Skip to main content

Rancaupas (Sedikit Kisah dari PDA 17)

Siang yang mendung, di atas bus jurusan Jakarta - Garut aku melaju. Sementara komunikasi dengan beberapa orang A di sekretariat sesekali berlangsung yang membuatku memutuskan kami bertemu di Rancaupas saja.

Di Balik Pagar Rancaupas

Hujan turun dengan lebatnya. Di atas angkutan umum Kopo menuju Soreang, dan dilanjutkan dengan bus tua menuju Ciwidey. Hujan yang bergerimis. Di tengah Pasar Ciwidey, kulangkahkan kaki untuk mencari makanan pengganjal perut. Dua orang A menghubungi bahwa mereka juga ada di pasar ini sedang berbelanja perbekalan. Tapi tak kutemui. Hanya saja kuputuskan untuk tidak membeli logistik lagi berdasarkan informasi dari mereka.

Di sebuah pojokan warung di Rancaupas, satu persatu batang hidung A dari kota mulai bermunculan. Tiga orang juga rupanya sedang turun dari atas. Jauh-jauh, sama-sama dari Jakarta, bertemunya ternyata di Rancaupas. Ya sudah, setelah dipastikan tak ada lagi yang datang, kami pun beranjak.

Menjelang senja, di dalam gerimis yang mulai bertambah lebat. Aku, Ulil, Gimbal, Adek, Uuth, dan Kupret melangkah. Menyusuri pinggiran kandang rusa di tengah padang rumput Rancaupas. Menuju ke dalam hutan Leuweng Jero, koordinat camp terakhir rangkaian perjalanan Pendidikan Dasar Astacala 17. Ditemani Sapi, Monov, dan Cirit yang ternyata mereka keluar ke Rancaupas untuk mandi air panas.

Tak begitu melelahkan sampai di base camp Leuweng Jero. Hanya saja kakiku perih dan gatal terkena snip snap yang tumbuh liar di sepanjang perjalanan. Ini gara-gara aku yang sok-sokan menggunakan celana pendek.

Subuh di Leuweng Jero

Malam beranjak dengan perlahan. Hujan turun dengan lebatnya. Walaupun malam ini seharusnya berpurnama, langit begitu gelapnya. Menambah dingin suasana di dalam hutan lembahan ini. Sekitar camp becek seperti biasa di kala hujan turun. Api unggun menari-nari membara di bawah payungan ponco yang cukup lebar. Kayu-kayu kering dan mati berserakan untuk menjaga api tetap menyala sampai pagi nanti.

Sementara lebih jauh ke dalam, dua puluh dua pemuda berslayer oranye tampak sibuk membenahi bivak alam yang bocor. Pakaian yang basah karena hujan dan perut yang terisi makanan-makanan survival selama tiga hari terakhir. Dingin, pasti. Lelah, juga iya. Di samping mengantuk dan keinginan untuk segera pulang menikmati belaian selimut yang nyaman.

Alam memang mengajarkan segalanya. Tentang bagaimana rasanya dingin atau panas. Bagaimana rasanya basah. Bagaimana rasanya lelah. Dan alam juga yang dengan cepat menunjukkan bagaimana diri kita. Tentang semangat dan sikap mental di kala susah dan menderita. Tentang persahabatan dan kerja sama. Dan setidaknya mebuat kita selalu berharap untuk yang terbaik, dan selalu bersiap untuk keadaan terburuk.

Lembah Rancaupas

Menjelang pagi, satu-persatu tubuh ini melangkah keluar dari dalam Leuweng Jero. Di dalam balutan embun pagi dan sinar mentari pagi. Pertanyaan-pertanyaan kembali lagi terlontar. Apakah tuan-tuan semua yakin? Bukan sekadar untuk menjadi seorang pendaki gunung? Atau sekadar menjadi pemanjat tebing terjal? Ataupun bisa untuk mengarungi sungai dan menelusuri gua?

Tuan-tuan semua, perjalanan beberapa pekan terakhir di dalam medan pendidikan dasar ini belum ada apa-apanya. Ke depan nanti alam lingkungan dan masyarakat membutuhkan tuan-tuan semua. Negeri merah putih ini juga ikut ada di dalam tangan-tangan tuan. Di dalam negeri dengan beribu suku dan budaya. Dengan berbagai perbedaan agama. Semoga tuan-tuan sampai di akhir hayat nanti masih tetap memiliki semangat untuk kebanggaan negeri ini. Layaknya suku-suku indian apache yang mencintai tanahnya di belahan bumi Amerika. Ataupun semangat para samurai dan pilot kamikaze dari negeri matahari terbit.

Dalam Balutan Embun Pagi

Siang pun menjelang. Di atas iring-iringan kendaraan menuju Bandung. Aku sendiri tak begitu tahu, tentang arti petualangan yang tuan-tuan cari nanti. Di puncak ketinggian gunung dan tebing-tebing yang menjulang. Di riak sungai-sungai yang mengalir. Atau di kegelapan perut-perut bawah tanah. Sementara bumi ini sendiri telah rapuh oleh roda-roda perputaran zaman. Kita sendiri tidak pernah tahu tentang masa depan yang penuh misteri. Sementara dengan bangganya tuan mengikrarkan diri menjadikan status sebagai pecinta alam. Apa yang sebenarnya menjadi alasan tuan? Sosok yang sebenarnya tidak mudah. Di manapun dan kapanpun, yang namanya mencintai membutuhkan ketulusan yang iklas. Apakah kita mengerti? Semoga tuan-tuan tahu apa yang tuan cari. Tentang hutan-hutan yang telah tuan jelajahi. Tentang tebing, sungai, gua, dan padang rumput. Tentang Lembah Purnama yang tuan-tuan banggakan. Dan tentang kehidupan ini, yang merupakan petualangan terbesar itu sendiri.

Ciwidey, November 2008

Comments

  1. mencintai alam gak harus jadi pecinta alam kan bli?
    check this out

    ReplyDelete
  2. Iya, benar sekali De... :-)

    ReplyDelete
  3. adminnya udah jarang ke leb bli, skrang kayany dia lagi diklat telkom, tar deh kalo dia ol saya bilangin... oya, emailnya akhmad.deniar@yahoo.com kalo bli gejor mau menghubungi.. oya lagi, denger2 kalo blognya pake blogspot, feed blognya harus "dipancing" lewat feedburner dulu, trus konfirmasi lagi di halaman register di blog itt...

    ReplyDelete

Post a Comment