Beberapa waktu lalu, bahkan dari waktu-waktu sebelumnya, bencana melanda negeri kita. Gempa bumi, tsunami, gunung meletus, tanah longsor, banjir, dan lain-lain. Membuat masyarakat yang menjadi korban bencana tersebut harus rela untuk hidup tidak sesuai lagi dengan kebiasaan sebelumnya, hidup di tenda-tenda pengungsian, kehilangan rumah, harta benda, sanak saudara, dan bahkan kehilangan nyawa sendiri.
Melihat hal itu banyak kalangan yang tergerak hatinya untuk melakukan sesuatu untuk bisa meringankan beban para korban bencana tersebut. Mereka yang tergerak hatinya ini kita sebut volunteer atau relawan, yang mau bergerak langsung turun di lapangan atau yang ikut mendukung keberlangsungan kegiatan pertolongan tersebut.
Berbicara tentang volunteer atau relawan di Indonesia, adalah telah ada jauh sebelum isu-isu bencana alam di negara ini terjadi. Pada zaman penjajahan Belanda atau Jepang dulu, relawan dikirimkan sebagai pejuang-pejuang di tanah peperangan atau pun sebagai tim pendukung operasional. Para pemuda relawan tersebut dengan gagah berani berjuang demi tanah airnya. Para pemuda inilah yang paling bersemangat mendorong generasi di atasnya untuk mewujudkan kemerdekaan.
Pada masa sekarang, para pemuda yang memiliki jiwa-jiwa pencari jati diri adalah ujung tombak relawan di lapangan selain dari kalangan militer. Coba lihat kembali bencana-bencana yang sudah lewat, sebagian besar relawan adalah para pemuda, mahasiswa yang biasanya tergabung dalam komunitas pecinta alam, korps suka rela, gabungan-gabungan individu, atau komunitas-komunitas lainnya. Mereka terpanggil untuk menolong sesamanya.
Awalnya, bisa saja yang dicari oleh para pemuda relawan ini adalah pencarian jati diri. Relawan yang turun ke tanah bencana adalah sesuatu yang keren, gagah, dan diakui di lingkungannya. Coba kita lihat status di jejaring sosial, ada banyak tulisan dari relawan tersebut yang berbicara tentang kegagahan mereka. Tentang bagaimana susahnya mereka melewati birokrasi, memenuhi biaya operasional, sampai tantangan-tantangan lain yang berhasil dilewati. Itu tidak salah, malah bisa dibilang wajar, asalkan kegagahan tersebut dibarengi dengan niat yang tulus ikhlas dan siap untuk menolong. Dan menurut saya, itu jauh lebih baik daripada energi para pemuda kita disalurkan untuk pencarian jati diri atau gagah-gagahan yang sangat tidak terpuji, seperti tawuran mahasiswa yang memalukan atau demonstrasi tidak jelas yang mengutamakan tindakan anarki.
Pencarian jati diri boleh jadi sebagai awal. Rela turun ke jalan dalam mencari dana di sela-sela kuliah atau bahkan meninggalkan kuliah untuk bisa turun langsung ke lapangan. Di sanalah mentalitas diuji, keberanian untuk memelilih dan memutuskan, dan kepekaan yang mendalam ibarat tanah bencana tersebut adalah rumah kita sendiri.
Untuk selanjutnya, saya pikir akan ada banyak hal positif yang didapatkan oleh para relawan ini. Akan ada interaksi langsung dengan masyarakat, ia akan membentuk pemuda-pemuda yang tangguh, semangat tak kenal menyerah, mentalitas yang baik, pengabdian masyarakat yang tulus ikhlas, dan membentuk jiwa-jiwa patriotik.
Bagaimana dengan orang-orang yang tidak bisa ikut turun langsung ke lapangan atau tanah bencana? Mereka yang terbelenggu oleh waktu dan tatanan kehidupan birokrasi perusahaan tempat mereka bekerja atau tuntutan kehidupan pribadi dan keluarga? Tidakkah mereka bisa ikut serta dikatagorikan sebagai relawan?
Tentu tidak semua orang harus serentak turun langsung membantu sebagai relawan. Tentu juga bukan hanya berdiam diri dengan doa dan nada prihatin yang maksimal bisa kita berikan. Ada banyak hal yang bisa dilakukan di sela-sela kegiatan rutinitas kita. Dan itu saya pikir akan sangat membantu. Baik bagi korban bencana yang telah kehilangan sanak saudara dan harta benda atau pun bagi relawan yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk turun langsung ke lapangan.
Bagi yang memiliki dana berlebih, mungkin bisa menyisihkan sebagian dananyanya untuk disalurkan melalui berbagai badan seperti kotak-kotak amal kreatif atau sms-sms amal berbagai operator telekomunikasi. Bagi yang memiliki fasilitas pendukung, bisa membantu kelancaran operasional relawan dengan fasilitas tersebut. Alumni atau anggota lain suatu komunitas yang menurunkan relawan juga bisa memberikan ide, dukungan, dan melakukan kordinasi yang baik serta berkelanjutan. Institusi pendidikan atau perusahaan di mana relawan tersebut berasal bisa memberikan izin atau kemudahan-kemudahan lain. Dan semua itu adalah sangat dan mutlak diperlukan, sebuah usaha pertolongan yang terkordinasi.
Kita semua tentu berharap semua pihak bisa menjalankan fungsinya untuk mendukung para korban bencana. Juga berharap para relawan yang turun ke lapangan bukan hanya sekedar gagah-gagahan untuk dikenal oleh teman-temannya di jejaring sosial, bukan pula dijadikan sebagai ajang mempromosikan diri atau golongan demi kepentingan tertentu, apalagi untuk mencari keuntungan dari dana yang sebagian besar telah direlakan oleh pemiliknya yang tak mereka pantau lagi kemana sumbangannya tersebut dialirkan.
Dan pada akhirnya niat menolong sesama yang didasari oleh prinsip mulia lah yang kita utamakan. Tanpa embel-embel gagah, tanpa tujuan politik, tanpa niat mencari untung. Ikhlas dan berniat menolong, itulah relawan sejati. Itulah yang kita butuhkan di negeri kita yang selalu diintip oleh bencana.
Pictures Taken from Sekretariat Astacala
Jakarta, November 2010
test
ReplyDelete