Skip to main content

Untuk Selandia Baru


Saya belum pernah ke Christchurch. Kota besar di Pulau Selatan di negara Selandia Baru. Tapi saya telah banyak mencari informasi tentangnya. Menyusuri beberapa jalanan dan beberapa titik pentingnya di Google. Melalui map, street view, atau beberapa website informasi lainnya. Ini karena saya berangan-angan akan pergi ke sana suatu hari nanti. Bersepeda. Di Pulau Selatan itu, yang banyak memiliki bentang alam indah. Di mana Christchurch adalah pintu gerbangnya.

Ketika mendengar berita penembakan di dua mesjidnya, saya terhenyak. Kaget. Ngeri. Selandia Baru yang saya kagumi ketenangannya ternyata mengalami kejadian brutal. Puluhan orang menjadi korban. Bahkan pelakunya merekam aksinya melalui video. Live. Siaran langsung. Saya tak menontonnya. Tak mau. Saya tak habis pikir, apa yang merasuki kepala pelakunya. Apa yang membuat dendamnya begitu kesumat.

Selandia Baru adalah negara yang memiliki indeks pembangunan manusia yang tinggi. Jumlah penduduknya sekitar 4,5 juta. Setara dengan jumlah penduduk di Pulau Bali. Luas wilayahnya sekitar 268 kilometer persegi, melebihi luas dua kali Pulau Jawa. Pendapatan perkapitanya hampir sepuluh kali lipat dari Indonesia. Kota-kotanya maju. Alam-alamnya indah. Maka tak mengherankan, tingkat kebahagiaan di Selandia Baru sangat baik. Tapi kejadian penembakan di hari Jumat lalu mencorengnya.

Rasisme. Fanatik akan identitas. Itu yang pertama kali terlintas dalam benak saya, ketika mencari jawaban atas tindakan pelaku. Kita sebagai manusia yang bukan mahluk individu, sudah merupakan hukum alam menjalani hidup berkelompok. Lahir dan tumbuh dari kelompok yang paling dasar, yaitu keluarga. Kemudian membesar sampai kepada kelompok-kelompok masyarakat agama, suku, ras, maupun negara. Juga kelompok politik dan kesamaan pandangan lainnya.

Kefanatikan akan identitas ini penyakit hati. Merasa kelompok sendiri paling baik dibandingkan kelompok lain. Dulu di Jerman, ras arya merasa kelompoknya paling hebat sehingga melakukan tindakan genosida pada ras Yahudi. Tahun 1998 di Jakarta, kaum yang merasa pribumi melakukan berbagai tindak kekerasan pada etnis Cina. Sekarang di Selandia Baru, pelaku yang merupakan ras kulit putih disinyalir merasa ras lain yang imigran di negaranya sebagai pengganggu. Maka ia melakukan tindakan keji untuk untuk menyalurkan kebenciannya.

Semua itu melahirkan lingkaran dendam. Lingkaran setan. Yang jika diikuti terus tak akan berhenti. Membuat kehancuran. Pertama pelaku melakukan kekejaman di mana kelompok kita menjadi korban. Selanjutnya pembalasan terjadi. Pelaku kemudian berasal dari kelompok kita. Korbannya dari kelompok lain sebelumnya. Begitu terus. Jika kita manusia yang berbudi, kita harus menghentikan lingkaran setan itu.

Manusia di bumi makin banyak.  Kepentingan makin beragam dan kompleks. Gesekan antar kelompok makin mudah terjadi. Ketika salah satu anggota kelompok terancam atau tersakiti, adalah hal yang manusiawi jika anggota kelompok lain ikut merasakannya. Keinginan membela diri dan kelompok pasti akan ada. Itu adalah sifat alami semua mahluk yang bernafas. Entah itu manusia, hewan, atau tumbuhan. Makan, kawin, berkembang biak, berkelompok, berkuasa, dan bertahan hidup.

Dan kita adalah manusia. Mahluk yang paling tinggi tingkatannya. Sanggup berpikir dengan akal sehat. Memiliki kemampuan mengendalikan emosi, memahami perasaan mahluk lain, berpikir yang baik, berkata yang baik, berbuat yang baik. Hal-hal seperti teror di Christchurch tak seharusnya diperbuat. Bahkan, sampai di pikiran pun tidak. Begitu pula jika ada dendam yang kemungkinan besar akan muncul, ada baiknya kita hentikan. Jika marah, marahlah sebentar. Dan dalam hati. Kemudian maafkan. Setulus-tulusnya. Sebagai manusia. Bukan sebagai seorang anggota kelompok. Bukan karena kita menganut agama ini, atau bukan karena kita bersuku itu. Tapi sekali lagi sebagai sesama manusia. Bahkan kalau bisa, sebagai sesama mahluk hidup di alam semesta raya.

Jika kita pernah menderita, kita patutnya bersyukur. Karena itulah kesempatan kita untuk bertumbuh lebih baik. Kita di dunia ini tak menderita sendiri. Semua mahluk pasti memiliki penderitaan. Jika kita sadar, kita bisa mengobati penderitaan kita sendiri. Juga mengobati penderitaan mahluk lain. Mengobati dunia. Menolong semampunya yang kita bisa. Atau jika tak bisa menolong, setidaknya kita tak menyakiti. Tidak mendendam. Dalam bentuk apa pun. Perbuatan, perkataan, bahkan pikiran sekalipun.

Dan kembali lagi tentang identitas. Entah suku, agama, ras, atau kelompok lainnya. Kadang saya sedih jika kita memperlakukan identitas ini secara berlebihan. Ini yang sering membuat saya berpikir jika saya harus membanggakan sesuatu. Atau menceritakan sebuah berita maupun menyampaikan suatu kisah. Jika bisa, saya tak ingin dilihat sebagai orang yang asalnya dari suku ini atau agama itu. Hanya seorang manusia yang hidup dalam peradaban masyarakat. Makanya, saya cenderung tak setuju jika kita menunjukkan solidaritas dengan menonjolkan identitas kita. Saya lebih setuju kita melakukannya dengan menonjolkan identitas kemanusiaan kita.

Saya selalu kagum dengan petuah-petuah bijak dari orang ternama. Terutama tentang lepasnya berbagai rasa keakuan kita. Lepasnya identitas kita. Khususnya dalam hal kemanusiaan. Salah satunya petuah dari Bunda Teresa berikut. Berbicaralah sedikit mungkin tentang diri sendiri. Uruslah persoalan-persoalan pribadi. Hindari rasa ingin tahu. Janganlah mencampuri urusan orang lain. Terimalah pertentangan dengan kegembiraan. Jangan memusatkan perhatian pada kesalahan orang lain. Terimalah hinaan dan caci maki. Terimalah perasaan tak diperhatikan, dilupakan, dan dipandang rendah. Mengalah terhadap kehendak orang lain. Terimalah celaan walau Anda tak layak menerimanya. Bersikap sopan dan peka, sekalipun seseorang memancing amarah Anda. Jangan mencoba agar dikagumi dan dicintai. Bersikap mengalah dalam perbedaan pendapat, walaupun Anda yang benar.

Akhir kata, saya turut berbela sungkawa sedalam-dalamnya atas tragedi di Chrischurch. Semoga kejadian ini tidak memantik pertikaian yang lebih jauh. Sebaliknya, semoga kejadian ini bisa membuat kita semua lebih memanusiakan manusia. Kita menjadi manusia seutuhnya. Semoga pikiran baik datang dari segala penjuru. Semoga semua mahluk berbahagia. []

Denpasar, Maret 2019

Comments