Skip to main content

Sebuah Makna dari Musikal Laskar Pelangi

Hai... hai... hai...
Kami ini orang asli Belitong

Hai... hai... hai...

Inilah tempat kami Kampong Gantong


Kata orang pulau kami pulau kaya

Banyak timah di mana-mana

Ah, ah, tapi siapa yang punya?

Bukan kami yang punya

Kami hanya kuli-kuli belaka


Itulah sepenggal lagu pembuka yang dinyanyikan dengan indah di dalam Teater Jakarta di Taman Ismail Marzuki beberapa hari lalu setelah sebuah prolog dari tokoh Ikal yang telah dewasa bercerita tentang sekelumit kehidupan masa kecilnya di Pulau Belitung. Pada latar belakang terbentang pagar kokoh dimana di atas pintu gerbangnya terpasang papan bertuliskan besar-besar dan mencolok : "DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK PUNYA HAK". Sebuah pintu gerbang yang menggambarkan pintu masuk sebuah perusahaan asing yang menguasai pertambangan timah di pulau tersebut, PTPN Timah. Menggambarkan kawasan layaknya istana yang hanya boleh dimasuki oleh orang-orang kalangan pegawainya, sedangkan selainnya tidak.

Kemudian tokoh anak-anak Laskar Pelangi pun bermunculan. Kucai sang ketua kelas yang lucu, Mahar yang nyeni, Ikal dan cintanya pada Aling, Lintang dan kisah sedihnya kehilangan orang tua, maupun semangat Ibu Muslimah dalam mengelola sekolahnya walaupun ditinggal rekan dan Sang Kepala Sekolah. Tentang anak-anak miskin berpakaian seadanya yang sebagian besar adalah anak-anak kuli PTPN Timah dalam menempuh pendidikan di SD Muhammadiyah yang miring ditopang kayu.

Di lain pihak, sekolah elit SD PTPN Timah berdiri tegak. Lengkap dengan murid-muridnya dengan pakaian rapi, anak-anak para pembesar perusahaan yang mengambil kekayaan timah dari tanah Pulau Belitung. Sungguh berbeda dengan kondisi murid-murid SD Muhammadiyah yang mendekati pagar sekolah elit itu saja sampai diusir oleh satpam. Sebuah ironi, bahwa anak-anak asli Pulau Belitung tersebut tidak berhak mencicipi pendidikan di sekolah yang lengkap dengan fasilitas itu yang berdiri di tanah mereka sendiri.

Tepuk tangan membahana, sorak sorai, gelak tawa, serta haru dan tangis menghiasi penonton kala itu menyaksikan berbagai adegan yang terjadi. Efek hujan, efek pelangi, bayangan ombak, kupu-kupu, mobil dan motor sungguhan yang sesekali melintas di atas panggung, juga beberapa ekor domba yang tak bisa saya bayangkan seandainya saja itu terlepas di tengah panggung.

Menurut saya penampilan drama musikal ini fantastis. Mulai dari sutradara, pemain, pemusik, maupun para kru yang mengatur berbagai properti yang dengan cepat silih berganti muncul di panggung tanpa kelihatan. Saya pastikan semua penonton musikal ini tidak akan kecewa dengan pertunjukan, semua pulang dengan perasaan puas. Termasuk satu orang penting di Indonesia yang ikut menonton pertunjukan kala itu, Wakil Presiden Budiono.

Tapi apakah penonton sadar akan makna yang terkandung dari cerita Musikal Laskar Pelangi tersebut? Sampai pada akhirnya berbagai cerita dan komentar masih berlanjut sampai ke dalam looping surat elektronik komunitas teman-teman saya di XL yang saya baca di meja kantor. Cerita Laskar Pelangi yang mengisahkan tentang pendidikan anak-anak miskin di Belitung boleh jadi berlatar pada masa lalu, tahun 1976 seperti yang tertulis pada satu spanduk di salah satu adegannya. Tapi siapa sangka kejadian-kejadian serupa masih terjadi pada masa sekarang. Lihat saja Freeport di Papua atau Newmont di Nusa Tenggara. Di luar isu kerusakan lingkungan yang ada, kita bisa melihat perbedaan mencolok antara adanya perkotaan satelit di dalam pertambangan dengan kondisi perkampungan masyarakat pribuminya yang sedikit tersentuh kemajuan. Kekayaan alam menjadi milik para investor untuk dikirim ke negerinya, sedangkan masyarakat setempat kebanyakan menjadi kuli dan tetap miskin. Tak jauh berbeda dengan cerita Laskar Pelangi, memilukan. Apalagi hal-hal seperti ini diperparah oleh kondisi negeri kita yang terkenal dengan suap dan korupsi, bisa kita kira bagaimana jalinan benang kusutnya.

Dan kemudian, dari salah satu surat elektronik yang dikirimkan seorang teman, tercantum sebuah status Wakil Presiden Boediono pada akun twitternya setelah menonton drama musikal tersebut : "Musikal Laskar Pelangi membanggakan. Semua aspek kelas dunia. Dari akting, musik, setting, sampai ceritanya. Karya anak bangsa yang luar biasa!". Itu saja. Tak ada update status akan isu sosial yang ada pada jalan cerita musikal tersebut. Walaupun demikian, semoga saja sebuah makna di balik Laskar Pelangi tersampaikan pada beliau. Tersampaikan pula kepada orang-orang penting lainnya yang sedang dan akan memegang segala kebijakan akan hajat hidup orang banyak, juga kepada para koruptor dan penyuap yang telah mencuri kekayaan tanah air ini yang seharusnya bisa dinikmati oleh rakyat yang menjadi pemiliknya.

Picture Taken from Musical Laskar Pelangi
Song Lyrics Taken from Ensemble Theatre Company Musikal Laskar pelangi
Some Idea Taken from XL Community Discussion (Untung SS, Francisca AY, and The Others)

Jakarta, Januari 2011

Comments