Skip to main content

Transmigrasi, Sawit dan Kebutuhan Kita

Lestari alamku, lestari desaku
Dimana Tuhanku menitipkan aku

Nyanyi bocah-bocah di kala purnama

Nyanyikan pujaan untuk nusa


Damai saudaraku, suburlah bumiku

Kuingat ibuku dongengkan cerita
Kisah tentang jaya nusantara lama

Tentram kertaraharja di sana


Sebuah cerita mengunjungi daerah transmigran, hampir sama kisahnya dengan daerah-daerah transmigran lain di pelosok Sumatra atau Borneo. Juga mungkin di daratan-daratan menghijau lainnya. Hutan, manusia, dan kebutuhan kita.

Apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar kata Transmigrasi? Tentulah sebuah program perpindahan penduduk dari daerah padat ke daerah yang jarang. Meratakan kesejahteraan dari dampak laju kelahiran dan pertambahan umat manusia di negeri ini.

Dia yang kalah oleh sawit

Di sebuah sudut warung di tepian desa kecil di daerah Kuamang Kuning, Muarobungo, Jambi. Pada suatu hari menjelang senja, setelah melewati perjalanan berkilo-kilometer, pemandangan yang telihat hanyalah sawit, sawit, dan sawit. Beberapa tonggak bekas pangkal pohon hutan alam sebelumnya terlihat lemah tak berdaya. Saya sedikit termenung membayangkan realita yang ada.

Beberapa hari kemudian, di sebuah rumah makan di kawasan Jakarta, sebuah artikel lingkungan di Koran Kompas bulan April yang saya baca menyebutkan bahwa sampai sekarang luasan hutan alam di Sumatra sudah sangat berkurang. Harimau Sumatra yang tercatat sebagai hewan langka makin tak punya rumah sehingga kerap berkeliaran ke kampung-kampung. Hasilnya, sebagian besar harimau tewas menjadi korban jebakan hewan. Sedikit berbeda dengan gajah, kawanaan hewan besar tersebut kalau tidak mati, ditangkap dan dijinakkan, tak lagi menjadi hewan bebas di alamnya.

Perkebunan sawit yang luas membentang

Di balik penggundulan hutan sebagai hasil membuka lahan perkebunan, saya mempunyai banyak teman dan kerabat yang tumbuh dan besar karena transmigrasi. Yang alkisah ketika mereka belum tiba di daerah baru untuk menjadi seorang transmigran, kehidupan hanyalah biasa saja. Boleh jadi dibilang pas-pasan.

Dan ketika beberapa tahun menjelang ketika perintisan transmigrasi telah dimulai, senyum-senyum keberhasilan tersiar dari kabar mereka. Mereka berhasil. Berhasil memanen hasil sawah dan ladang. Mempunyai banyak persediaan makanan. Mereka bisa menyimpan dan menabungkan hasilnya. Mereka berhasil menyekolahkan anak-anak mereka, sedikitnya bisa mengangkat harkat dan martabat generasi sebelumnya yang tidak begitu mengenyam pendidikan tinggi. Mereka mengenal perkembangan teknologi. Mereka berhasil meningkatkan taraf hidup, mereka berhasil sejahtera.

Sementara mereka yang di kota, yang mungkin sebagian besar tidak langsung berhadapan dengan kenyataan di lapangan, melihat bahwa makin banyaknya hutan berkurang. Makin banyaknya orang suku rimba yang beralih dari kebudayaan alaminya. Makin terkucilnya harimau dan gajah-gajah yang tak lagi punya rumah. Makin banyaknya pabrik-pabrik sawit mengembangkan usahanya.

Mereka yang tinggal di kota melihat mengatasnamakan cinta lingkungan, beropini tentang pembukaan hutan. Tentang laju deforestasi. Banjir, tanah longsor, hewan-hewan punah. Semua adalah kejahatan lingkungan. Mereka yang yang tinggal di kota bisa jalan-jalan di mal, bisa membeli motor dan mobil, bisa menikmati secangkir starbuk sambil berselancar di internet membaca berita-berita penggundulan hutan kemudian berteriak memprotes segala bentuk pengundulan hutan itu.

Para generasi penerus

Tahukah kita bahwa pembukaan hutan untuk sawit itu yang menyebabkan orang-orang transmigran bisa mencicipi segala kemewahan yang ada di kota? Bahwa setiap waktu panen adalah waktu gajian mereka? Bahwa setiap penjualan sawit adalah peningkatan taraf hidup mereka?

Tahukah kita bahwa setiap gosokan sabun yang kita pakai mandi asalnya dari sawit? Setiap makanan yang kita makan minyak gorengnya berasal dari sawit? Setiap kertas dan buku yang kita baca berasal dari kayu-kayu pembukaan hutan untuk sawit? Setiap teknologi telepon canggih dan gadget yang kita gunakan dihasilkan oleh enginer-enginer yang disekolahkan dan dibiayai oleh hasil perkebunan sawit?

Tuntutan zaman, itulah yang kita hadapi saat ini. Tak bisa dengan mutlak menyalahkan pembabatan hutan dan perluasan sawit sementara kebutuhan kita akan hasil tindakan tersebut tidak bisa kita kurangi. Tak bisa juga dengan mutlak kita menyalahkan naluri manusia yang konsumtif dan memiliki berbagai keinginan. Segala hal yang kita hadapi di bumi ini memang jaringan rumit berbelit yang saling berkaitan satu sama lain.

Hidup berimbang dan berperilaku bijaksana, mungkin adalah salah satu hal terbaik yang bisa kita lakukan. Semua pelaku, mulai dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan, investor pemilik pabrik, petani kecil dan juragan sawit, serta kita semua yang saat ini duduk di depan komputer sebagai pelaku tidak langsungnya. Sudahkah kita bijak dalam mengelola kebutuhan kita?

Lyric Taken from Gombloh - Berita Cuaca
Muarobungo - Jakarta, April 2010

Comments

  1. Gejrot........... gw juga punya tulisan yang sama... terinspirasi dari tulisan lo!
    keren..!

    ReplyDelete
  2. wew.. setelah 7 jam sawit, musik super keras di mobil, pecah laher ban... nice writing !

    btw, foto pertama tu yang menang foto favorit di fotokita.net kan?

    ReplyDelete
  3. @Astaka : Yo'i Gan. :D
    Kenangan kita berdua yang super romantis. :D

    ReplyDelete
  4. jalan jalan aja kerjaan si om euy..
    ayo ajak2 pah kapah nke. :)

    ReplyDelete
  5. @Darmatuladi : ayok Om. Kapan nih bisanya jalan2? Ke Pulau Seribu minggu depan mau?

    ReplyDelete
  6. Hidup berimbang dan berperilaku bijaksana.. duh,, ngena banged..

    ReplyDelete
  7. @fetti : iya. dan memang seharusnya begitu kan kita semua? :-)

    ReplyDelete

Post a Comment