Skip to main content

Lima Buku dalam Hidupku #2

Beberapa minggu telah lewat, berteman secangkir kopi racikan sendiri serta alunan lagu-lagu rock lawas Indonesia 80-90an, akhirnya saya membayar hutang pada diri saya sendiri untuk menuliskan lanjutan #5bukudalamhidupku sebelumnya. Kali ini buku saya lebih cenderung bukan buku masa kecil lagi, dan sedikit serius. Serius dalam artian tema-tema yang diangkat oleh penulisnya dalam merefleksikan pandangan dan pemikirannya.  

Lima Buku dalam Hidupku

* * *

Dan langsung saja, berikut tiga buku berpengaruh saya berikutnya.

Mahabharata

Salah satu naskah kuno epos kelas dunia dari India yang ditulis ulang oleh Nyoman S. Pendit ini saya baca ketika SMA, sekitar tahun 2000, saat saya menjalani masa-masa sulit di desa kelahiran saya di Bali. Sebuah buku cetakan lama yang dimiliki oleh ayah saya. Riwayat dan kisah wangsa Bharata disajikan secara lengkap di buku ini, dari nenek moyangnya, masa kecil Pandawa dan Kaurawa sampai perang saudara mereka yang dasyat, serta kisah akhir perjalanan sang sulung Pandawa menuju surga.

Mahabharata

Sebelum membaca buku ini, saya hampir memastikan sudah mengetahui apa yang tersaji di buku tersebut karena sejak kecil cerita-cerita pewayangan Ramayana dan Mahabrata sudah menjadi menu cerita hidup keseharian saya. Juga film Mahabharata yang selalu saya tunggu setiap Sabtu siang di televisi nasional saat saya masih SD membuat ceritanya selalu tak lekang dalam ingatan.

Dari epos ini, banyak nilai-nilai positif yang disampaikan. Tentang nilai-nilai kejujuran, kesetiaan, persaudaraan, membela kebenaran, dan kemampuan memaafkan. Ceritanya dengan jelas menggambarkan bahwa manusia yang berbudi luhur juga memiliki kelemahan; sementara yang berwatak buruk juga memiliki sisi baik; tak ada manusia yang sempurna. Penggambaran sisi baik buruk itu sangat terasa dan disajikan dengan cukup apik sehingga saya selalu terhanyut membacanya. Masing-masing bagian cerita mengalir tak membosankan. 

Dibandingkan Ramayana sebagai epos sandingannya, Mahabharata bagi saya jauh lebih menarik. Kisahnya kompleks dan konflik-konflik yang disajikan begitu seru. Dan yang pasti entah kenapa kisah-kisah para tokohnya bisa selalu menguatkan saya jika saya sedang bersedih atau sedang melalui masa-masa sulit. Tentang menjadi manusia, menjadi mahluk hidup di alam semesta raya dalam menjalankan kewajiban sesuai takdir yang begitulah adanya.

Misteri Soliter

Selepas SMA, tak banyak buku yang menjadi istimewa bagi saya. Kehidupan perkuliahan yang sibuk di sebuah kampus teknologi telekomunikasi di Bandung sepertinya membuat buku-buku non literatur yang saya baca hanya sebagai hiburan dan berlalu begitu saja, tak banyak kesan. Kalau toh ada buku, paling itu adalah buku teknikal seperti Algoritma dan Pemrograman Pertama yang membuat saya berdecak kagum tentang terjawabnya misteri sebuah cara kerja program komputer untuk pertama kalinya serta berpengaruh mengantarkan saya menjadi seorang sarjana. Tapi tentu bukan buku ini yang ingin saya bahas.

Maka selepas kuliah, sebuah buku fiksi filsafat di kontrakan anak-anak Astacala milik Jimmy Damanik "Kupret" di bilangan Jakarta Selatan adalah yang kemudian menjadi buku berkesan berikutnya. Buku ini berjudul Misteri Soliter, karangan Jostein Gaarder. Buku ini saya pinjam setelah berawal dari seringnya diskusi nyeleneh tentang Tuhan dengan mereka. Ya, tentang Tuhan. Walaupun nyeleneh, tapi menurut saya penuh dengan nilai-nilai spiritual di dalamnya. Duileh... 

Misteri Soliter (gambar Diunduh dari Kompasiana)
Misteri Soliter sendiri menceritakan sebuah cerita dalam cerita. Tentang seorang bocah lelaki yang penuh rasa ingin tahu ketika melakukan perjalanan bersama ayahnya untuk mencari ibunya. Dalam perjalanan tersebut, sang bocah membaca buku kecil tentang mahluk-mahluk dari seperangkat kartu remi di sebuah pulau antah-berantah. Dalam perjalan itu, sang ayah yang pemabuk tapi jenius seringkali melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis yang memporak-porandakan pandangan umum, seperti pertanyaan mendasar causa prima, "Apakah Tuhan itu ada?"

Dari cerita dalam cerita yang dibaca sang bocah, ada tokoh yang saya suka, yaitu Joker. Joker adalah orang aneh penuh warna-warni yang bukan bagian dari kelompok mana pun dari segala jenis kartu hidup yang yang ada, tapi ia bisa masuk dan berperan di kelompok mana pun yang ada itu. Ia seorang yang bebas, gila, aneh jika dibandingkan dengan yang lain, cerdas tapi dianggap bodoh, dan selalu banyak bertanya seperti anak kecil yang polos tentang misteri kehidupan pada siapa saja, walaupun tentu tak jarang pertanyaan itu mengganggu karena dianggap di luar kewajaran dan dianggap tak penting untuk dibahas. 

Kartu-kartu lain di sekitar Joker digambarkan sebagai orang kebanyakan. Mereka menjalani kehidupan tanpa banyak mempersoalkan dari mana mereka berasal, kenapa mereka hidup, kenapa mereka mati, ke mana setelah mati, apa itu kehidupan, kenapa Tuhan menciptakan semuanya itu, atau benarkah ada Tuhan yang menciptakannya. Kartu-kartu lain itu memang tak pernah memikirkan itu, karena mereka memang tak memiliki keingintahuan untuk itu. Mereka menerima aturan yang sudah ditanamkan dan dibakukan dari pertama kali mereka ada di dunia. Hanya Joker yang dianggap gila, aneh, dan bodoh untuk memikirkan dan menanyakannya. Dan kita sebagai pembacanya akan diajak menanyakan kembali siapa sebenarnya yang bodoh dalam cerita tersebut. 

Saya merasa beruntung pernah membaca buku ini. Kita diajak berfilsafat yang mengingatkan dan membawa kita untuk bertanya apa saja pada diri kita sendiri tanpa batas. Kebanyakan orang di dunia ini menurut saya memang seperti kartu-kartu remi yang dibaca sang bocah dalam buku kecilnya, memiliki aturan-aturan dan nilai masing-masing untuk bisa bermain dalam kehidupan. Banyak orang menjadi kartu hati, kartu wajik, kartu sekop, atau kartu keriting. Hanya sedikit yang menjadi kartu joker, kartu aneh tak jelas yang penuh keajaiban.

Membaca buku ini membuat saya berpikir kembali tentang diri saya dan semua manusia, tentang diri kita, tentang dunia, dan tentang Tuhan. Maka "Apakah Tuhan itu ada?" bagi saya ibarat pertanyaan "Mana lebih dulu ada ayam atau telur?", pun itu juga jika  yang bertanya dan ditanya mempersepsikan Tuhan dengan persepsi yang sama. Lagi pula apa persepsi ada dan tiada itu? Mereka yang sering memperdebatkannya seperti memperdebatkan dua hal berpasangan yang saling melengkapi laksana dua sisi mata uang, memperdebatkan sebuah kondisi, sebuah proses terus-menerus menuju keseimbangan, seperti udara yang selalu bergerak dari tekanan tinggi ke tekanan rendah untuk mencapai dan mendekati kondisi seimbang, tapi tak mungkin akan pernah seimbang.

Bumi Manusia

"Cerita, selamanya tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya, biarpun yang ditampilkannya itu hewan, raksasa atau dewa atau hantu. Dan tak ada yang lebih sulit dapat dipahami dari pada sang manusia. Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput."

Bumi Manusia
Bumi Manusia, buku pertama Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer bagi saya memang layak menjadi salah satu buku berpengaruh. Bagi saya, mereka yang menyukai Bumi Manusia ini memiliki selera buku yang mantap. Ini adalah sebuah karya sastra penulis Indonesia yang mendunia. Menceritakan seorang pemuda priyayi Jawa yang mengenyam pendidikan ala Eropa, tentang kisah-kisah percintaannya, pergolakan batin nasionalisme karena melihat kondisi bangsanya, serta ketidakberdayaan dalam menghadapi tatanan hidup di masa saat kaum bangsa sendiri menempati tempat yang paling rendah kedudukannya, saat era kolonial bangsa Eropa menguasai bumi nusantara.

Ceritanya mengambil latar belakang dan cikal bakal nation Indonesia di awal abad ke-20. Dengan membacanya, waktu kita dibalikkan sedemikian rupa dan hidup di era membibitnya pergerakan nasional mula-mula, tentang pertarungan kekuatan anonim para srikandi yang mengawal penyemaian bangunan nasional yang kemudian kelak melahirkan Indonesia modern.

Saya mengetahui buku ini dari rak buku perpustakaan Astacala. Rekan saya, Anton Wijanarko "Bokre" adalah yang dulu saya tahu tergila-gila dengan buku ini. Jika ngobrol dengannya, pasti yang disebut-sebut adalah karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Tentang Minke, tentang Anellies, tentang Nyai Ontosoroh, dan yang lainnya. Bahkan sebuah pertanyaan kuis untuk kegiatan lintas alam yang kami adakan diisi dengan pertayaan tentang Tetralogi Buru olehnya. Pertanyaan yang aneh menurut saya, dan saya biarkan saja. Pun kemudian saya tak begitu peduli dengan yang namanya Pramoedya Ananta Toer dengan tetraloginya karena saya tak begitu tertarik saat itu.

Saya baru mulai membacanya sekitar tahun 2009. Baru kemarin memang. Ini karena rekomendasi seorang  rekan Astacala saya yang lain, Wahyu Djatmiko "Bedjat", seusai jalan-jalan menghabiskan waktu di Kota Tua Jakarta. Saat itu kami ngobrol tentang sejarah kota tua itu, tentang cerita sepanjang jalan di Harmoni dan Glodok, dan lain-lain. "Tempat-tempat di sini banyak diceritakan dalam Tetralogi Buru", begitu katanya. Ya sudah, saya pun akhirnya memutuskan untuk membaca buku pertamanya, Bumi Manusia. Eh, setelah membacanya, bukan tempat-tempat ini yang menjadi topik utama buku tersebut, ternyata topik utama yang disampaikan lebih penting : humanisme dan nasionalisme.

Cerita yang dituturkan dalam buku ini memang begitu humanis, penuh pergolakan kehidupan manusia yang menjadi tokoh-tokohnya. Saya cukup emosional mengikuti jalan ceritanya. Sedih dan marah melihat gambaran perlakuan para tuan Eropa sebagai penjajah kepada anak-anak bangsa. Sepertinya hal ini tak jauh berbeda dengan kondisi sekarang dengan segala tabiat manusia, kebaikan dan keburukan, ketidakadilan, atau penjajahan dan perlakuan sewenang-wenang. Sejarah memang selalu berulang, hanya latar dan pelakunya yang berbeda. 

Dan dengan membaca Bumi Manusia, saya seperti ditampar oleh sang penulis. Ketiga buku lanjutannya mau tak mau pun terbaca juga. Cerita-ceritanya yang berkesan membuat saya makin penasaran dengan sang maestro Pramoedya Ananta Toer yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di dalam penjara. Bacaan dan buku-buku tentang pemikiran-pemikirannya saya baca berkali-kali. Ternyata idealismenya akan Indonesia dan kemanusiaan begitu mengagumkan. Saya salut. Saya terbakar dan teracuni oleh penuturan-penuturannya yang tajam dan menusuk.

Dan hanya karena alasan ideologi sang penulis yang dikaitkan dengan semua yang "kiri", buku Bumi Manusia ini dilarang dalam waktu yang lama selama masa pemerintahan orde baru. Buku-bukunya banyak yang dibakar serta pembacanya sembunyi-sembunyi dan ketakutan. Padahal beberapa negara di dunia menjadikannya buku bacaan wajib di sekolah, seperti Malaysia, Singapura, dan Amerika Serikat. Negeri yang mewajibkan bacaan tetralogi Buru ini tentu tahu apa efek dari generasi mudanya membaca buku itu : bangkitnya nasionalisme dan kebanggaan sebagai bangsa yang besar. Sayang, Indonesia malah membakar dan melarangnya. 

* * *

Membaca buku, terutama buku-buku non literatur, adalah mengkonsumsi pemikiran penulisnya yang disarikan dari kehidupan intelektual dan emosi yang dirasakan oleh mereka. Jadi, kita akan mendapatkan sudut pandang yang baru atau berbeda, dan ada kalanya berlawanan. Dan itulah kekuatannya, ia bisa mengajak kita mempertanyakan kembali pandangan kita. Makin banyak konsumsi bukunya, makin banyak sudut pandangnya. Otak menjadi terlatih memproses dan memahami suatu konsep abstrak dari berbagai informasi pandangan-pandangan itu. Selanjutnya, apa? Tentu saja terserah pada pembacanya. Harapan saya, semoga saja para pembaca buku tidak malah menjadi buta atau hanya berkacamata kuda, tetapi menjadi makin bijaksana karenanya.

Kopi di cangkir telah habis. Tulisan tentang lima buku ini, saya akhiri saja. []

Jakarta, Januari 2014

Comments