Skip to main content

Catatan Kecil dari Jawa Tengah

Di penghujung senja ketika saya baru saja turun dari Gunung Lawu dan menyusuri jalan menurun di Tawangmangu, kerlap-kerlip lampu Kota Solo sudah tampak di kejauhan. Diantar oleh dua orang tukang ojek, akhirnya saya tiba di rumah Astaka di Sukoharjo. Walaupun saya sering kali mampir di Jogja, tapi saya sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di Solo, termasuk Sukoharjo. Untuk itulah selama beberapa hari ke depan saya berniat mengunjungi beberapa kota di sekitar Jogja ini : Solo, Klaten, dan Magelang.

Trah Mataram di Keraton Surakarta

Jika orang kebanyakan menyebutkan bahwa Budi Utomo adalah organisasi nasional pertama di Indonesia, Kota Solo adalah sebuah saksi bisu yang bisa menyanggahnya. Seperti yang banyak diceritakan pada Tetralogi Buru karangan Pramoedya Ananta Toer yang terkenal itu, Kota Solo adalah kota tempat berkembangnya Sarekat Dagang Islam, organisasi nasional bercorak Islam pertama di Indonesia.

Tapi bukan ke arah organisasi nasional pertama itu ketertarikan saya dalam perjalanan ini. Interest point saya lebih tertuju pada Keraton Surakarta, tempat di mana saya pikir akan bisa mendapatkan sedikit catatan dan gambaran sejarah perjalanan kekuasaan raja-raja di Tanah Jawa. Melewati alun-alum keraton dan Pasar Klewer yang ramai, di seputar keraton ini ternyata suasananya hiruk pikuk oleh lalu-lalang para pejalan. Sebuah jalan kecil juga memotong memisahkan antara alun-alun dan pendopo dengan kompleks keraton.

Keraton Surakarta

Setelah Kesultanan Demak berganti menjadi Kesultanan Pajang dan kemudian berganti lagi menjadi Kesultanan Mataram, tersebutlah keratonnya berada di Kartasura pada tahun 1679. Gelar raja-raja Mataram saat itu adalah Amangkurat dan juga mulai muncul gelar baru Pakubuwono. Pada suatu ketika terjadi sebuah tragedi pertikaian Geger Pecinan membuat Keraton Kertasura tidak layak lagi dijadikan sebagai istana. Pakubuwono II yang saat itu menjadi pemimpin trah Mataram di Kertasura pun memindahkan keraton ke Desa Sala (Solo) pada tahun 1774, yang akhirnya kemudian dikenal sebagai Keraton Surakarta sampai sekarang.

Kaki saya melangkah di halaman dalam keraton yang dipayungi oleh rindangnya pohon-pohon mahoni. Pasir-pasir halus yang katanya diambil dari pantai selatan menutupi sebagian besar halamannya. Beberapa pot keramik buatan Cina yang juga katanya pemberian saudagar dari seberang berjajar di tepi-tepi balai pertemuan. Begitu juga patung-patung gaya Eropa pemberian Ratu Belanda terpasang dengan rapi, mengingatkan saya akan patung-patung gaya Eropa di pemakaman Belanda di Taman Kober Jakarta. Abdi-abdi dalem keraton tampak di beberapa sudut. Abdi dalem pria yang juga bertugas sebagai guide menjelaskan seluk beluk keraton kepada beberapa pengunjung. Sementara di sudut-sudut lain para abdi dalem wanita tampak duduk-duduk dan berbincang.

Seorang abdi dalem, sebut saja namanya Joko dan saya panggil ia Mas Joko, menemani saya saat itu. Ia begitu bersemangat bercerita tentang keraton ini. Gaya bertuturnya begitu jenaka sambil menyarankan saya untuk berfoto di beberapa benda bersejarah di sana. Ia bercerita tentang silsilah para sultan, tentang benda-benda yang ada di keraton, tentang kehidupan keraton dulu dan sekarang, juga tentang nasihatnya pada saya untuk berkenalan dengan putri-putri keraton. Untuk yang terakhir ini, entah kenapa ia begitu bersemangat pada saya. "Zaman modern sekarang ndak pa pa Mas mendekati putri keraton, yang penting Mas suka, tuan putri suka, kanjeng sasuhunan pasti merestui", begitu ceritanya sambil terkekeh. Sementara Astaka yang menemani saya saat itu hanya tersenyum.

Tentang sejarah keraton ini, Mas Joko cukup berhati-hati menceritakannya ketika dikaitkan dengan pengaruh Belanda dan pecahnya keraton dengan munculnya keraton tandingan di Yogyakarta oleh Pangeran Mangkubumi (yang nantinya bergelar Hamengkubuwono I). Sedikit silsilah tentang para raja awal di Surakarta dan Yogyakarta : Hamengkubuwono I adalah saudara tiri Pakubuwono II. Adanya pemerintahan tandingan di Keraton Yogyakarta disebabkan karena putra mahkota penerus tahta Keraton Surakarta yang ditunjuk adalah putra Pakubuwono II sendiri (RM Mas Suryadi / Pakubuwono III), bukan Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwono I).

Di tengah perpecahan, kongsi dagang Belanda (VOC) yang sudah menjamah nusantara dengan mudah memasukkan pengaruhnya ke dalam keraton, termasuk resminya pemisahan Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta dalam Perjanjian Giyanti. Begitu juga dengan munculnya Kadipaten Mangkunegaraan dan Pakualaman, semua itu tidak lepas dari pengaruh campur tangan Belanda. Wilayah yang semakin kecil dan terpecah-pecah menyebabkan pengaruh Belanda semakin kuat. Bahkan semenjak pemerintahan Pakubuwono III di Keraton Surakarta, penobatan raja-raja berikutnya pun harus seizin Belanda.

Saya di samping Maklumat Pakubuwono XII (Picture by Astaka)

Sampai kemudian saya teringat lagi akan sebuah maklumat di pendopo keraton, tertanggal 1 September 1945 dari Pakubuwono XII tertempel pada sebuah papan besar. Berdebu dan teronggok seperti tidak ada yang memperhatikan. Sebuah maklumat pernyataan yang ditulis jauh di kemudian hari, seratus tahun lebih pada pasca Perang Dunia II berakhir. Jepang yang telah menggantikan posisi Belanda atas Keraton Surakarta harus melepaskan kekuasaannya atas nusantara. Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri, Keraton Surakarta pun harus menentukan sikap. Dan maklumat itu terbaca sebagai berikut.

Makloemat Seri Padoeka Ingkang Sinoehoen Kandjeng Soesoehoenan
Kepada : Seloeroeh Pendoedoek Negeri Soerakarta Hadiningrat


1. Kami Pakoeboewono XII, Soesoehoenan Negeri Soerakarta Hadiningrat menjatakan Negeri Soerakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Repoeblik Indonesia, dan berdiri di belakang Pemerintah Poesat Negara Repoeblik Indonesia.


2. Kami menjatakan, bahwa pada dasarnya segala kekoesaan dalam daerah Negeri Soerakarta Hadiningrat terletak di tangan Soesoehoenan Soerakarta Hadiningrat dan oleh karena itoe, berhoeboeng pada keadaan dewasa ini, maka kekoeasaan-kekoeasaan jang sampai kini tidak di tangan kami dengan sendirinya kembali ke tangan kami.


3. Kami menjatakan, bahwa perhoeboengan antara Negeri Soerakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Poesat Negara Repoeblik Indonesia bersifat langsoeng.


4. Kami memerintahkan dan percaja kepada seloeroeh pendoedoek Negeri Soerakarta Hadiningrat, mereka akan bersikap sesoeai dengan sabda Kami tersebut di atas.


Soerakarta Hadiningrat

1 September 1945


Pakoeboewono XII


Tapi saat ini Surakarta bukan daerah istimewa seperti Yogyakarta, melainkan bagian dari Provinsi Jawa Tengah. Harus diakui bahwa pada saat kemerdekaan Indonesia, beberapa kalangan menyebutkan bahwa Kasunanan Surakarta tidak memiliki peran penting di masa-masa awal berdirinya Negara Republik Indonesia. Tetapi harus diakui pula bahwa Kasunanan Surakarta di bawah pemerintahan Pakubuwono XII saat itu merupakan sosok pelindung kebudayaan Jawa yang dihormati oleh tokoh-tokoh nasional.

Makam Sang Pujangga

Klaten adalah tujuan saya berikutnya. Menyusuri jalan raya Solo menuju Yogyakarta di atas sebuah bus ekonomi, saya berhenti di pertigaan Ngaran di Desa Mlese, Klaten. Astaka sudah tak menemani saya lagi saat itu. Kali ini saya menuju rumah Pinan, anggota Astacala yang tinggal di Desa Srebegan, Klaten. Sebenarnya tujuan saya di Klaten hanyalah bermalam. Tapi dari obrolan saya malam itu bersama Pinan, ternyata tak jauh dari rumahnya adalah tempat dimakamkannya seorang pujangga terkenal Kasunanan Surakarta pada masa pemerintahan Pakubuwono VII.

Makam Ronggowarsito

Dari catatan-catatan sejarah, masa-masa setelah kejatuhan Majapahit adalah masa miskinnya karya sastra nusantara. Jatuhnya Majapahit menyebabkan hilangnya pusat kekuasaan. Kerajaan-kerajaan kecil berdiri sendiri di masing-masing wilayahnya. Nusantara bubar dan kerajaan-kerajaan kecil itu saling berebut pengaruh untuk menjadi penguasa tunggal dengan keinginan menyatukan kembali Tanah Jawa dan nusantara. Keadaan kacau balau dan perang seringkali terjadi menyebabkan Tanah Jawa bermandi darah. Di masa-masa seperti itulah orang-orang tidak memiliki kesempatan berkreasi dalam bidang seni dan sastra.

Lebih dari satu abad berselang dari runtuhnya Majapahit, di masa yang mulai damai tapi di bawah pengaruh penguasa asing, lahirlah kembali seorang pujangga besar di Tanah Jawa. Ialah Ronggowarsito yang bernama asli Bagus Burham. Ia lahir ketika Kasunanan Surakarta diperintah oleh Pakubuwono IV, seorang raja yang mencintai sastra dan seni. Dan konon Ronggowarsito pernah berguru pada Pakubuwono IV ini. Ia juga pernah belajar sastra-sastra Hindu di Pulau Bali walaupun ia sendiri menganut Islam. Di masa pemerintahan Pakubuwono VII lah ia diangkat sebagai pujangga keraton dan karya-karyanya banyak tercipta.

Ada sebuah bait syair yang ditulis oleh Ronggowarsito yang sangat terkenal. Bait syair yang disebut zaman edan yang diambil dari Serat Kaladita. Sebuah syair kritik akan praktik suap dan korupsi para pejabat kerajaan pada masa itu, sindiran untuk para pejabat di masa pemerintahan Pakubuwono IX. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa praktik-praktik kotor semacam itu masih banyak kita saksikan di masa sekarang, dan boleh jadi itu adalah warisan budaya nusantara masa lampau, bahkan jauh lebih lampau dari waktu pembuatan syair itu jika kita membuka kembali catatan-catatan sejarah yang jujur.

Berikut petikan syair zaman edan yang telah diterjemahkan dari Bahasa Jawa ke dalam Bahasa Indonesia.

Menyaksikan zaman edan (gila)
Serba susah dalam bertindak

Ikut edan (gila) tidak akan tahan

Tapi kalau tidak mengikuti
Tidak akan mendapat bagian

Kelaparan pada akhirnya

Namun telah menjadi kehendak Allah

Sebahagia-bahagianya orang yang lalai

Akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada

Kawasan Candi Prambanan

Kalau latar sejarah yang saya ceritakan dalam perjalanan sebelumnya adalah pada masa Mataram Islam, berikutnya adalah masa Mataram Hindu. Mataram Hindu atau disebut Medang adalah kerajaan yang jauh berdiri ratusan tahun sebelum adanya Mataram Islam. Lebih tua dari Pajang dan Demak, lebih tua dari Majapahit, lebih tua dari Singosari, juga lebih tua dari Kediri dan Kahuripan. Jika dilihat dari waktunya, Mataram Hindu berkuasa pada selang waktu 732 - 927 M di nusantara, masa di mana kerajaan di Tanah Jawa ini berada di bawah bayang-bayang kebesaran Sriwijaya di Bumi Andalas.

Setelah saya berpisah dengan Pinan, saya melanjutkan perjalanan ke Prambanan. Jika orang-orang cenderung mengidentikkan Prambanan dengan Yogyakarta, sebenarnya Prambanan adalah wilayah dari Klaten dan juga Sleman di Jawa Tengah. Begitu pula dengan candinya, lebih sering disebut sebagai Candi Prambanan, padahal candi-candi di kawasan Prambanan tersebut memiliki nama-nama sendiri. Seperti Candi Brahma, Candi Wisnu, Candi Siwa, dan lain-lain. Hanya saja karena candi-candi tersebut berada di kawasan Prambanan, mungkin berikutnya orang lebih enak menyebutnya sebagai Candi Prambanan.

Candi Prambanan

Dahulu pada masa Mataram Hindu agama bukanlah agama Hindu, melainkan aliran-aliran dengan perbedaannya masing-masing. Ada Siwa, Wisnu, Buddha, Tantrayana, Kalacakra, dan lain-lain. Tapi sejarah lebih sering menyebutnya sebagai Hindu dan Buddha saja. Sehingga candi-candi tersebut yang berfungsi sebagai tempat pemujaan masing-masing aliran itu dinamakan sesuai aliran atau fungsinya.

Setelah Sanjaya sebagai penguasa Mataram dikalahkan oleh Sailendra dari Sriwijaya, kemudian Rakai Pikatan yang merupakan keturunan Sanjaya berhasil menyunting seorang putri dari Sriwijaya, sehingga secara politis itu menyatukan Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra. Untuk memperingati kembalinya kekuasaan Wangsa Sanjaya itulah Rakai Pikatan yang menjadi raja saat itu mendirikan Candi di Prambanan yang ditujukan sebagai tempat pemujaan mereka yang berbeda-beda aliran, yang secara umum disebut Hindu. Kalau ada yang mengatakan candi ini dibangun oleh Diah Balitung (juga Wangsa Sanjaya dan keturunan Rakai Pikatan), kemungkinan besar candi ini selesai dibangun ketika masa pemerintahan Diah Balitung tersebut.

Memang masuk akal jika masa pembangunan memakan waktu yang lama dan melalui beberapa masa pemegang kekuasaan, karena candi yang dibangun adalah candi yang besar. Jadi, lupakan cerita atau legenda tentang kisah Roro Jonggrang yang sarat akan mitologi di dalam sejarah. Jika ditinjau dari akal sehat, mungkinkah candi sebesar itu dibangun hanya dalam semalam oleh Bandung Bondowoso yang ingin menikahi Roro Jonggrang, ibunya sendiri? Apalagi mitologi itu tidak jauh berbeda dengan mitologi di tataran sunda, Gunung Tangkuban Perahu yang konon adalah sebuah perahu yang dilemparkan oleh Sangkuriang karena ingin menikahi Dayang Sumbi, juga ibunya sendiri. Ya, kisah-kisah legenda itu sebenarnya diadaptasi dari cerita-cerita luar yang masuk ke masyarakat setempat sebagai kebudayaan.

Di sebelah selatan kawasan Candi Prambanan, ada pula Candi Ratu Boko. Saya mengunjunginya bersama beberapa wisatawan yang mana kunjungan ke kawasan Candi Prambanan ini adalah satu paket dengan kunjungan ke Candi Ratu Boko. Sama seperti penamaan Candi Prambanan, Candi Ratu Boko dinamakan demikian juga karena tempat berdirinya, yaitu di Bukit Ratu Boko. Candi ini juga dibangun pada satu masa, pada masa Kerajaan Mataram. Sebuah prasasti yang dikeluarkan oleh Rakai Pananggaran (raja Mataram keturunan Sanjaya saat itu) dan saya baca dari brosur wisata candi, kawasan Candi Ratu Boko ini sebenarnya bernama Abhayagiri Wihara, yang berarti asrama tempat bhiksu Buddha di bukit yang penuh kedamaian.

Candi Ratu Boko

Berjalan mengelilingi kawasan candi di Prambanan dan di Bukit Ratu Boko ini, saya melihat puing-puing bebatuan yang masih teronggok dan terkumpul di beberapa tempat. Batuan-batuan penyusun candi yang runtuh adalah karena gempa bumi di masa lampau dan juga yang baru terjadi pada tahun 2006 lalu. Bahkan beberapa candi ada yang sudah terbenam dalam tanah yang sedang dalam proses penggalian. Sungguh menakjubkan melihat perjalanan waktu, candi yang begitu besar dan ditinggalkan dalam waktu lama sampai bisa terbenam dan tersembunyi di dalam tanah. Pulau Jawa yang berada dalam lempeng Asia Australia memang rawan mengalami gempa bumi. Akhirnya ketika candi itu tak dipergunakan lagi seiring gempa yang merusakkan dan pemerintahan yang berkuasa saat itu pindah ke Jawa Timur sampai kerajaan-kerajaan berikutnya pun menggantikan di kemudian hari.

Borobudur dan Mendut di Magelang

Seusai dari Prambanan, saya melanjutkan perjalanan ke arah Magelang. Senja telah berganti malam ketika saya tiba di Polsek Mertoyudan, Magelang. Adi, adik kelas saya di Kampus IT Telkom adalah yang menjadi kontak saya di Magelang. Yang saya ketahui ia adalah seorang polisi lulusan akademi kepolisian dan bertugas di Mertoyudan, Magelang. Maka tidak heran titik pertemuan saya dengannya adalah di kantor polisi.

Penampilan saya yang kucel, jenggot dan kumis yang belum dicukur, membawa carrier, serta dengan pakaian lusuh yang itu-itu saja yang masih saya kenakan semenjak dari Solo, membuat heran pandangan para polisi di sana. Dalam hati saya berpikir, mungkin saya dikira penjahat yang baru ditangkap. Apalagi Adi yang menjemput saya ternyata adalah seorang Kepala Unit Reserse Kriminal di sana. Tapi melihat Adi yang jabatannya setingkat dengan wakapolsek di sana menyambut saya dengan ramah, kontan para polisi yang menjadi bawahannya itu juga menyalami saya dengan ramah.

Alhasil, Adi yang malam itu masih sibuk dengan kasus-kasus kriminal, menugaskan anak buahnya untuk menemani saya pulang pergi ke asramanya dan sedikit jalan-jalan mengelilingi Kota Magelang. Begitu juga keesokan harinya ketika saya hendak pamit meneruskan perjalanan ke Borobudur, Adi bersikeras mengantarkan. Jadilah kunjungan saya ke Borobudur sampai nanti balik ke Jogja ibarat seorang VVIP, dikawal oleh dua orang polisi dan free untuk masuk ke setiap tempat wisata. Semua perjalanan lancar.

Candi Borobudur

Candi Borobudur tak ubahnya juga seperti Candi di kawasan Prambanan, ia dibangun ketika masa Kerajaan Mataram Hindu di bawah Wangsa Sailendra, di bawah pemerintahan Samaratungga ketika Sriwijaya telah menguasai wilayah itu. Karena saat itu kerajaan Mataram berada di bawah kekuasaan Sriwijaya, tak heran jika Candi Borobudur ini bercorak Buddha. Dipercaya berasal dari Bahasa Sansekerta 'Bhumi Sambhara Bhudara', Borobudur berarti bukit peningkatan kebajikan. Sepuluh tingkatan kebajikan itu dilambangkan oleh punden berundak Borobudur berjumlah sepuluh berbentuk mandala yang melambangkan alam semesta.

Selain Borobudur, ada Candi Mendut yang juga bercorak Buddha yang saya kunjungi di Magelang. Candi ini sebenarnya bernama asli wenuwana yang berarti hutan bambu. Mendut sendiri merupakan nama desa tempat candi tersebut. Berdiri di dekat Sungai Elo, candi ini dibangun oleh Wangsa Sailendra sebagai tempat pemujaan. Hal yang cukup unik dari candi ini dibandingkan candi-candi sebelumnya yang saya kunjungi adalah gambaran pada reliefnya. Jika Candi di Prambanan dan Candi Borobudur reliefnya lebih dekat ke cerita-cerita ajaran agama keduanya seperti kisah Ramayana maupun kisah perjalanan Sang Buddha, relief pada Candi Mendut cenderung lebih umum bergambar cerita dongeng yang berisi pesan-pesan kebajikan.

* * *

Usai dari Mendut di Magelang, akhirnya saya menuju Jogja untuk selanjutnya pulang ke Jakarta. Sambil menunggu waktu keberangkatan kereta, di satu sudut Malioboro ditemani segelas teh manis dan musisi jalanan yang datang silih berganti, saya masih terpesona oleh kisah-kisah nusantara seiring perjalanan waktunya. Masa lalu memang adalah sebuah kenangan yang tak akan terulang, tapi ia juga sebuah media pembelajaran untuk menyongsong masa depan.

Sumber Acuan dari Babad Tanah Jawi, Brosur Wisata Candi Prambanan & Ratu Boko, Sejarah Kerajaan Nusantara, dan Wikipedia
Temukan Gambar-gambar dalam Tulisan Ini di Gallery Saya

Jakarta, Juni 2011

Comments

Post a Comment