Skip to main content

Nyepi Kali Ini (Dengan Corona)

Saat malam Nyepi yang gelap, bintang-bintang  di langit terlihat lebih terang, walaupun hanya dilihat dari teras rumah


Nyepi kali ini rasanya sungguh berbeda. Bagaimana tidak. Sejak munculnya virus corona atau covid-19 dari Wuhan di Tiongkok pada Desember 2019 lalu, himbauan negara  pada masyarakatnya untuk waspada terus bergulir. Karena proses penularannya yang begitu cepat. Sehingga tak ada satu negara pun di dunia yang bisa dipastikan bersih dari virus ini.

Membatasi jarak dengan sesama makin mengemuka dan menjadi-jadi. Karantina. Lock down. Social distancing. Istilah-istilah ini menjadi tak asing. Tak peduli untuk urusan tradisi atau keagamaan. Termasuk dalam menyambut hari raya Nyepi kali ini pada tanggal 25 Maret 2020 Masehi. Tahun baru Saka 1942.

Tak hanya di Bali yang akan Nyepi. Hampir seluruh negara di dunia ‘ikutan’. Membatasi ruang gerak masyarakatnya. Beberapa malah melakukan lock down. Atau menutup akses secara total. Baik penutupan akses setingkat negara, provinsi, atau pun kota. Suasana jadi sepi. Tak ramai lagi. Rasanya, hari raya Nyepi dilakukan lebih awal. Dan dirayakan di seluruh dunia.

Pemerintah makin mewanti-wanti warganya untuk tetap diam di rumah. Tidak ke mana-mana jika tak penting. Saya yang sudah lebih dari seminggu bekerja dari rumah, merasakan sekali kondisi ini. Ketika keluar hanya untuk berbelanja ke warung, suasana di jalan sepi. Tak ada macet di persimpangan-persimpangan jalan seperti biasanya.

Tak ada lagi arakan ogoh-ogoh di malam pangrupukan, malam sebelum Nyepi yang biasanya meriah. Arakan ogoh-ogoh dilarang. Banyak anak muda yang kecewa. Yang sudah bersiap untuk bergembira, akhirnya batal menjelang hari H. Awalnya, banyak yang tak setuju dengan larangan ini. Tapi makin lama, situasi berbalik. Makin banyak yang memaklumi dan menuruti himbauan.

Upacara melasti dan pecaruan pada hari-hari sebelum Nyepi yang biasanya ramai, juga tak lagi meriah. Karena pesertanya dibatasi. Yang diperbolehkan hadir hanya beberapa pemuka agama dan pengurus desa saja. Itu pun diharapkan tak lebih dari 25 orang. Sementara masyarakat umum lainnya diminta untuk tetap di rumah.

Bahkan, sehari sebelum Nyepi, ada instruksi mendadak di beberapa kabupaten di Bali untuk melanjutkan larangan keluar rumah. Alias Nyepinya ditambah sehari lagi. Tapi tambahan satu hari ini tak ada kaitannya dengan tradisi dan keagamaan. Hanya untuk menghindarkan masyarakat untuk bersilaturahmi dan berkumpul.

Instruksi dari Bupati Klungkung, memerintahkan supaya pasar-pasar di wilayahnya tetap tutup. Instruksi Bupati Gianyar untuk menutup akses seluruh perbatasan. Lalu menyusul instruksi dari Bupati Tabanan yang isinya hampir serupa. Sampai akhirnya ada instruksi serentak dari gubernur untuk melakukan hal yang sama di seluruh tempat di Bali.

Banyak orang menyatakan tak pulang kampung untuk berhari raya. Selain karena tambahan hari untuk menyepi, alasan lainnya tentu karena himbauan social distancing. Khawatir jika pulang dan bertemu orang tua yang sudah sepuh. Yang rentan terkena imbas buruk pandemi corona. Tak ada yang tahu. Apakah kita yang muda dan dari kota menjadi pembawa virus atau tidak.

Akhirnya saya memutuskan untuk tak pulang kampung juga. Nyepi di Denpasar saja. Merayakan di rumah saya di kota untuk pertama kalinya. Ini juga melatih diri berhari raya secara mandiri. Selain itu, ditutupnya akses di Klungkung dan Gianyar sehari setelah Nyepi juga ikut menjadi alasan. Denpasar dan Klungkung dibatasi oleh Gianyar. Bagaimana saya bisa balik ke Denpasar jika Klungkung dan Gianyar ditutup? Toh Denpasar kemungkinan besar juga ikut ditutup.

Dan malam Nyepi masih seperti dulu. Sunyi. Gelap. Dengan bintang-bintang yang bertaburan di langit. Tanpa cahaya bulan. Tanpa cahaya lampu-lampu rumah dan penerang jalan. Tak ada suara deru kendaraan bermotor. Hanya suara jangkrik. Kadang lolongan anjing. Juga sesekali bunyi lonceng pengusir burung yang tertiup angin di persawahan dekat rumah.

Membayangkan kondisi malam yang begitu bersih dan tenang di tengah pandemi ini, rasanya aneh. Dampak corona sungguh bertolak belakang pada isu-isu lingkungan. Aktivitas manusia di Bali turun drastis saat Nyepi yang hanya sehari. Begitu juga aktivitas manusia di seluruh dunia, ikut turun. Dengan drastis pula. Dan itu tak hanya sehari, tapi berhari-hari. Semuanya karena corona.

Akibatnya, tingkat polusi global menurun. Udara lebih bersih dari biasanya. Air-air sungai juga lebih jernih. Di kota air Venice Italia, yang negaranya ditutup, sampai ada lumba-lumba yang berenang di saluran-saluran airnya. Biasanya peristiwa itu jarang terjadi. Membaiknya lingkungan ini sudah diberitakan berbagai portal berita dari seluruh dunia.

Di kala umat manusia terancam kesehatannya, bumi malah menjadi lebih sehat. Sekat-sekat sosial mulai terurai. Panasnya perbedaan pilihan politik, perbedaan suku bangsa dan agama; perlahan-lahan sedikit mendingin. Semua bersatu menghadapi virus yang ukurannya sangat kecil.

Melihat semua itu, tidakkah terlintas di pikiran kita, bahwa virus yang bernama corona ini muncul untuk menyeimbangkan keadaan alam yang telah rusak? Bahwa umat manusia lah yang sebenarnya membahayakan kelangsungan hidup planet bumi selama ini?

Entahlah. Tapi yang pasti, bumi dan alam semesta punya sistemnya sendiri. Yang bekerja di luar jangkauan pengetahuan dan prediksi manusia. Biarlah semua itu berjalan sesuai arahnya. Kita sebagai manusia hanya berusaha melakukan yang terbaik.

Semoga Nyepi kali ini bisa menjadi renungan dan bahan instropeksi. Bahwa bumi butuh istirahat dan menyeimbangkan dirinya sendiri. Untuk menjadi tempat yang nyaman dan harmonis. Bukan hanya bagi manusia. Tetapi juga bagi hewan dan tetumbuhan, serta semua mahluk hidup di dalamnya.

Semoga pandemi corona bisa kita hadapi bersama. Kita semua selalu sehat. Selalu dikaruniai pikiran yang baik, perkataan yang baik, perbuatan yang baik. Semoga semua mahluk berbahagia dan kedamaian senantiasa menyertai kita semua.

Selamat hari raya Nyepi. Selamat tahun baru Saka 1942. []

I Komang Gde Subagia - Denpasar, Maret 2020

Comments