Skip to main content

Benteng Terakhir

Semenjak pandemi corona ini berlangsung, sudah lama sekali saya tak pulang kampung. Biasanya seminggu atau dua minggu sekali saya pasti menyempatkan diri. Atau bahkan di waktu yang tak tentu. Hanya sekedar untuk melihat orang tua di rumah.

Untuk mengobati kerinduan, saya lakukan hanya lewat komunikasi di telepon. Memantau kesehatan orang tua. Sambil bertanya apa saja kegiatan dan aktivitas mereka pada hari-hari belakangan ini.

Saya mendapatkan kabar tentang ayah yang rajin panen ubi dan singkong. Memetik bayam dan buah pepaya. Yang pohon-pohon tersebut lagi rajin-rajinnya berumbi, berdaun, dan berbuah. Sampai-sampai bisa dijual ke pedagang-pedagang sayur.

Di rumah saya di Klungkung, ayah saya yang pensiunan PNS memang rajin bertani. Menanam segala jenis tanaman di kebun samping rumah. Atau di sawah di desa. Juga memelihara ayam. Yang beberapa ada di dalam kandang. Dan beberapa lain dibiarkan berkeliaran.

Ini adalah oleh-oleh dari desa, hasil kebun di rumah : buah pisang, mangga, pepaya, srikaya, delima, dan jeruk bali.
Kebetulan, semuanya berbuah dalam waktu yang bersamaan.


Saya jadi teringat kehidupan di kota. Dan kaitannya dengan kondisi belakangan ini. Yang karena itu pula, saya menuliskannya sebagai berikut.

Ruralisasi Jakarta

Di tengah pandemi corona, hari-hari demikian muram. Walaupun saya dan banyak orang masih bisa bekerja dari rumah, saya tahu bahwa banyak orang dirumahkan. Banyak yang kehilangan pekerjaan.

Di kota-kota besar di Jawa, terutama Jakarta, perkantoran banyak yang tutup sementara. Sampai batas waktu yang belum ditentukan. Bisnis jadi lesu. Urat nadi ekonomi berdenyut melambat.

Dengan sepinya perkantoran, otomatis berimbas pada sektor-sektor non formal. Karena tak ada yang ngantor, kantin dan warteg tak ada pembeli. Begitu juga tukang gorengan dan pedagang warung. Sopir angkot makin susah dapat penumpang. Taksi dan tukang ojek jarang menerima orderan.

Mall dan pertokoan tak ramai pengunjung. Karena penjualan tak sanggup menutup biaya operasional, akhirnya banyak kios yang tutup juga.  Karyawannya pun dirumahkan. Walaupun bukan PHK, tapi tentu tak digaji. Kalau tempat kerja baik, yang beruntung mungkin masih mendapatkan setengah atau seperempat kali gaji.

Karena itulah, ribuan orang pulang kampung. Berhenti ngekos. Keluar dari kontrakannya. Menuju desa-desa di berbagai daerah pelosok. Jika tidak, bagaimana membayar sewa bulanan? Belum lagi jika ada tagihan cicilan motor.

Seumur hidup, baru kali ini saya menyaksikan peristiwa rulalisasi skala besar. Migrasi orang-orang dari kota ke desa. Yang bukan disebabkan karena hari raya. Tapi oleh lesunya kehidupan karena imbas pandemi virus corona.

Hal Serupa di Bali

Tak jauh berbeda dengan Jakarta, hal serupa terjadi di Bali. Pariwisata mati. Tak ada turis. Pebisnis-pebisnis wisata kelimpungan. Sopir-sopir travel tak ada kerjaan. Pekerja hotel dikurangi jam kerjanya, bahkan dirumahkan pula.

Hampir semua pelaku pariwisata di Bali mengatakan kondisi kali ini sangat parah. Jauh lebih parah jika dibandingkan dengan peristiwa bom Bali atau erupsi Gunung Agung yang skalanya lokal. Kalau virus corona, skalanya global. Seluruh dunia mengalaminya.

Apa pilihan untuk para pelaku pariwisata ini? Ruralisasi lagi. Kebanyakan memang pulang kampung, seperti warga Jakarta. Kembali tinggal di desa-desa. Berbagi tempat dengan sanak saudara. Minimal, biaya hidup di desa tak semahal di kota.

Banyak kebutuhan mendasar, bisa diperoleh tanpa membeli. Hampir semua kebutuhan pangan ada di kebun dan di sawah. Itu pun jika kebun dan sawahnya masih ada.

Pun jika tinggal di desa berlangsung lama, tidak dipungkiri malah bisa menciptakan masalah baru. Seperti kemungkinan timbulnya konflik keluarga karena berbagi kenyamanan dan kehidupan.

Pariwisata yang Rentan

Melihat kondisi ini, sungguh sangat riskan bagi kehidupan yang hanya mengandalkan pariwisata.

Di Bali, banyak sawah dan kebun yang hijau beraneka ragam beralih fungsi. Saya masih memaklumi, jika peralihan fungsi itu menjadi rumah tempat tinggal karena kebutuhan. Karena pertambahan jumlah penduduk. Itu masalah berbeda yang bisa dibahas lain kali.

Tapi, peralihan fungsi yang saya maksud adalah yang membuat sawah dan kebun menjadi hotel, villa, atau fasilitas pariwisata lainnya. Yang selalu terjadi tak pernah berhenti. Menjamur di berbagai tempat.

Di lain pihak, pemerintah daerah dan aparatur setempat berlomba-lomba membuat desa wisata. Semua potensi desa digali. Kebanyakan jualan untuk wisata. Hutan, tebing, sungai, mata air; yang dulunya tersembunyi, pintunya dibuka lebar-lebar.

Semua itu mengundang para pebisnis. Untuk menanamkan modal. Membeli sawah dan kebun yang ada. Menarik para turis untuk berdatangan. Berpotensi menjadi sumber pendapatan daerah yang baru. Yang tentu saja, jika makin banyak turis yang datang, dianggap makin bagus. Menjadi mass tourism yang tak berkualitas.

Kondisi ini mendorong bergesernya cara pandang manusia di pedesaan. Baik secara sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Desa, yang awalnya memiliki siklus hidup yang berkelanjutan, perlahan-lahan berubah menjadi cenderung ke kehidupan kota yang rentan.

Desa adalah Benteng Terakhir

Seperti yang dicontohkan dengan terpukulnya pariwisata di Bali karena corona ini, desa kemudian menjadi benteng terakhir untuk berlindung. Menyediakan kebutuhan pangan walau sederhana.

Jika kita melihat kembali kehidupan desa-desa pada masa lalu, tergambar jelas masa itu yang aman. Berkecukupan, walau tak kaya raya secara materi.

Bahwa padi selalu tersedia di lumbung. Di bawahnya ada beberapa kungkungan nyawan yang menghasilkan madu. Palawija dalam jumlah banyak tergantung di langit-langit dapur yang menghitam. Stok kayu bakar melimpah.

Ada babi dan sapi di kandang. Ayam-ayam yang berkeliaran dan telur-telurnya di gudang. Pohon jambu, pohon mangga, pohon rambutan; tak asing menjadi perindang di halaman. Semuanya bisa untuk dimakan.

Sementara di sawah dan di kebun, sayur gonda dan jukut paku melimpah. Pohon pisang di berbagai sudut. Tak jarang juga ada bayam dan cabai. Kakul di sana-sini. Air minum di pancuran mengalir sepanjang musim, tak perlu lagi membeli dalam wadah galon.

Titik Balik

Di titik inilah, kita sering terlambat menyadari, bahwa kekayaan di pedesaan itu tak bisa dinilai dalam rupiah. Apalagi dalam dolar.

Siapa yang bisa menaksir harga udara yang segar? Atau alam menghijau dengan sungai yang mengalir jernih? Serta sawah dan kebun yang menyediakan segalanya?

Memang patut diakui bahwa tak sepenuhnya pariwisata itu keliru. Tapi yang perlu menjadi perhatian adalah cara kita menempatkannya.

Dulu, Bali mulai dikunjungi turis dan menjadi daerah wisata karena kehidupan pedesaannya yang kreatif berbudaya dan bersifat agraris. Kini, Bali lebih banyak menjadikan pariwisata sebagai komoditi pokok, sebagai tulang punggung kehidupan masyarakatnya.

Seharusnya, pariwisata menjadi komoditi sampingan. Artinya, desa-desa yang kuat dan berketahanan pangan yang semestinya dijaga, dijadikan yang utama. Yang kemudian bisa diselingi dengan jualan kepada turis sebagai tambahan penghasilan. Bukan sebaliknya, pariwisata dulu yang dibangun, lalu kehidupan desa yang menyesuaikan.

Pada Akhirnya

Saat menuliskan catatan ini, saya usai menyeruput minuman hangat. Seduhan campuran kunyit, sereh, jeruk nipis, dan madu. Semua bahannya bisa dipastikan hasil dari membeli di pasar. Bukan panen di kebun. Ya, tentu saja karena saya hidup di zaman sekarang dan tidak tinggal di desa.

Saya merenung memikirkan kehidupan yang terus berjalan. Sejarah penting saat ini sedang tertulis. Di dunia, di Indonesia, dan juga di Bali. Tentang corona dan imbasnya bagi pariwisata. Juga tentang desa yang menjadi tempat berlindung pada akhirnya. []

I Komang Gde Subagia - Denpasar, April 2020

Comments

Post a Comment