujuh pagi. Matahari belum tinggi. Cuaca cerah dan sejuk. Di lokasi, saya melihat para peserta sudah berdatangan. Ada yang membawa sepeda dengan mobil bak. Ada yang membawa sepeda dengan rak yang digantung di mobil. Juga ada yang membawa sepedanya dengan rak khusus untuk motor.
Selemadeg sendiri adalah sebuah desa di Kabupaten Tabanan, Bali. Sekaligus dipakai menjadi nama kecamatan. Yang sekarang telah dimekarkan menjadi tiga kecamatan : Selemadeg, Selemadeg Barat, dan Selemadeg Timur. Berada di lereng selatan Gunung Batukaru, gunung tertinggi kedua di Bali.
Kata pedagang bubur setempat ketika saya sarapan di sana, inilah Selemadeg yang asli. Di desa tempat Gietman MTB 2019 ini dilaksanakan. Di Banjar Bale Agung, Selemadeg.
Sebelum acara dimulai, saya menyempatkan diri untuk metirta di Pura Puseh yang berada tepat di seberang bale banjar. Ada beberapa pemangku pura yang sudah bersiap. Memercikkan tirta untuk para peserta supaya selamat dan sukses melakukan kegiatan.
Perjalanan Bersepeda Dimulai
Jam delapan pagi, kegiatan dimulai. Dibuka oleh Wayan Kertayasa yang merupakan Ketua YAN.
Jalur yang akan ditempuh sekitar 35 kilometer. Dengan elevasi 1000 meter. Batas waktu yang diberikan adalah 4 - 5 jam. Sebagai peserta, kami harus mengaktifkan Strava. Sebuah aplikasi untuk aktivitas olahraga.
Angka-angka di atas menunjukkan tingkat kesulitan. Bisa dibilang cukup sulit. Apalagi waktunya sangat terbatas. Mungkin karena ditujukan untuk atlet.
Untuk saya, jarak 35 kilometer sebenarnya tak masalah. Jika elevasi rendah dan jalanan aspal, waktu 4 jam sudah lebih dari cukup. Tapi ini bersepeda gunung. Jalur tentu tak mulus. Kemiringan curam.
Saya yang memiliki niat awal sebagai penggembira tak ambil pusing. Tahu diri dengan kapasitas pribadi. Walaupun targetnya 4 jam, saya sudah memperkirakan waktu tempuh akan lebih lama. Lagipula, saya berkegiatan di alam lebih mementingkan penjelajahan daripada perlombaan. Intinya, melihat-lihat daerah baru sambil refreshing.
Bertemu Teman SMA
Ada sekitar 150 peserta. Saya sendiri mendapatkan nomor punggung 111. Angka cantik. Warisan dari Wahyu Diatmika. Anggota GAS LPG. Yang posisinya saya gantikan. Dari tiket yang telah dibeli sebelumnya. Sementara Alit mendapatkan nomor punggung 112, warisan dari Ketut Toet Adnyana.
Kami mulai mengayuh. Ramai sekali di titik start. Saya tak buru-buru. Di belakang saja. Alit sudah di depan. Saya tak melihatnya lagi di kerumunan mereka yang bersepeda.
Di lima kilometer pertama, jalur masih menyusuri jalan desa. Menanjak sedikit demi sedikit. Melalui persawahan dan kebun-kebun penduduk. Suasana khas pedesaan di Tabanan.
Di dalam rombongan peserta terakhir, saya berpapasan dengan seorang teman SMA : Gusti Sugiastawa. Wah. Tanpa sengaja saya bertemu dengannya. Yang ternyata ikut kegiatan ini. Bersama teman-teman sekantornya. Jadilah kami ngobrol sebentar. Untuk kemudian berpisah.
Memasuki Single Trek Persawahan
Setelah melewati lima kilometer pertama, jalur mulai memasuki jalan setapak berupa tanah. Para pesepeda di dekat saya sudah mulai tak nampak. Sepi. Beberapa yang di belakang saya juga tak nampak. Pun sebagian besar sisanya yang lain, sudah jauh di depan. Saya santai saja.
Jalan menanjak perlahan. Awalnya di tengah kebun penduduk. Kemudian masuk ke persawahan. Di satu titik di pinggir sawah, saya melihat beberapa pemuda setempat sedang menaikkan layang-layang. Angin tak berhembus begitu kencang. Sepertinya mereka kesusahan menerbangkan bebean itu.
Panas matahari mulai terasa. Walaupun masih pagi, ini di tengah sawah. Tak ada pepohonan yang menaungi. Jalan setapak makin menyempit. Menyisakan satu lajur kecil untuk kendaraan roda dua saja. Kanan kirinya berupa rerumputan. Dengan di beberapa tempat ada bunga-bunga berwarna kuning menyembul di rerumputan hijau.
Ada yang Berbalik Arah
Baru saja saya hendak beristirahat, dua orang pesepeda saya lihat di depan menuju ke tempat saya. Berbalik arah menuju titik start tadi.
Saya mengira mereka enggan melanjutkan perjalanan karena sepeda yang mereka gunakan tak cocok. Mereka menggunakan road bike. Tipe sepeda untuk balapan. Saya hanya menyapa mereka ketika berpapasan.
Jalur Putus di Kilometer Kelima
Area persawahan di kilometer kelima ini akhirnya masuk lagi ke perkebunan penduduk. Jalan berlumpur. Karena ada aliran air kecil di samping setapak.
Di sebelah kanan saya adalah lembahan. Di kiri adalah punggungan bukit. Ketika mendaki punggungan bukit ini, sepeda harus diangkat. Tak bisa dikendarai. Jalur putus beberapa meter ke depan.
Saya mulai ngos-ngosan. Setelah menanjak dari awal, kini harus mengangkat sepeda. Mendaki. Ditambah perasaan yang ingin cepat-cepat supaya tak makin tertinggal. Merasa diburu oleh waktu membuat nafas makin cepat habis.
Fiuh... Selepas mengangkat sepeda dan menemui jalan setapak, saya memutuskan untuk istirahat. Suasana rindang di bawah pepohonan sungguh menggoda. Di naungan pohon cengkeh dan kelapa. Ada beberapa peserta yang sedang istirahat dan ditunggui panitia. Semangat! Begitu kata panitia pada saya.
Menyusuri Kebun dengan Bunga-bunga Liar
Sekitar lima menit beristirahat, saya melanjutkan perjalanan. Meninggalkan beberapa peserta dan panitia yang masih duduk.
Jalur di perkebunan penduduk ini rindang. Suara burung dan tonggeret terdengar dari pepohonan. Belasan meter berikutnya, jalur yang sebelumnya rumput menghijau berganti menjadi semak-semak rendah berbunga. Bunga-bunganya banyak. Berwarna kuning. Sangat mencolok di hamparannya yang menghijau.
Di kejauhan, saya mulai mendengar suara beberapa orang. Saya mengayuh sepeda lebih cepat. Walaupun tanjakan tak kunjung berhenti.
Di ujung jalan setapak, ada jalanan beraspal. Dengan beberapa sepeda motor yang sedang parkir. Beberapa orang peserta dan panitia saya lihat lagi di sini. Suara merekalah yang saya dengar tadi.
Saya berhenti sebentar untuk menstabilkan nafas. Lalu mengayuh lagi. Kqrena jalanan sudah beraspal, saya bisa mengayuh lebih cepat untuk mengejar ketertinggalan.
Memompa Ban yang Lembek
Mereka yang beristirahat melanjutkan perjalanan. Menyusul saya. Sambil mengatakan bahwa ban sepeda saya lembek. Sebaiknya dipompa dulu.
Saya pun berhenti. Mengeluarkan pompa. Salah seorang panitia tanpa diminta memompakan ban sepeda saya.
Kondisi ban ketika bersepeda haruslah tepat. Tekanan udaranya harus pas. Jika lembek, maka bisa dipastikan kayuhan kita akan semakin berat. Ini membuat tenaga kita akan cepat terkuras.
Naik Turun Lembah di Manikyang
Jalur Gietman di Selemadeg ini melalui beberapa desa. Selain Desa Selemadeg, desa lain yang dilalui adalah Pupuan Sawah, Manikyang, Wanagiri, dan Wanagiri Kauh.
Tak salah bahwa Tabanan disebut sebagai lumbung padinya Bali. Di Selemadeg ini, hamparan sawah menghijau menjadi pemandangan lazim. Membuat lelahnya mengayuh sepeda menjadi tak terasa.
Sedari selesai memompa ban sepeda, rute jalanan aspal ditempuh sejauh ratusan meter. Sampai akhirnya saya masuk ke sebuah jalan kecil di kilometer ketujuh.
Mulai dari sini, jalur memasuki perkebunan dan persawahan lagi. Naik dan turun memotong lembahan. Sesekali menyeberang sungai. Penanda arah sangat jelas terpasang di beberapa persimpangan.
Suasana masih sepi. Para peserta sepertinya sudah tersebar. Yang di belakang saya sudah tak terlihat. Yang di depan juga tak ada. Hanya sesekali saya berpapasan dengan beberapa peserta yang saya temui sebelumnya kala mereka beristirahat.
Tersusul Lagi di Wanagiri
Jika tadi sebelumnya saya melihat ada dua orang peserta yang berbalik arah di kilometer kelima, sekarang saya sudah melihat mereka menyusul saya lagi di kilometer kesebelas. Di wilayah Desa Wanagiri.
Gila! Kencang juga mereka mengayuh. Ditambah jalur yang naik turun serta medan yang berat.
Nantinya saya mengetahui bahwa mereka yang berbalik tadi adalah untuk menukar ban sepeda. Atlet-atlet yang memang serius mengikuti kegiatan ini untuk berlomba.
Dari Wanagiri dan Wanagiri Kauh
Dalam perjalanan sebagai rombongan pesepeda terakhir ini, saya berkenalan dengan salah seorang peserta. Namanya I Putu Juniarta. Asli dari Selemadeg.
Katanya ia ikut Gietman ini bareng teman-temannya. Yang lain sudah di depan. Daripada celaka karena memaksakan diri, lebih baik santai saja.
Pemandangan kawasan persawahan dan perkebunan di Wanagiri ini sungguh menawan. Hamparan padi menghijau. Serta perkebunan yang ditumbuhi cengkeh, coklat, manggis, dan kelapa. Masuk ke perkebunan, kemudian keluar lagi ke persawahan. Begitu terus. Sangat mantap.
Ketika jalur menuju arah utara, di wilayah Desa Wanagiri Kauh, Gunung Batukaru tampak tegak berdiri di kejauhan. Bunyi gemericik air di saluran irigasi menambah citarasa udara yang saya hirup. Sejuk dan segar. Bersepeda di tempat-tempat seperti ini sungguh menyenangkan.
Menyusuri Jalanan Beraspal Lagi
Di kilometer keduabelas, saya akhirnya sampai di sebuah dusun. Saya memasuki dusun ini dari sisi selatan. Di mana ada sebuah pura dengan pohon beringin besar.
Saya melihat beberapa rumah penduduk yang tak terlalu banyak. Dengan anak-anak yang sedang bermain dan menyapa saya. "Halo...", begitu kata mereka sambil tertawa.
Dari dusun ini, perjalanan saya lanjutkan. Menyusuri jalanan beraspal ke arah timur. Kembali menuju ke arah Desa Wanagiri. Kanan dan kiri masih berupa persawahan. Dengan sesekali perkebunan dengan pepohonannya yang rapat.
Jika dilihat pada peta, jalur yang telah saya tempuh sebenarnya berbentuk melingkar. Kurang lebih dari kilometer keempat, jalur menanjak ke arah utara. Lalu berbelok ke barat. Lalu ke utara lagi. Kemudian berbelok ke timur. Lalu akhirnya mengarah ke selatan sampai akhirnya sampai di sebuah persimpangan di kilometer kedelapanbelas. Lokasi kilometer kedelapanbelas ini tak jauh dari kilometer keempat sebelumnya.
Memasuki Single Trek Perkebunan yang Penuh Lumpur
Di kilometer keempatbelas, jalur beraspal yang saya tempuh berbelok ke jalan tanah. Menanjak. Dan sedikit berlumpur.
Saya mengayuh sepeda pelan-pelan. Sesekali menuntun. Semampunya saja. Di single trek perkebunan ini, jalur makin lama makin mengecil. Hanya setapak. Sepertinya hanya setapak untuk pejalan kaki. Di lumpur, saya melihat jejak-jejak ban sepeda. Pastinya bekas ban sepeda para peserta.
Medan naik dan turun. Menyeberangi sungai kecil tanpa jembatan. Ban sepeda yang menerobos air membuat cipratan ke mana-mana.
Area perkebunan kali ini memiliki banyak pohon kelapa. Beberapa pohon cengkeh dan kopi. Dengan rerumputan di bawahnya. Sepi. Setiap tanjakan tajam, sepeda selalu saya tuntun.
Di satu titik, saya mendengar raungan mesin pemotong rumput. Ada petani setempat yang sedang menyiangi kebun. Suara mesinnya nyaring. Sampai terdengar walaupun posisi saya jauh.
Di jalur yang tak jauh dari sungai, jalan berlumpur tebal. Jejak-jejak ban sepeda masih tampak jelas. Saya menerobosnya. Membuat sepeda dan kaki saya kecipratan lumpur.
Sampai akhirnya di titik lumpur yang paling tebal, dengan bebatuan yang banyak, sepeda saya tak bisa bergerak. Terhalang. Kaki saya mau tak mau harus tercelup ke lumpur. Basah. Dan kotor. Sepeda lalu saya angkat.
Dari tempat yang agak kering, barulah sepeda saya naiki lagi. Sampai akhirnya saya tiba di jalan beton. Di mana ada lapangan luas. Dengan sapi-sapi yang sedang merumput.
Menuju Break Point di Kilometer Ke-18
Tak jauh dari lapangan berumput tempat saya keluar dari single trek berlumpur, ada sebuah pura. Namanya Pura Luhur Aseman. Seorang panitia saya temui lagi di depan pura. "Sebentar lagi break point", katanya. Itu tempat istirahat yang disediakan panitia. Ia juga menawarkan kepada saya jalur memotong.
Kalau terus ke timur, saya bisa langsung sampai lebih cepat. Tak melalui break point. Tapi saya menolak. Selain karena memang ingin mengikuti jalur yang sudah seharusnya, air minum saya sudah habis. Harus diisi di break point.
Jalur yang saya lalui di persawahan dan perkebunan cukup panjang. Jika melalui perumahan penduduk, tak ada warung. Kalaupun ada warung, warungnya tutup. Saya sudah sangat haus. Sekaligus lapar. Tadi pagi hanya sarapan bubur.
Dari Pura Luhur Aseman, sepeda saya kayuh sekuat tenaga ke arah selatan. Arah ke selatan ini cenderung menurun. Jalannya kecil berupa beton. Saya bisa ngebut. Tak banyak hambatan.
Ada Upacara Adat
Akhirnya saya sampai di kilometer ke-18. Di sebuah perempatan jalan di Desa Manikyang.
Saat itu, sedang ada upacara di Pura Prapatan Agung. Puranya tepat di perempatan jalan itu. Masyarakat setempat sangat ramai. Para pecalang berjaga-jaga. Membuat saya harus menuntun sepeda menuju tempat break point. Tak sopan rasanya jika saya melewati mereka yang sedang upacara dengan tetap di atas sepeda.
Saat saya sampai di break point, waktu menunjukkan pukul sebelas lewat. Saya melihat ada panggilan tak terjawab di handphone. Dari Alit. Saya coba telepon balik, ternyata tak ada sinyal. Ya sudah. Saya memutuskan umtuk beristirahat dulu.
Di break point, telah disediakan pisang dan air minum. Juga minuman berenergi. Saya minum sampai puas. Ditambah tiga buah pisang. Cukup menambah stamina untuk melanjutkan perjalanan lagi.
Ragu, Antara Lanjut atau Langsung ke Finish
Waktu sudah hampir jam dua belas siang. Saya beristirahat cukup lama. Putu Juniarta yang sebelumnya di belakang saya memutuskan untuk langsung menuju finish. Begitu juga beberapa peserta yang lain. Memilih untuk langsung ke finish.
Titik break point ini dari keseluruhan jalur ada di tengah. Kilometer ke-18 akan bertemu dengan kilometer ke-30 di titik ini. Artinya dari kilometer ke-18 menuju kilometer ke-30 akan memutar lagi. Ke arah utara, lalu ke timur, lalu ke selatan.
Dan dari titik ini, tinggal melanjutkan perjalanan sejauh 5 kilometer lagi untuk mencapai titik finish.
Saya mulai ragu melihat beberapa peserta yang berbalik arah. Waktu menunjukkan hampir jam dua belas siang. Sedangkan kegiatan dibatasi sampai dua belas. Atau maksimal sampai jam satu. Kalau saya lanjut, kemungkinan membutuhkan waktu tiga sampai empat jam lagi.
Dengan berat hati saya pun akhirnya memutuskan untuk langsung menuju titik finish. Saya mengayuh santai saja karena tahu sudah tak dikejar waktu lagi. Beberapa pesepeda yang sudah menempuh seluruh jalur malah sudah berdatangan.
Istirahat Sambil Menunggu Alit
Jam dua belas lewat, saya sampai di Banjar Bale Agung Selemadeg. Titik finish. Acara penutupan baru saja dimulai. Makan siang dan pengumuman kejuaraan.
Gietman ini dilombakan hanya di beberapa kilometer saja. Diukur melalui aplikasi Strava yang harus diaktifkan oleh semua peserta. Siapa yang tercepat di kilometer yang dilombakan, dialah juaranya.
Juara ini terbagi menjadi beberapa katagori. Seperti elite, master, dan junior. Saya yang tak mengikuti seluruh jalur tentu tak bisa diperhitungkan lagi.
Menjelang jam dua siang, barulah Alit muncul. Terlambat. Ketika para peserta sudah banyak yang pulang dan panitia sedang membereskan perlengkapan. "Jalurnya sangat mantap, Jrot" katanya sambil terengah-engah. Selain itu, banyak peserta yang kakinya kram. Waduh...
Pulang untuk Kembali Lagi
Setelah berkemas, saya dan Alit memutuskan untuk pulang. Di mana sebelumnya kami ingin mencuci sepeda di sungai di sebelah barat desa ini. Tapi kami urungkan karena airnya keruh dan lokasinya curam.
Sampai kemudian saya menyetir mobil untuk pulang, saya tak melihat lagi Gusti Sugiastawa, teman SMA saya itu. Saya mengira ia sudah pulang duluan. Sampai akhirnya nanti di media sosial, saya ketahui bahwa ia dan teman-temannya sampai di finish jam tiga sore. Jauh lebih terlambat dari Alit.
Ternyata jalur dengan medan berat seperti di Selemadeg ini tak cukup untuk ditempuh dalam waktu 4 atau 5 jam saja. Bagi saya yang lebih mengutamakan penjelajahan dalam bersepeda, setidaknya jalur ini paling pas ditempuh pagi sampai sore.
Dengan waktu yang lebih lama, kita bisa beristirahat cukup. Bisa berinteraksi dengan masyarakat setempat. Mengamati kondisi alam sekitar. Atau mendokumentasikan kegiatan bersepeda ini melalui foto atau video.
Tapi tak mengapa. Walaupun tak seluruh jalur Gietman ini bisa saya tuntaskan, saya berhasrat untuk kembali lagi nanti. Menyusuri jalur yang tak sempat saya lalui.
Selain itu, saya bisa ikut mendukung program Selemadeg yang ingin membangkitkan perekonomiannya melalui wisata alam. Karena saya yakin, alam Selemadeg yang indah ini akan selalu menarik untuk dikunjungi. Asalkan alamnya selalu dijaga, untuk selalu tetap lestari. []
I Komang Gde Subagia - Selemadeg, April 2019
Foto diambil dari Facebook Page Gietman Foundation
Sepeda Saya yang penuh Lumpur Saat Ikut Gietman MTB 2019 |
Ini Adalah Gietman MTB 2019
Jam lima pagi, saya sudah menuju Selemadeg bersama Alit Arimbawa. Hari minggu kali ini, kami ikut sebuah kegiatan bersepeda gunung. Namanya Gietman Mountain Bike (MTB) 2019. Diinisiasi oleh Yayasan Atlit Nusantara (YAN).
Kegiatan Gietman MTB 2019 ini adalah kegiatannya yang kesembilan. Tapi untuk bersepeda gunung, ini adalah yang kedua. Jika yang kedua ini dilakukan di Selemadeg di Tabanan, yang pertama dilakukan di Kintamani di Bangli. Di Bali. Kegiatan lainnya, kebanyakan bersepeda on road.
Menurut laman situs YAN, Gietman ini berasal dari kata giet. Sebuah istilah dari bahasa Bali. Yang artinya bersemangat. Bersungguh-sungguh dalam melakukan sebuah aktivitas. Jika paham bahasa Bali, pasti mengerti dengan istilah megiet. Seperti itulah.
Pertama Kali Ikut
Ini adalah kali pertama saya ikut sebuah kegiatan olahraga umum. Bersepeda yang dikordinir oleh pihak lain. Dan resmi.
Awal mulanya karena diajak oleh teman-teman Komunitas GAS LPG alias Grup Anak Sepeda - Lemah Peteng Gowes : Ketut Toet Adnyana dan kawan-kawan. Tapi menjelang hari H, mereka semua berhalangan satu per satu.
Maka, saya yang belakangan ingin mendaftar dipersilahkan menggunakan tiket mereka. Lumayan. Dapat gratisan. Tak perlu daftar lagi.
Saya, Berpartisipasi dalam Gietman MTB 2019 Sebagai Penggembira |
Selemadeg, di Lereng Batukaru
Saya dan Alit sampai di Selemadeg sekitar jam tujuh pagi. Matahari belum tinggi. Cuaca cerah dan sejuk. Di lokasi, saya melihat para peserta sudah berdatangan. Ada yang membawa sepeda dengan mobil bak. Ada yang membawa sepeda dengan rak yang digantung di mobil. Juga ada yang membawa sepedanya dengan rak khusus untuk motor.
Selemadeg sendiri adalah sebuah desa di Kabupaten Tabanan, Bali. Sekaligus dipakai menjadi nama kecamatan. Yang sekarang telah dimekarkan menjadi tiga kecamatan : Selemadeg, Selemadeg Barat, dan Selemadeg Timur. Berada di lereng selatan Gunung Batukaru, gunung tertinggi kedua di Bali.
Peta Selemadeg di Pulau Bali |
Jalur Bersepeda Gietman MTB 2019 di Selemadeg |
Kata pedagang bubur setempat ketika saya sarapan di sana, inilah Selemadeg yang asli. Di desa tempat Gietman MTB 2019 ini dilaksanakan. Di Banjar Bale Agung, Selemadeg.
Sebelum acara dimulai, saya menyempatkan diri untuk metirta di Pura Puseh yang berada tepat di seberang bale banjar. Ada beberapa pemangku pura yang sudah bersiap. Memercikkan tirta untuk para peserta supaya selamat dan sukses melakukan kegiatan.
Perjalanan Bersepeda Dimulai
Jam delapan pagi, kegiatan dimulai. Dibuka oleh Wayan Kertayasa yang merupakan Ketua YAN.
Jalur yang akan ditempuh sekitar 35 kilometer. Dengan elevasi 1000 meter. Batas waktu yang diberikan adalah 4 - 5 jam. Sebagai peserta, kami harus mengaktifkan Strava. Sebuah aplikasi untuk aktivitas olahraga.
Angka-angka di atas menunjukkan tingkat kesulitan. Bisa dibilang cukup sulit. Apalagi waktunya sangat terbatas. Mungkin karena ditujukan untuk atlet.
Untuk saya, jarak 35 kilometer sebenarnya tak masalah. Jika elevasi rendah dan jalanan aspal, waktu 4 jam sudah lebih dari cukup. Tapi ini bersepeda gunung. Jalur tentu tak mulus. Kemiringan curam.
Para Pemangku Pura Puseh Memercikkan Tirta kepada Para Peserta |
Perjalanan di Lima Kilometer Pertama di Desa Selemadeg |
Saya yang memiliki niat awal sebagai penggembira tak ambil pusing. Tahu diri dengan kapasitas pribadi. Walaupun targetnya 4 jam, saya sudah memperkirakan waktu tempuh akan lebih lama. Lagipula, saya berkegiatan di alam lebih mementingkan penjelajahan daripada perlombaan. Intinya, melihat-lihat daerah baru sambil refreshing.
Bertemu Teman SMA
Ada sekitar 150 peserta. Saya sendiri mendapatkan nomor punggung 111. Angka cantik. Warisan dari Wahyu Diatmika. Anggota GAS LPG. Yang posisinya saya gantikan. Dari tiket yang telah dibeli sebelumnya. Sementara Alit mendapatkan nomor punggung 112, warisan dari Ketut Toet Adnyana.
Kami mulai mengayuh. Ramai sekali di titik start. Saya tak buru-buru. Di belakang saja. Alit sudah di depan. Saya tak melihatnya lagi di kerumunan mereka yang bersepeda.
Di lima kilometer pertama, jalur masih menyusuri jalan desa. Menanjak sedikit demi sedikit. Melalui persawahan dan kebun-kebun penduduk. Suasana khas pedesaan di Tabanan.
Di dalam rombongan peserta terakhir, saya berpapasan dengan seorang teman SMA : Gusti Sugiastawa. Wah. Tanpa sengaja saya bertemu dengannya. Yang ternyata ikut kegiatan ini. Bersama teman-teman sekantornya. Jadilah kami ngobrol sebentar. Untuk kemudian berpisah.
Memasuki Single Trek Persawahan
Setelah melewati lima kilometer pertama, jalur mulai memasuki jalan setapak berupa tanah. Para pesepeda di dekat saya sudah mulai tak nampak. Sepi. Beberapa yang di belakang saya juga tak nampak. Pun sebagian besar sisanya yang lain, sudah jauh di depan. Saya santai saja.
Jalan menanjak perlahan. Awalnya di tengah kebun penduduk. Kemudian masuk ke persawahan. Di satu titik di pinggir sawah, saya melihat beberapa pemuda setempat sedang menaikkan layang-layang. Angin tak berhembus begitu kencang. Sepertinya mereka kesusahan menerbangkan bebean itu.
Jalur Melalui Persawahan di Desa Pupuan Sawah |
Panas matahari mulai terasa. Walaupun masih pagi, ini di tengah sawah. Tak ada pepohonan yang menaungi. Jalan setapak makin menyempit. Menyisakan satu lajur kecil untuk kendaraan roda dua saja. Kanan kirinya berupa rerumputan. Dengan di beberapa tempat ada bunga-bunga berwarna kuning menyembul di rerumputan hijau.
Ada yang Berbalik Arah
Baru saja saya hendak beristirahat, dua orang pesepeda saya lihat di depan menuju ke tempat saya. Berbalik arah menuju titik start tadi.
Saya mengira mereka enggan melanjutkan perjalanan karena sepeda yang mereka gunakan tak cocok. Mereka menggunakan road bike. Tipe sepeda untuk balapan. Saya hanya menyapa mereka ketika berpapasan.
Jalur Putus di Kilometer Kelima
Area persawahan di kilometer kelima ini akhirnya masuk lagi ke perkebunan penduduk. Jalan berlumpur. Karena ada aliran air kecil di samping setapak.
Di sebelah kanan saya adalah lembahan. Di kiri adalah punggungan bukit. Ketika mendaki punggungan bukit ini, sepeda harus diangkat. Tak bisa dikendarai. Jalur putus beberapa meter ke depan.
Saya mulai ngos-ngosan. Setelah menanjak dari awal, kini harus mengangkat sepeda. Mendaki. Ditambah perasaan yang ingin cepat-cepat supaya tak makin tertinggal. Merasa diburu oleh waktu membuat nafas makin cepat habis.
Fiuh... Selepas mengangkat sepeda dan menemui jalan setapak, saya memutuskan untuk istirahat. Suasana rindang di bawah pepohonan sungguh menggoda. Di naungan pohon cengkeh dan kelapa. Ada beberapa peserta yang sedang istirahat dan ditunggui panitia. Semangat! Begitu kata panitia pada saya.
Menyusuri Kebun dengan Bunga-bunga Liar
Sekitar lima menit beristirahat, saya melanjutkan perjalanan. Meninggalkan beberapa peserta dan panitia yang masih duduk.
Jalur di perkebunan penduduk ini rindang. Suara burung dan tonggeret terdengar dari pepohonan. Belasan meter berikutnya, jalur yang sebelumnya rumput menghijau berganti menjadi semak-semak rendah berbunga. Bunga-bunganya banyak. Berwarna kuning. Sangat mencolok di hamparannya yang menghijau.
Di kejauhan, saya mulai mendengar suara beberapa orang. Saya mengayuh sepeda lebih cepat. Walaupun tanjakan tak kunjung berhenti.
Di ujung jalan setapak, ada jalanan beraspal. Dengan beberapa sepeda motor yang sedang parkir. Beberapa orang peserta dan panitia saya lihat lagi di sini. Suara merekalah yang saya dengar tadi.
Saya berhenti sebentar untuk menstabilkan nafas. Lalu mengayuh lagi. Kqrena jalanan sudah beraspal, saya bisa mengayuh lebih cepat untuk mengejar ketertinggalan.
Memompa Ban yang Lembek
Mereka yang beristirahat melanjutkan perjalanan. Menyusul saya. Sambil mengatakan bahwa ban sepeda saya lembek. Sebaiknya dipompa dulu.
Saya pun berhenti. Mengeluarkan pompa. Salah seorang panitia tanpa diminta memompakan ban sepeda saya.
Kondisi ban ketika bersepeda haruslah tepat. Tekanan udaranya harus pas. Jika lembek, maka bisa dipastikan kayuhan kita akan semakin berat. Ini membuat tenaga kita akan cepat terkuras.
Naik Turun Lembah di Manikyang
Jalur Gietman di Selemadeg ini melalui beberapa desa. Selain Desa Selemadeg, desa lain yang dilalui adalah Pupuan Sawah, Manikyang, Wanagiri, dan Wanagiri Kauh.
Tak salah bahwa Tabanan disebut sebagai lumbung padinya Bali. Di Selemadeg ini, hamparan sawah menghijau menjadi pemandangan lazim. Membuat lelahnya mengayuh sepeda menjadi tak terasa.
Sedari selesai memompa ban sepeda, rute jalanan aspal ditempuh sejauh ratusan meter. Sampai akhirnya saya masuk ke sebuah jalan kecil di kilometer ketujuh.
Mulai dari sini, jalur memasuki perkebunan dan persawahan lagi. Naik dan turun memotong lembahan. Sesekali menyeberang sungai. Penanda arah sangat jelas terpasang di beberapa persimpangan.
Sesekali, Jalur menyeberangi Sungai-sungai Kecil Seperti Ini |
Suasana masih sepi. Para peserta sepertinya sudah tersebar. Yang di belakang saya sudah tak terlihat. Yang di depan juga tak ada. Hanya sesekali saya berpapasan dengan beberapa peserta yang saya temui sebelumnya kala mereka beristirahat.
Tersusul Lagi di Wanagiri
Jika tadi sebelumnya saya melihat ada dua orang peserta yang berbalik arah di kilometer kelima, sekarang saya sudah melihat mereka menyusul saya lagi di kilometer kesebelas. Di wilayah Desa Wanagiri.
Gila! Kencang juga mereka mengayuh. Ditambah jalur yang naik turun serta medan yang berat.
Nantinya saya mengetahui bahwa mereka yang berbalik tadi adalah untuk menukar ban sepeda. Atlet-atlet yang memang serius mengikuti kegiatan ini untuk berlomba.
Dari Wanagiri dan Wanagiri Kauh
Dalam perjalanan sebagai rombongan pesepeda terakhir ini, saya berkenalan dengan salah seorang peserta. Namanya I Putu Juniarta. Asli dari Selemadeg.
Katanya ia ikut Gietman ini bareng teman-temannya. Yang lain sudah di depan. Daripada celaka karena memaksakan diri, lebih baik santai saja.
Pemandangan kawasan persawahan dan perkebunan di Wanagiri ini sungguh menawan. Hamparan padi menghijau. Serta perkebunan yang ditumbuhi cengkeh, coklat, manggis, dan kelapa. Masuk ke perkebunan, kemudian keluar lagi ke persawahan. Begitu terus. Sangat mantap.
Menyusuri Perkebunan Penduduk |
Ketika jalur menuju arah utara, di wilayah Desa Wanagiri Kauh, Gunung Batukaru tampak tegak berdiri di kejauhan. Bunyi gemericik air di saluran irigasi menambah citarasa udara yang saya hirup. Sejuk dan segar. Bersepeda di tempat-tempat seperti ini sungguh menyenangkan.
Menyusuri Jalanan Beraspal Lagi
Di kilometer keduabelas, saya akhirnya sampai di sebuah dusun. Saya memasuki dusun ini dari sisi selatan. Di mana ada sebuah pura dengan pohon beringin besar.
Saya melihat beberapa rumah penduduk yang tak terlalu banyak. Dengan anak-anak yang sedang bermain dan menyapa saya. "Halo...", begitu kata mereka sambil tertawa.
Dari dusun ini, perjalanan saya lanjutkan. Menyusuri jalanan beraspal ke arah timur. Kembali menuju ke arah Desa Wanagiri. Kanan dan kiri masih berupa persawahan. Dengan sesekali perkebunan dengan pepohonannya yang rapat.
Jika dilihat pada peta, jalur yang telah saya tempuh sebenarnya berbentuk melingkar. Kurang lebih dari kilometer keempat, jalur menanjak ke arah utara. Lalu berbelok ke barat. Lalu ke utara lagi. Kemudian berbelok ke timur. Lalu akhirnya mengarah ke selatan sampai akhirnya sampai di sebuah persimpangan di kilometer kedelapanbelas. Lokasi kilometer kedelapanbelas ini tak jauh dari kilometer keempat sebelumnya.
Memasuki Single Trek Perkebunan yang Penuh Lumpur
Di kilometer keempatbelas, jalur beraspal yang saya tempuh berbelok ke jalan tanah. Menanjak. Dan sedikit berlumpur.
Saya mengayuh sepeda pelan-pelan. Sesekali menuntun. Semampunya saja. Di single trek perkebunan ini, jalur makin lama makin mengecil. Hanya setapak. Sepertinya hanya setapak untuk pejalan kaki. Di lumpur, saya melihat jejak-jejak ban sepeda. Pastinya bekas ban sepeda para peserta.
Medan naik dan turun. Menyeberangi sungai kecil tanpa jembatan. Ban sepeda yang menerobos air membuat cipratan ke mana-mana.
Area perkebunan kali ini memiliki banyak pohon kelapa. Beberapa pohon cengkeh dan kopi. Dengan rerumputan di bawahnya. Sepi. Setiap tanjakan tajam, sepeda selalu saya tuntun.
Di jalur yang tak jauh dari sungai, jalan berlumpur tebal. Jejak-jejak ban sepeda masih tampak jelas. Saya menerobosnya. Membuat sepeda dan kaki saya kecipratan lumpur.
Menyusuri Setapak yang Berlumpur |
Jalanan Cukup Terjal dan Licin di Sepanjang Jalur Gietman MTB 2019 |
Sampai akhirnya di titik lumpur yang paling tebal, dengan bebatuan yang banyak, sepeda saya tak bisa bergerak. Terhalang. Kaki saya mau tak mau harus tercelup ke lumpur. Basah. Dan kotor. Sepeda lalu saya angkat.
Dari tempat yang agak kering, barulah sepeda saya naiki lagi. Sampai akhirnya saya tiba di jalan beton. Di mana ada lapangan luas. Dengan sapi-sapi yang sedang merumput.
Menuju Break Point di Kilometer Ke-18
Tak jauh dari lapangan berumput tempat saya keluar dari single trek berlumpur, ada sebuah pura. Namanya Pura Luhur Aseman. Seorang panitia saya temui lagi di depan pura. "Sebentar lagi break point", katanya. Itu tempat istirahat yang disediakan panitia. Ia juga menawarkan kepada saya jalur memotong.
Kalau terus ke timur, saya bisa langsung sampai lebih cepat. Tak melalui break point. Tapi saya menolak. Selain karena memang ingin mengikuti jalur yang sudah seharusnya, air minum saya sudah habis. Harus diisi di break point.
Jalur yang saya lalui di persawahan dan perkebunan cukup panjang. Jika melalui perumahan penduduk, tak ada warung. Kalaupun ada warung, warungnya tutup. Saya sudah sangat haus. Sekaligus lapar. Tadi pagi hanya sarapan bubur.
Dari Pura Luhur Aseman, sepeda saya kayuh sekuat tenaga ke arah selatan. Arah ke selatan ini cenderung menurun. Jalannya kecil berupa beton. Saya bisa ngebut. Tak banyak hambatan.
Ada Upacara Adat
Akhirnya saya sampai di kilometer ke-18. Di sebuah perempatan jalan di Desa Manikyang.
Saat itu, sedang ada upacara di Pura Prapatan Agung. Puranya tepat di perempatan jalan itu. Masyarakat setempat sangat ramai. Para pecalang berjaga-jaga. Membuat saya harus menuntun sepeda menuju tempat break point. Tak sopan rasanya jika saya melewati mereka yang sedang upacara dengan tetap di atas sepeda.
Saat saya sampai di break point, waktu menunjukkan pukul sebelas lewat. Saya melihat ada panggilan tak terjawab di handphone. Dari Alit. Saya coba telepon balik, ternyata tak ada sinyal. Ya sudah. Saya memutuskan umtuk beristirahat dulu.
Di break point, telah disediakan pisang dan air minum. Juga minuman berenergi. Saya minum sampai puas. Ditambah tiga buah pisang. Cukup menambah stamina untuk melanjutkan perjalanan lagi.
Ragu, Antara Lanjut atau Langsung ke Finish
Waktu sudah hampir jam dua belas siang. Saya beristirahat cukup lama. Putu Juniarta yang sebelumnya di belakang saya memutuskan untuk langsung menuju finish. Begitu juga beberapa peserta yang lain. Memilih untuk langsung ke finish.
Titik break point ini dari keseluruhan jalur ada di tengah. Kilometer ke-18 akan bertemu dengan kilometer ke-30 di titik ini. Artinya dari kilometer ke-18 menuju kilometer ke-30 akan memutar lagi. Ke arah utara, lalu ke timur, lalu ke selatan.
Dan dari titik ini, tinggal melanjutkan perjalanan sejauh 5 kilometer lagi untuk mencapai titik finish.
Beberapa Jalur yang Menyeberangi Sungai |
Saya mulai ragu melihat beberapa peserta yang berbalik arah. Waktu menunjukkan hampir jam dua belas siang. Sedangkan kegiatan dibatasi sampai dua belas. Atau maksimal sampai jam satu. Kalau saya lanjut, kemungkinan membutuhkan waktu tiga sampai empat jam lagi.
Dengan berat hati saya pun akhirnya memutuskan untuk langsung menuju titik finish. Saya mengayuh santai saja karena tahu sudah tak dikejar waktu lagi. Beberapa pesepeda yang sudah menempuh seluruh jalur malah sudah berdatangan.
Istirahat Sambil Menunggu Alit
Jam dua belas lewat, saya sampai di Banjar Bale Agung Selemadeg. Titik finish. Acara penutupan baru saja dimulai. Makan siang dan pengumuman kejuaraan.
Gietman ini dilombakan hanya di beberapa kilometer saja. Diukur melalui aplikasi Strava yang harus diaktifkan oleh semua peserta. Siapa yang tercepat di kilometer yang dilombakan, dialah juaranya.
Juara ini terbagi menjadi beberapa katagori. Seperti elite, master, dan junior. Saya yang tak mengikuti seluruh jalur tentu tak bisa diperhitungkan lagi.
Menjelang jam dua siang, barulah Alit muncul. Terlambat. Ketika para peserta sudah banyak yang pulang dan panitia sedang membereskan perlengkapan. "Jalurnya sangat mantap, Jrot" katanya sambil terengah-engah. Selain itu, banyak peserta yang kakinya kram. Waduh...
Pulang untuk Kembali Lagi
Setelah berkemas, saya dan Alit memutuskan untuk pulang. Di mana sebelumnya kami ingin mencuci sepeda di sungai di sebelah barat desa ini. Tapi kami urungkan karena airnya keruh dan lokasinya curam.
Sampai kemudian saya menyetir mobil untuk pulang, saya tak melihat lagi Gusti Sugiastawa, teman SMA saya itu. Saya mengira ia sudah pulang duluan. Sampai akhirnya nanti di media sosial, saya ketahui bahwa ia dan teman-temannya sampai di finish jam tiga sore. Jauh lebih terlambat dari Alit.
Ternyata jalur dengan medan berat seperti di Selemadeg ini tak cukup untuk ditempuh dalam waktu 4 atau 5 jam saja. Bagi saya yang lebih mengutamakan penjelajahan dalam bersepeda, setidaknya jalur ini paling pas ditempuh pagi sampai sore.
Dengan waktu yang lebih lama, kita bisa beristirahat cukup. Bisa berinteraksi dengan masyarakat setempat. Mengamati kondisi alam sekitar. Atau mendokumentasikan kegiatan bersepeda ini melalui foto atau video.
Tapi tak mengapa. Walaupun tak seluruh jalur Gietman ini bisa saya tuntaskan, saya berhasrat untuk kembali lagi nanti. Menyusuri jalur yang tak sempat saya lalui.
Selain itu, saya bisa ikut mendukung program Selemadeg yang ingin membangkitkan perekonomiannya melalui wisata alam. Karena saya yakin, alam Selemadeg yang indah ini akan selalu menarik untuk dikunjungi. Asalkan alamnya selalu dijaga, untuk selalu tetap lestari. []
I Komang Gde Subagia - Selemadeg, April 2019
Foto diambil dari Facebook Page Gietman Foundation
Comments
Post a Comment