Skip to main content

Gowes Panas-panasan, Denpasar - Abiansemal

Di Tepi Petak Sawah Persawahan Subak Anggabaya yang Berisi Bunga-bunga Lotus

Pagi-pagi benar saya sudah menyiapkan sepeda. Membersihkannya dari debu. Kemudian memasangnya pada rak gantung di mobil. Cukup menghabiskan waktu.

Di lain tempat, dua rekan saya sudah memanggil-manggil melalui Whats App. Mereka adalah Dwiana Putra, alias Ufo. Dan Alit Arimbawa. Dua rekan saya semasa kuliah di Bandung. Juga rekan sekantor dan sekos di Jakarta. Yang kini kami semua sudah tinggal di Bali.

Saya berjanji pada Alit akan bersepeda bersama. Dimulai dari Subak Sembung di Peguyangan. Alit yang tinggal di Peguyangan, menunggu saya di sana. Sedangkan Ufo memilih untuk menunggu kami di perempatan lampu merah. Tak jauh pula dari Subak Sembung.

Jam tujuh pagi, perjalanan bersepeda dimulai. Terlambat satu jam dari rencana. Ufo manyun. Sepertinya kesal. Tapi kesalnya tak tersalurkan karena saya cuekin. Perjalanan dimulai agak siang. Ia tak suka. Tapi mau bagaimana lagi. Sudah terlanjur terlambat. Lagian tak siang-siang amat.

Jalur sepeda kali ini diatur oleh Ufo. Ia yang menyiapkannya. Menuju Sangeh. Yang jaraknya sekitar 16 kilometer dari titik awal kami. Itu jika dihitung jaraknya di jalan raya utama. Jika di jalur persawahan dan jalan-jalan kecil, sekaligus beberapa jalur yang memutar; jaraknya lebih jauh lagi. Nantinya, jarak total yang kami tempuh sekitar 48 kilometer pergi pulang. Alit yang merekamnya di Strava.

Peta Lokasi Jalur Bersepeda di Denpasar Utara dan Abiansemal (Gambar Diambil dari Google)

* * *

Peta Lokasi Jalur Bersepeda di Denpasar Utara dan Abiansemal yang Diperbesar
(Gambar Diambil dari Google)


Diawali dari Subak Sembung

Kawasan Subak Sembung adalah area persawahan di Kelurahan Peguyangan, Denpasar. Ada jalan berpaving di tengahnya. Melingkar mengelilingi persawahan. Tempat yang ideal bagi warga di sekitar Peguyangan untuk berolahraga.

Dari Subak Sembung perjalanan dimulai menuju ke timur. Menuju Jalan Cekomaria di Desa Peguyangan Kangin. Kami menyusuri jalan aspal yang sudah mulai ramai. Pagi masih sejuk. Matahari belum tinggi. Persawahan di tepian Jalan Cekomaria menghijau. Di beberapa titik ada satu atau dua bangunan yang sedang dalam proses pengerjaan. Padahal ada papan petunjuk bahwa itu adalah jalur hijau.

Melalui Subak Anggabaya

Setelah mengayuh sejauh empat kilometer di jalanan beraspal, kami tiba di Desa Jagapati. Ini sudah memasuki wilayah Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. Di sinilah jalur area persawahan dimulai. Tepatnya di area persawahan Subak Anggabaya.

Di persawahan ini, jalur berpaving rapi. Di sini merupakan kawasan jogging track juga. Karena masih pagi, banyak orang yang sedang olah raga. Juga beberapa petani di tengah sawah yang sedang memotong rumput dan membajak tanah dengan traktor. Saya mengayuh sepeda dengan santai. Mengikuti Alit dan Ufo yang lebih dulu di depan. Supaya rekaman video dari kamera aksi saya lebih baik.

Pemandangan di persawahan Subak Anggabaya di pagi hari sungguh cantik. Di subak ini, padi baru ditanam. Ada juga lahannya yang masih berupa genangan air. Di beberapa petak sawah, ada bunga-bunga lotus berwarna merah dan jingga. Langit biru bersih. Gumpalan-gumpalan awan hanya sedikit. Nun jauh di arah timur laut, terlihat Gunung Agung tinggi menjulang. Juga perbukitan yang lebih rendah di sekitarnya. Di arah barat laut, Pegunungan Batukaru berbaris memanjang.

Kami berhenti dan mengambil beberapa foto di tempat ini. Menggunakan kamera dari HPnya Alit. HPnya bagus. Kualitas gambar yang dihasilkannya setara kamera SLR. Saya jadi kepincut dengan HP tersebut. Sayang, harganya mahal. Seharga satu sepeda motor.

Tanaman Bunga Lotus di Persawahan Subak Anggabaya,
Salah Satu Komoditas Hasil Pertanian di Bali (Foto Diambil di Waktu yang Berbeda, Saat Banyak Awan di Langit)

Saya dan Alit
Dengan Latar Belakang Persawahan dan Pegunungan Batukaru di Kejauhan


Jauh ke arah utara di persawahan Subak Anggabaya ini, jalan setapak mulai tak terawat. Jogging track tak sampai di sini. Rumput-rumput mulai meninggi. Jalurnya berupa setapak dengan genangan air di beberapa titik sisa hujan semalam. Beberapa petani yang mengendarai sepeda motor berpapasan dengan kami. Jalur setapak di area persawahan ini memang jalur petani.

Lewat Sibang Gede, Sedang, dan Mambal

Beberapa kilometer ke utara, kami akhirnya tiba di Jalan Raya Sibang Gede - Angantaka. Kami menyeberang. Masuk ke area persawahan lagi. Saya tak tahu, kawasan subak apa namanya. Yang pasti berada di wilayah Desa Sibang Gede dan Desa Sedang.

Kali ini tak ada jogging track. Hanya setapak biasa. Dengan beberapa sampah plastik di dekat lorong air yang mengalir di bawah jalan raya. Sepertinya sampah-sampah tersebut menyumbat aliran air dan diangkat oleh petani setempat.

Persawahan di Sibang Gede dan Sedang ini biasa saja. Sama seperti di Subak Anggabaya. Persawahan dalam kondisi pasca panen. Atau persiapan musim tanam. Beberapa petak ada padi menguning. Tak ada taman bunga lotus. Yang ada malah petak-petak dengan tanaman bunga kenanga. Bunga yang namanya diambil dari bahasa latinnya, Cananga. Di Bali, bunga ini disebut sandat.

Saya mulai lapar. Tadi pagi saya hanya sarapan pisang di rumah. Ufo mengajak untuk istirahat saja di sebuah mini market. Di Jalan Raya Mambal yang akan kami lewati nanti. Alit setuju.

Maka kami pun terus mengayuh. Sesaat keluar ke sebuah jalan raya. Jalan Raya Krasan. Menyusurinya hanya beberapa meter untuk kemudian masuk lagi ke persawahan. Saya tak tahu kenapa Ufo memilih jalur ke sini. Padahal untuk menuju Jalan Raya Mambal, jalur masih bisa diatur untuk tetap berada di tengah persawahan.

Akhirnya kami tiba di sebuah mini market. Di wilayah perbatasan Desa Mekar Buana dan Desa Mambal. Saya membeli minum dan beristirahat. Sambil makan pisang yang saya bawa sebagai bekal. Pas jumlahnya tiga. Masing-masing dapat satu. Sayang, 'teman-teman' kami di Sangeh tak kebagian nantinya.

Bertemu Rombongan Pesepeda

Di mini market ini, kami berjumpa rombongan pesepeda yang sedang beristirahat. Mereka dari Denpasar juga. Salah satunya mengatakan mereka bersepeda sejak pagi dari Banjar Gerenceng di Kota Denpasar. Mereka juga menuju Sangeh. Sama seperti kami. Karena sama-sama bersepeda, kami jadi akrab ngobrol.

Saya membayangkan jika kami naik kendaraan bermotor. Tak mungkin rasanya ngobrol akrab. Hobi memang bisa menyatukan orang. Membentuk rasa persaudaraan. Mungkin karena merasa senasib di jalan. Tak hanya pesepeda. Lihat saja bagaimana para pejalan seperti para pendaki gunung, pengguna vespa, jeep, land rover, atau sesama sopir truk jarak jauh. Jika bertemu, keakraban terjalin.

Menuju Abiansemal dan Blahkiuh

Sekitar lima belas menit beristirahat, perjalanan kami lanjutkan. Tak lupa berpamitan dengan rombongan pesepeda tadi. Jalur berikutnya berupa jalan setapak yang tepat berada di samping mini market. Ke arah utara. Masuk ke perumahan warga untuk selanjutnya memasuki area persawahan Desa Mambal.

Hari mulai beranjak siang. Udara mulai bertambah panas. Tapi perut sudah diisi pisang. Tenaga bertambah. Sehingga beberapa tanjakan yang ada di persawahan Mambal ini bisa saya libas dengan semangat.

Jalan setapak keluar di Jalan Raya Semana. Kami menyusurinya beberapa puluh meter. Menuju jalan kecil yang akan membawa kami memasuki area persawahan lain di Desa Abiansemal. Kawasan persawahan kali ini namanya Subak Citra. Saya ketahui dari nama pura subak yang ada di sana.

Desa Abiansemal adalah pusat kecamatan yang namanya diambil dari desa ini. Banyak area persawahan. Bagi pesepeda, khususnya cross country, Abiansemal menyediakan jalur-jalur single track yang menyenangkan.

Di sebuah bale banjar yang kami lewati, namanya Banjar Juwet, saya melihat ada kegiatan adat. Sepertinya warga akan mengadakan upacara ngaben masal. Ada berbagai perlengkapan upacara di dalam bale banjar yang sedang diatur oleh para warga perempuan. Juga ada para lelaki yang sedang mebat di depan bale banjar. Di Bali, di hari-hari tertentu, kita akan sering melihat pemandangan upacara seperti ini.

Kami kemudian tiba di Pasar Desa Blahkiuh. Pasar sudah tak begitu ramai. Mungkin karena sudah siang. Jadi sudah banyak pedagang yang tutup. Pasar-pasar di desa biasanya beroperasi pada pagi hari saja. Pedagang sayur dan bahan makanan biasanya buka tak lebih dari jam delapan. Hanya beberapa pedagang kelontong yang masih buka. Seperti di Pasar Blahkiuh ini. Tapi tak mengapa. Toh kami tak ada keperluan apa pun di pasar. Hanya lewat.

Dari Pasar Blahkiuh, kami menuju ke barat.  Menuju area persawahan lagi. Kali ini persawahan yang berada di sebelah timur sebuah sungai. Namanya Sungai Yeh Penet. Sebelum memasuki persawahan, jalan setapak berada di perkebunan penduduk. Seperti hutan. Di tepi jalan setapak, ada pancuran. Kawasan beji Desa Blahkiuh. Beji adalah tempat suci yang merupakan sumber mata air. Rasanya segar sekali jika mandi di sana.

Ke Sangeh

Jalur menuju Sangeh mulai terasa berat bagi saya. Banyak tanjakan. Udara makin panas. Siang kali ini begitu terik. Langit biru begitu bersih dari pagi. Menyebabkan tak ada awan yang menghalangi pancaran sinar matahari. Ditambah Alit yang mengayuh paling depan makin jauh meninggalkan saya. Jika saya menyusulnya yang telah menunggu, perjalanan langsung dilanjutkan. Menyebabkan saya tak sempat istirahat dengan cukup. Sial. Kebiasaan jelek bagi pesepeda rombongan. Yang paling belakang, paling sedikit dapat istirahat.

Beberapa kilometer di depan kami, pepohonan tinggi dan rimbun mulai kelihatan. Itulah Sangeh. Desa di Kecamatan Abiansemal yang terkenal dengan hutannya yang dipenuhi monyet. Berjenis kera ekor panjang. Hutan tersebut sebenarnya sebuah area pura milik desa. Hutannya tak luas. Hanya sepuluh hektar. Di mana di sekitarnya sudah terdapat jalan raya, perumahan penduduk, dan persawahan atau perkebunan.

Lawar Kuwir dan Es Daluman

Sebelum ke Hutan Sangeh yang merupakan tempat wisata, kami menuju warung makan Men Sono. Warung ini cukup terkenal sebagai tempat kuliner di Sangeh. Menunya lawar kuwir dan es daluman.

Lawar adalah makanan khas Bali. Olahan sayur dan daging dengan bumbu lengkap. Kuwir adalah bebek yang berjenis entok. Jadi lawar kuwir adalah lawar yang olahan dagingnya dari bebek entok. Ditambah sate lilit dan sup. Dari daging kuwir juga.

Untuk minuman, ada es daluman. Ini es cincau. Rasanya segar sekali. Apalagi diminum saat lapar dan setelah lelah mengayuh sepeda dari Denpasar.

Menu Makan Kala Istirahat : Nasi Lawar Kuwir


Warung Men Sono cukup ramai. Hari belum terlalu siang. Jam sepuluh lewat. Kata Ufo, warung ini selalu tutup sebelum jam dua belas. Karena laris. Selalu habis. Tak menyediakan sisa bagi pengunjung yang datang kesiangan.

Di warung lawar kuwir ini, kami bertemu dengan sepasang pesepeda motor sport. Dari penampilan dan obrolannya dengan kami, terlihat mereka adalah orang yang kaya. Saya tersenyum ketika kami ngobrol membandingkan sepeda. Sepeda saya sepeda dua jutaan. Sepedanya seharga hampir seratus juta. Hahahaha. Jauh. Kalah kelas. Yang penting gowesnya, bukan sepedanya. Saya menghibur diri.

Banyak Monyet di Sangeh

Usai makan siang. Kami lanjut lagi. Masuk ke dalam Hutan Sangeh dari sisi selatan. Di tepi pagar, seorang petugas sedang memberi makan monyet. Berupa roti-roti yang sudah kadaluarsa. Roti kadaluarsa memang banyak dijual sebagai pakan ternak.

Jalan setapak di hutan begitu rindang. Pohon-pohonnya besar. Juga tinggi. Saya membayangkan wajah alam Bali di masa lalu. Dulu, mungkin hutan-hutan lebat dataran rendah seperti ini banyak jumlahnya. Yang mana sekarang hutan-hutan lebat hanya ada di daerah pegunungan saja.

Sangeh menjadi salah contoh di mana sepetak hutan bisa dipertahankan. Menjadi hutan adat. Kawasan yang disucikan. Oleh desa setempat. Walaupun hanya beberapa hektar. Lebih baik daripada tidak sama sekali. Bayangkan jika semua desa di Bali memiliki hutan-hutan seperti ini. Pasti mantap.

Dari Hutan Sangeh, kami melanjutkan perjalanan ke arah utara. Nantinya jalan setapak di tengah hutan akan keluar di sebuah persawahan. Lalu berlanjut keluar ke sebuah jalan raya. Jalan di mana banyak warung tenda berdiri di tepian jalan sekaligus juga tepian sawah.

Ada Banyak Kera Ekor Panjang di Sangeh

Ufo Mengangkat Sepeda, Unjuk Kekuatan di Hutan Sangeh

Sangeh memang terkenal dengan wisata kuliner. Selain menu lawar kuwir yang menjadi makan siang kami tadi, ada banyak warung sate babi di pinggir jalan. Dengan nasi sela atau nasi yang dicampur ketela. Yang paling terkenal, namanya Warung Bledor.

Ada juga warung babi guling, warung lawar sapi dan kerbau, dan warung kue surabi khas Bali yang disebut laklak. Kami hanya membeli laklak. Tiga bungkus. Untuk dimakan di titik istirahat selanjutnya di Taman Mumbul.

Taman Mumbul yang Segar

Sangeh adalah titik paling utara jalur bersepeda kami. Dari sini, perjalanan berikutnya akan kembali ke selatan. Menuju Denpasar.

Ufo yang menjadi penentu jalur mengambil jalan yang salah saat menuju Taman Mumbul, tujuan kami berikutnya. Katanya ada jalan setapak yang biasa dipakai motor cross. Tapi jalurnya tak ditemukan. Kami malah nyasar ke kebun penduduk.

Kami memutuskan melalui jalan raya saja. Sekitar dua kilometer ke selatan, lalu ke timur. Sepeda meluncur mulus di jalan aspal yang menurun. Cepat.

Akhirnya kami tiba di Taman Mumbul. Taman Mumbul adalah sebuah pura beji milik Desa Adat Sangeh. Ada mata air. Yang alirannya membentuk kolam yang luas. Dengan angsa-angsa yang berkeliaran di sekitarnya. Atau berenang santai di atas kolam. Ikan-ikan di dalam kolam juga banyak. Yang berkerumun saat diberi makan. Kita bisa beli makanan ikan di dekat pintu masuk. Dengan membelinya, kita bisa ikut mendukung pemeliharaan tempat ini.

Tak jauh dari kolam, ada pancuran-pancuran tempat mandi. Banyak orang yang mandi di sana. Sebagai pura beji, pancuran di Taman Mumbul juga disebut petirtaan. Airnya disucikan. Jika mandi, dipercaya bahwa kita akan mendapatkan energi positif dan kebaikan.

Di ujung kolam, paling utara, ada pura kecil. Dengan pohon beringin yang tumbuh besar. Di bawahnya rindang. Suara air bergemericik. Kami beristirahat di sana. Makan laklak. Sayang, tak ada kopi. Warung kopinya jauh.

Melalui Selat dan Punggul

Perjalanan kami lanjutkan. Ke arah timur. Menuju Desa Selat. Melalui jalanan aspal yang menanjak dan menurun. Karena jalurnya memotong lembahan.

Desa Selat di Abiansemal ini cukup asri. Banyak pepohonan rindang. Telajakan-telajakan banyak tanaman. Bangunan-bangunan umum seperti sekolah, bale banjar, dan pura terawat baik.  Di pusat desa, jalan berupa paving. Membuat suasana makin menarik.

Kami hanya melintas di Selat. Perjalanan masih terus ke timur lagi. Untuk kemudian ke selatan. Melalui Desa Punggul.

Pepohonan di sepanjang jalan di Desa Punggul masih banyak. Rindang. Lumayan menaungi kami dari sengatan matahari yang makin terik.

Alit jauh di depan. Meninggalkan saya dan Ufo. Padahal di desa ini ada air terjun kecil yang bisa dikunjungi. Karena Alit sudah jauh meluncur ke selatan, akhirnya kami tak ke air terjun.

Saya sempat berhenti di sebuah tugu pahlawan. Ada enam patung berdiri gagah. Dengan burung garuda di tengah-tengahnya. Di zaman perang kemerdekaan, ada enam pejuang dari Desa Punggul yang ikut bersama Pasukan Ciung Wanara. Pasukan TNI di bawah pimpinan Letkol I Gusti Ngurah Rai. Pahlawan nasional dari Bali. Yang namanya digunakan sebagai nama bandara. Juga nama jalan utama di Denpasar.

Dari pertigaan utama Desa Punggul, panas matahari mulai terasa. Di sekitar kami adalah perumahan warga. Pepohonan tak sebanyak tadi. Muka saya rasanya terbakar. Apalagi saya mengenakan kaos lengan pendek. Fiuh...

Berpanas-panasan ke Bendungan Latu

Di sebelah timur Desa Punggul, ada persawahan. Masuk ke selatan. Ke jalan setapak di tengah sawah yang cukup lebar. Sawah menghijau. Luas. Pepohonan besar jarang. Walaupun angin berhembus sepoi-sepoi, panasnya minta ampun.

Di sebuah pondokan tepi sawah, kami berhenti. Tak kuat rasanya menembus panas. Jam menunjukkan pukul satu siang. Jalan setapak sampai memunculkan fatamorgana. Seorang petani mampir ke tempat kami. Untuk istirahat. Ia juga terlihat kepanasan.

Lima menit istirahat di pondokan, perjalanan kami lanjutkan. Menurun ke arah lembahan. Jalan setapak makin sempit. Curam dan licin. Di bawah sana, ada sungai. Beberapa orang terlihat sedang memancing di sekitarnya. Itulah Bendungan Latu. Sumber irigasi subak di hilirnya.

Kami menyeberangi bendungan. Masuk ke wilayah Desa Blahkiuh lagi. Kali ini dari arah timur. Tadi pagi kami juga di sekitar sini. tapi lebih di arah barat.

Suasana di bendungan Latu cukup rindang. Pepohonan besar banyak. Sementara, aliran air dari bendungan mengucur deras. Ada warung kecil di ujung jembatan. Sepertinya biasa melayani para pemancing atau petani yang lewat.

Kami istirahat lagi. Sambil minum kopi yang dibeli di warung tadi. Juga mengisi ulang botol minum dengan air mineral. Cukup lama juga kami leyeh-leyeh di depan warung. Sambil memandangi aliran sungai di bawah.

Menuju Mambal

Kami harus segera bergerak. Istirahat memang menyenangkan. Kalau kelamaan, bisa-bisa kami kesorean sampai di rumah. Rasanya memang enggan untuk beranjak. Apalagi ketika tahu jalur di depan menanjak di tengah sawah. Dan panas.

Dari Bendungan Latu, setelah mengayuh pedal berpanas-panasan di tengah sawah, kami akhirnya sampai di Banjar Juwet. Banjar yang kami lewati tadi pagi. Yang sedang ada persiapan upacara Ngaben. Jika jalur bersepeda ini digambar secara keseluruhan, akan membentuk angka delapan. Dan di Banjar Juwet inilah persilangan angka delapan itu terjadi.

Ufo dan Alit sedikit berdebat kami pulang lewat mana. Ufo mau langsung saja menyusuri jalan raya. Supaya lebih cepat. Sedangkan Alit lebih ingin lewat jalan-jalan kecil. Mencari jalur yang lebih rindang dan tersembunyi. Sementara saya bebas saja. Terserah mereka. Saya akan ikut ke mana pun jalurnya.

Akhirnya diputuskan untuk menuju Jembatan Mambal melalui jalan raya. Jaraknya sekitar 3,5 kilometer dari Banjar Juwet. Oke. Kami pun mengayuh lagi. Kendaraan berlalu-lalang ramai. Karena kami memasuki jalan raya. Sesekali mobil-mobil besar melintas. Membuat saya was-was. Takut tersenggol.

Menyusuri DAS Tukad Badung

Kami sampai di Jembatan Mambal. Di mana di bawahnya mengalir aliran Sungai Tukad Ayung yang terpecah menjadi dua. Aliran yang tepiannya masih alami ada di sebelah timur. Lebih ke bawah. Aliran yang di sebelah barat sudah berpondasi. Posisinya lebih di atas.

Ketika saya melihat peta, barulah saya mengerti bahwa inilah awal mula aliran Tukad Badung. Sungai yang mengalir membelah jantung Kota Denpasar. Untuk selanjutnya bermuara di kawasan Teluk Benoa. Alirannya dari tempat saya sekarang ada di sebelah barat. Yang berpondasi.

Sementara aliran yang di sebelah timur, yang tepiannya masih alami, masih tetap disebut sebagai Tukad Ayung. Nantinya mengalir ke Denpasar Timur dan bermuara di Pantai Padang Galak.

Di bawah jembatan ada jalan setapak. Memanjang di sepanjang aliran sungai. Tepat di tengah-tengah. Di antara aliran Tukad Ayung dan Tukad Badung. Pemandangannya menawan. Saya baru pertama kali ke tempat ini. Kami menyusuri jalan setapak itu. Mengayuh sepeda di bawah jembatan.

Benar kata Alit. Suasana di sepanjang daerah aliran sungai ini rindang. Pepohonan besar dan tinggi. Sepi. Hanya suara aliran air. Serta suara burung dan tonggeret bersahutan.


Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Tukad Ayung dan Tukad Badung
DAS Tukad Badung di Kawasan Persawahan


Jalan setapak di tepi sungai ini membawa kami sampai ke tepian sebuah persawahan. Tak banyak lagi ada pohon. Panasnya udara kembali menghajar. Sesekali saya berhenti. Di bawah bayang pohon yang ada. Atau di samping pondok petani. Untuk mendinginkan muka.

Ngebut, Kembali ke Subak Sembung

Akhirnya kami keluar ke jalan beraspal. Sudah jam tiga sore. Alit dan Ufo memutuskan untuk segera bergerak. Kami akan lewat jalan aspal terus. Jalan raya. Tak ada lagi masuk-masuk ke tengah sawah. Supaya lebih cepat.

Ketika baru menempuh jarak beberapa meter di jalanan aspal, kami bertemu rombongan pesepeda yang telah kami temui pagi tadi. Mereka sedang istirahat di sebuah warung. Kami ngobrol beberapa saat. Kata mereka sambil bercanda, tujuan bersepeda adalah survey warung makan. Ada-ada saja.

Setelah berpamitan, perjalanan dilanjutkan. Kami cukup ngebut. Jalan aspal mulus. Jarak lima kilometer yang tersisa dikejar sampai habis. Hanya sesekali berhenti untuk menyeka keringat.

Kami melewati gang yang menuju rumahnya Alit. Kami berpisah di sini. Alit langsung pulang. Saya dan Ufo lanjut. Tak mampir karena hari telah beranjak sore. Jika mampir, bisa lebih lama lagi. Sesampainya di Subak Sembung, giliran saya dan Ufo berpisah.

Dari Kiri ke Kanan : Saya, Alit, dan Ufo. Saat di Sangeh


Selesai sudah perjalanan bersepeda hari ini. Menyusuri sawah, kebun, sungai, dan jalan-jalan pedesaan. Total jarak yang ditempuh sekitar 48 - 50 kilometer. Berpanas-panasan. Bermandi keringat. Badan sehat. Jiwa kuat. Mantap! Lain kali, kita ulangi lagi. []

Denpasar - Abiansemal, Maret 2019

Foto oleh Agung Alit Arimbawa

Comments

Post a Comment