Skip to main content

Menghayati Kesendirian di Ruteng

Akhirnya saya tiba di Ruteng. Kota kecamatan yang menjadi ibu kota Kabupaten Manggarai di Flores.

Udara cukup dingin. Ruteng bisa dibilang adalah kota di pegunungan. Berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut. Menyebabkan suhunya rendah.

Jika tak tertutup awan, Pegunungan Mandasawu seharusnya terlihat jelas di selatan.

Pintu gerbang Kota Ruteng di Jalan Raya Trans Flores


Menghayati Kesendirian

Hari telah beranjak sore. Leonardus Jalo, yang menemani saya ke Wae Rebo telah kembali ke Labuan Bajo.

Saya sendiri kali ini. Tak ada teman. Di kamar sebuah penginapan yang sepi. Yang saya pilih secara acak dari Google Maps. Yang tak ada review atau reputasi di aplikasi perjalanan. Yang harganya cocok dengan isi kantong.

Penginapan ini berdinding kayu. Tampak tua. Sementara kamar mandinya ada di bawah lantai. Rasanya seperti di bawah tanah. Gelap. Tapi cukup bersih. Suasananya agak horor. Dan saya masa bodoh.

Hal yang kadang kurang saya sukai ketika melakukan perjalanan sendiri adalah rasa kesepian. Terutama ketika tak melakukan kegiatan apa pun. Seperti saat merebahkan diri untuk istirahat kali ini. Itu membuat saya merenung. Pikiran ke mana-mana. Jadi melankolis.

Mengapa ada segelintir orang yang mau sengaja pergi ke tempat-tempat asing sendirian? Bersusah-susah di negeri orang. Meninggalkan zona nyaman. Sementara sebagian besar lain mungkin sedang bergembira jalan-jalan atau tinggal di rumah, bersama keluarga atau orang-orang terdekat.

Pertanyaan itu rasanya sering ditanyakan. Bahkan menjadi klise. Yang jawabannya kemudian tak pernah jelas. Lebih kepada teka-teki dan misteri. Bagi seorang pengelana. Tentang pemikiran-pemikiran yang memasuki perasaan-perasaan paling pribadi sebagai seorang manusia.

Dan seterusnya. Dan seterusnya.

Ruteng yang Sepi dan Gelap

Daripada saya berubah menjadi seorang filsuf, saya memutuskan keluar saja. Lebih baik jalan kaki keliling kota. Sore sudah berganti menjadi malam. Udara semakin dingin.

Berbekal Google Maps, saya keluyuran sendiri. Luntang-lantung di Kota Ruteng. Ini pusat kota. Tapi gelap. Tak ada lampu penerangan jalan. Cahaya hanya dari lampu-lampu rumah, warung, dan kendaraan bermotor yang lewat.

Taman kota yang saya kira ramai, ternyata sepi. Juga gelap. Lampu taman mati semua. Tembok dan pagarnya kusam. Rumput-rumput tumbuh tinggi. Tanaman tampak tak terawat.

Suatu senja di Ruteng. Tampak di selatan, Pegunungan Mandasawu yang akan tertutup awan.


Setelah makan malam di sebuah warung, saya ke sebuah kedai kopi. Namanya Kopi Mane. Mau mencari sedikit keramaian. Yang pengunjungnya hanya beberapa. Lokal dan bule.

Saya nongkrong di sana. Dan tentu minum kopi. Dalam bentuk cappucino. Kopi Manggarai rasa Italia. Sambil ngobrol dengan penjaganya, tentang apa yang bisa saya lihat-lihat di Ruteng.

Kata penjaga kedai, saya bisa melihat sawah lingko. Kampung tradisional Ruteng Pu'u. Gereja. Dan biara. Hmmm...

Kota Seribu Gereja dan Biara

Ruteng memang dikenal dengan nama Kota Seribu Gereja. Juga Seribu Biara. Karena memang ada banyak gereja dan biara di kota ini.

Mungkin jumlahnya tak sampai seribu, tapi memang banyak. Karena hampir di setiap titik yang saya lewati ada gereja dan biara. Saat siang keesokan harinya, saya juga melihat banyak biarawan dan biarawati di sekitarnya.

Berdasarkan catatan sejarah, Portugis dan Belanda pernah berkuasa di Flores. Menguasai hasil bumi dan mempengaruhi sistem kepercayaan dalam masyarakat. Karena itulah penduduk Pulau Flores pada umumnya dan Ruteng khususnya, sebagian besar beragama Katolik.

Gereja Santo Yosep, adalah salah satu gereja tertua di Kota Ruteng sejak zaman Belanda


Sawah Lingko

Pagi keesokan harinya, saya menyewa sebuah sepeda motor. Saya mau pergi ke sawah. Yang bentuknya unik. Menyerupai jaring laba-laba. Itulah sawah lingko. Yang hanya satu-satunya ada di Flores.

Sawah lingko yang menyerupai jaring laba-laba di Desa Cancar, Ruteng


Sawah lingko yang menyerupai jaring laba-laba di Desa Cancar, Ruteng


Manggarai memang cukup subur. Hampir di setiap tempat bisa ditemui sawah. Salah satu yang saya kunjungi ini berada di Desa Cancar. Sekitar tujuh belas kilometer di barat Kota Ruteng.

Sawah lingko bagi masyarakat Manggarai terkait dengan sistem pembagian lahan secara adat. Tanahnya pun tanah adat. Yang dimiliki secara komunal untuk memenuhi kebutuhan bersama.

Pembagian lahannya dilakukan oleh ketua adat, dengan rumus tertentu. Seperti seberapa luas atau seberapa banyak. Tergantung status dalam masyarakat atau jumlah ahli waris yang dimiliki.

Pola jaring laba-laba terjadi karena proses pembagian lahan. Sebuah garis panjang dibuat dari titik tengah yang dalam bahasa Manggarai disebut lodok. Ditarik hingga ke bidang terluar yang disebut cicing. Lodok, bagian yang kecil berada di bagian paling dalam atau di tengah. Bagian yang keluar makin lama semakin lebar.

Di Manggarai banyak terdapat sawah.
Banyak warga yang menjemur padi sebagai hasil pertanian di depan-depan rumah.


Ke Kampung Ruteng Pu'u

Menjelang tengah hari, saya memacu motor dari Cancar kembali ke arah Kota Ruteng. Menyusuri Jalan Trans Flores yang meliuk-liuk. Dengan pemandangan perbukitan menghijau.

Di pinggiran Kota Ruteng, ada sebuah kampung adat. Namanya Kampung Ruteng. Kota Ruteng dan Kampung Ruteng ini penyebutannya berbeda. Huruf 'e' pada Kota Ruteng diucapkan seperti mengucapkan kata meja. Sedangkan huruf 'e' pada Kampung Ruteng diucapkan seperti mengucapkan mesin.

Tak sulit menemukan lokasi Kampung Ruteng. Sebuah gerbang yang kedua ujung kanan kirinya bermodel tanduk kerbau menjadi pintu masuknya. Serta kuburan-kuburan bertanda salib sebelum sampai tepat di tengah kampung.

Kampung Ruteng Pu'u

Kampung Ruteng Pu'u


Saya menemui Sebastian Jehana. Lelaki paruh baya yang menjadi petugas wisata. Ia orang Kampung Ruteng asli. Juga pegawai negeri sipil di dinas pariwisata. Setelah mengisi buku tamu dan berdonasi seiklasnya, ia mempersilahkan saya untuk melihat-lihat.

Siang cukup terik. Dan sepi. Hanya saya yang merupakan orang asing di sini. Rumah-rumah di kampung ini berdiri melingkar. Rumah yang atapnya berbentuk limas ada tiga. Sisanya merupakan rumah-rumah seperti pada umumnya.

Bebatuan tersusun memanjang di depan rumah. Beberapa motor dan sebuah mobil angkutan kota yang usang terparkir di pojokan. Di tengah kampung ada compang, susunan bebatuan yang membentuk altar. Dengan sebuah pohon meranggas tumbuh di tengahnya.

Bertemu Ketua Adat dan Putrinya

Di depan rumah, saya bertemu seorang bapak tua yang sedang makan pinang. Umurnya sudah tujuh puluh. Ternyata ia ketua adat. Namanya Lambertus Dapur.

Saya ngobrol biasa saja dengan sang ketua adat. Ia bercerita tentang nenek moyangnya yang berasal dari Minangkabau. Termasuk sistem kekerabatan patrilineal yang mereka gunakan sampai sekarang.

Ya, banyak suku di Manggarai asal muasalnya dari tanah minang di Sumatera. Sejarahnya panjang dan komplek. Suku Minang di nusantara memang gemar merantau. Makanya ada banyak pengaruhnya di Flores.

Lambertus Dapur, sang ketua adat Kampung Ruteng Pu'u


Salah seorang putri Lambertus menyapa saya. Ketika ia tahu bahwa saya dari Bali, ia melanjutkan obrolan dengan bahasa Bali yang fasih. Lho?

Ternyata si putri ketua adat ini sudah lama tinggal di Bali. Ia bersekolah SMA dan kuliah di Denpasar. Pantas saja.

Memang, banyak orang di Nusa Tenggara Timur menjadikan Bali sebagai tempat merantau. Seperti sejarah di masa lalu, bahwa Bali menjadi pulau yang paling maju di kawasan Sunda Kecil, negeri kepulauan di timur Jawa.

Meninggalkan Ruteng

Waktu sudah lewat tengah hari. Angin dingin berhembus ketika saya memacu motor. Saya harus segera kembali ke penginapan. Travel yang saya pesan akan menjemput jam dua siang.

Sudah waktunya untuk meninggalkan Ruteng. Perjalanan berikutnya, saya akan menuju Bajawa. Kota lain di Flores bagian tengah. []

I Komang Gde Subagia - Ruteng, Juni 2019

Comments