Skip to main content

Sukra Umanis Kelawu

Ngayab Banten Piodalan

Jumat Legi, atau Sukra Umanis Wuku Kelawu. Adalah tanggal penting bagi keluarga besar saya di Bali. Hari dilaksanakannya Upacara Piodalan di Pura Dadia kami. Pura Dadia Arya Keloping di Desa Besang Kawan Tohjiwa. Di Klungkung, Bali.

Piodalan adalah upacara peringatan hari lahirnya sebuah pura. Ia berasal dari kata wedal. Yang berarti keluar atau lahir. Ibarat seorang manusia yang merayakan ulang tahun. Begitulah piodalan itu. Dirayakan sebagai hari ulang tahun sebuah keluarga besar.

Bagi masyarakat Bali yang menganut sistem patrilineal, Pura Dadia sangatlah penting. Ia disebut juga sebagai Pura Ibu. Induk dari mereka yang berasal dari satu keturunan. Ketika bermukim di tempat baru dan keturunan makin bertambah, di sanalah dibangun pura. Sebagai simbol tempat asal. Juga simbol pemersatu kekerabatan.

Pada tahun 2019, hari Sukra Umanis Kelawu ini terjadi dua kali. Yang pertama pada tanggal 26 April. Yang kedua pada tanggal 22 November. Selalu berulang setiap 210 hari sekali. Penanggalan Bali yang menggunakan sistem wewaran dan wuku, cara kerjanya memang demikian.

Pelaksanaan piodalan di bulan April ini seperti biasa. Sama seperti yang sudah-sudah.

Sebelum puncak upacara, pemangku dan penglingsir keluarga menghias patung dewa-dewi, simbol keagungan Hyang Widi. Juga lontar pusaka, yang memuat babad silsilah leluhur. Serta berbagai perlengkapan upacara lainnya.

Ngiasin, Menghias Berbagai Peralatan Upacara
Sekeha Gong Besang Kawan Tohjiwa tak pernah absen. Selalu mengiringi. Memainkan gamelan gong lelambatan. Musik tradisional Bali untuk Dewa Yadnya. Menambah khidmat jalannya upacara.

Pinandita yang memimpin upacara piodalan adalah Pedanda Istri dari Griya Bendul. Merapalkan mantra-mantra. Kala  menyucikan perlengkapan upacara, melakukan pemujaan persembahyangan, maupun memercikkan tirta atau air suci kepada kami semua.

Ida Pedanda yang Memimpin Upacara

Jero Mangku atau Yang Menjadi Pemimpin Pura

Ada satu hal yang baru dan pertama kali dilakukan pada piodalan kali ini. Yaitu dilaksanakannya Puja Trisandya.

Sebelumnya, Puja Trisandya ini tak pernah dilakukan di Pura Ibu kami. Sekarang dilakukan karena memang begitulah seharusnya. Seperti kata paman dan kakak sepupu saya. Di pura-pura desa, Trisandya selalu dilakukan saat piodalan.

Puja Trisandya adalah pemujaan yang dilakukan oleh masyarakat yang beragama Hindu. Tiga kali sehari. Pagi, siang, dan sore. Di Bali, yang pengaruh Hindunya sangat kental, pemujaan ini baru dikenal beberapa puluh tahun terakhir.

Sepengetahuan saya, Trisandya ini belum dikenal di zaman kakek dan nenek saya. Bahkan Ayah dan Ibu saya pun baru mengetahui Trisandya ini dari generasi anak-anak dan keponakannya. Yang mana generasi terakhir ini mengetahuinya dari sekolah-sekolah. Karena di sekolah Trisandya diwajibkan. Baik di SD, SMP, maupun SMA.

Begitulah di Bali. Ajaran Hindu aliran Siwa, Wainaswa, dan Brahma berpadu dengan kepercayaan lokal Bali. Berbaur seiring perjalanan waktu. Mantra-mantra yang bersumber dari Weda berkolaborasi dengan praktik-praktik lokal. Agama Hindu dan Agama Bali. Agama Tirta. Jadilah Hindu Bali, Hindu Dharma. Yang menjadi identitas agama sebagian besar masyarakat Bali sekarang ini. Seperti di keluarga besar saya.

Rasanya, tentang Agama Bali ini sangat menarik jika dituliskan di tulisan tersendiri. Kepercayaan lokal yang ada sejak berabad-abad silam. Sebelum kartu administrasi kependudukan menuliskan agama Hindu sebagai identitas orang-orang di Bali.

Mejaya-jaya, Nunas Tirta atau Air Suci

Dan apa pun itu, yang pasti saya selalu suka dengan datangnya piodalan di Pura Ibu saya. Perasaan yang tak pernah berubah dari saya masih kanak-kanak. Senang ketika melihat seluruh sanak saudara berdatangan. Berkumpul bersama. Sibuk menyiapkan ini itu. Atau makan-makan ketika upacara telah selesai. Penuh kegembiraan.

Mungkin di alam sana, para leluhur juga ikut senang menyaksikannya. Karena itulah hal penting yang paling sederhana. Bahkan melebihi  prosesi piodalan itu sendiri. Yaitu mereka yang satu garis keturunan, sebagai keluarga besar, masih terus bisa berkumpul dan bersatu. Dalam suasana penuh kebersamaan. []

I Komang Gde Subagia - Klungkung, April 2019


Comments