Apakah seorang wanita bisa diangkat menjadi pahlawan padahal ia adalah seorang yang pro Belanda di zaman penjajahan? Ataukah ia yang hanya dikenal melalui surat-suratnya tanpa pernah bertempur mengangkat senjata pantas menyandangnya?
Tiba-tiba saja kalimat tanya di atas terlontar di sebuah jejaring sosial, dari seorang rekan yang berprofesi sebagai pemerhati sejarah sebagai pancingan untuk berdiskusi. Tentang polemik Kartini. Tentang banyaknya orang yang melupakan pahlawan wanita lain yang jauh lebih heroik dan berperang menggantikan atau bahkan bersama suaminya mengusir penjajah.
Pramoedya Ananta Toer pernah menuliskan biografi Kartini, sebagai sebuah karya yang memang ditujukan sebagai konfrontasi pada pihak yang meragukan kepahlawananya. Apa yang menjadi pembeda adalah cara perjuangan yang diambilnya. Ia yang merupakan seorang perempuan pribumi menolak dipanggil Raden Ajeng. Sebagai putri seorang bupati, ia sebenarnya berhak menerima penghormatan itu. Tapi setegasnya ia tolak. Di sebuah suratnya, perempuan itu menulis : “Panggil Aku Kartini saja. Itulah namaku!”.
Dari penegasan itu, jelas terlihat bahwa ia merupakan pemberontak atas nilai-nilai feodalisme Jawa. Di zamannya, pemikirannya tersebut tentu bukan hal yang biasa saja. Sungguh sangat kontroversial. Ia adalah simbol wanita pertama Indonesia yang memiliki pemikiran terbuka tentang perbandingan kaum wanita bangsanya dengan bangsa-bangsa Eropa. Sang pemula dari sejarah wanita modern Indonesia. Ia melawan arus kekuasaan dalam kesepian pingitan dinding tebal rumah priyayi, tanpa senjata, tanpa masa, juga tanpa uang. Perlawanannya melalui pena, melalui kepekaan dan keprihatinan yang ia tuliskan untuk membuka mata bangsanya. Dan apa yang dilakukannya begitu luar biasa. Suaranya terdengar sampai jauh, bahkan sampai ke pusat penjajahan di Eropa.
Apa yang menarik dari pernyataan di atas? Walaupun ruang lingkup perjuangannya di Jawa, tetapi efeknya adalah besar di kemudian hari. Dan itulah yang membedakannya dengan perjuangan tokoh-tokoh wanita lain yang berperang mengangkat senjata. Jika ada sebutan pro Belanda, sepertinya menurut saya itu adalah sebuah pendapat akan fakta sejarahnya, jadi sah saja. Pahlawan atau bukan pahlawan tentu akan selalu berbeda jika dilihat dari berbagai sudut pandang. Lihat saja Gajah Mada, Imam Bonjol, atau Soekarno dan Hatta yang pernah disebutkan pro pada Jepang. Semuanya adalah seperti seseorang yang berpendapat durian itu rasanya enak atau tidak. Yang pasti, fakta durian adalah tetap durian, apapun rasanya.
Jakarta, April 2012
Panggil Aku Kartini Saja adalah Sebuah Biografi Kartini dalam 4 Buku yang Ditulis Pramoedya Ananta Toer. Buku 1 & 2 Masih Utuh, Bagian 3 & 4 Dihancurkan oleh rezim Orde Baru.
Gambar Kartini Diambil dari Bookopedia
Tiba-tiba saja kalimat tanya di atas terlontar di sebuah jejaring sosial, dari seorang rekan yang berprofesi sebagai pemerhati sejarah sebagai pancingan untuk berdiskusi. Tentang polemik Kartini. Tentang banyaknya orang yang melupakan pahlawan wanita lain yang jauh lebih heroik dan berperang menggantikan atau bahkan bersama suaminya mengusir penjajah.
Pramoedya Ananta Toer pernah menuliskan biografi Kartini, sebagai sebuah karya yang memang ditujukan sebagai konfrontasi pada pihak yang meragukan kepahlawananya. Apa yang menjadi pembeda adalah cara perjuangan yang diambilnya. Ia yang merupakan seorang perempuan pribumi menolak dipanggil Raden Ajeng. Sebagai putri seorang bupati, ia sebenarnya berhak menerima penghormatan itu. Tapi setegasnya ia tolak. Di sebuah suratnya, perempuan itu menulis : “Panggil Aku Kartini saja. Itulah namaku!”.
Dari penegasan itu, jelas terlihat bahwa ia merupakan pemberontak atas nilai-nilai feodalisme Jawa. Di zamannya, pemikirannya tersebut tentu bukan hal yang biasa saja. Sungguh sangat kontroversial. Ia adalah simbol wanita pertama Indonesia yang memiliki pemikiran terbuka tentang perbandingan kaum wanita bangsanya dengan bangsa-bangsa Eropa. Sang pemula dari sejarah wanita modern Indonesia. Ia melawan arus kekuasaan dalam kesepian pingitan dinding tebal rumah priyayi, tanpa senjata, tanpa masa, juga tanpa uang. Perlawanannya melalui pena, melalui kepekaan dan keprihatinan yang ia tuliskan untuk membuka mata bangsanya. Dan apa yang dilakukannya begitu luar biasa. Suaranya terdengar sampai jauh, bahkan sampai ke pusat penjajahan di Eropa.
Apa yang menarik dari pernyataan di atas? Walaupun ruang lingkup perjuangannya di Jawa, tetapi efeknya adalah besar di kemudian hari. Dan itulah yang membedakannya dengan perjuangan tokoh-tokoh wanita lain yang berperang mengangkat senjata. Jika ada sebutan pro Belanda, sepertinya menurut saya itu adalah sebuah pendapat akan fakta sejarahnya, jadi sah saja. Pahlawan atau bukan pahlawan tentu akan selalu berbeda jika dilihat dari berbagai sudut pandang. Lihat saja Gajah Mada, Imam Bonjol, atau Soekarno dan Hatta yang pernah disebutkan pro pada Jepang. Semuanya adalah seperti seseorang yang berpendapat durian itu rasanya enak atau tidak. Yang pasti, fakta durian adalah tetap durian, apapun rasanya.
Jakarta, April 2012
Panggil Aku Kartini Saja adalah Sebuah Biografi Kartini dalam 4 Buku yang Ditulis Pramoedya Ananta Toer. Buku 1 & 2 Masih Utuh, Bagian 3 & 4 Dihancurkan oleh rezim Orde Baru.
Gambar Kartini Diambil dari Bookopedia
Comments
Post a Comment