Skip to main content

Ke Singaraja


Saya jarang ke Singaraja, ibukota Kabupaten Buleleng di Bali. Kalau dihitung-hitung, saya baru tiga kali ke kota ini. Yang pertama sekitar tahun 1997, ketika saya SMP. Ikut lomba mengarang. Yang kedua sekitar tahun 2016. Mengantar Bapak bertemu rekannya. Dan yang ketiga pada akhir pekan ini. Mengantar adik ipar yang baru menjadi PNS.

Suasana Kota Singaraja menyenangkan. Bisa dibilang sebagai kota terbesar kedua di Bali, setelah Denpasar. Cukup ramai. Tapi tidak padat. Jalanan lancar. Tak ada macet. Kondisi yang ideal untuk sebuah kota. Juga asri. Banyak pepohonan rindang di pinggir jalan. Ini saya lihat ketika baru memasuki Singaraja dari arah Bedugul. Ada patung Singa Ambara Raja yang menjadi landmark kota ini. Tampak gagah terpasang di persimpangan jalan utama.

Ketika adik ipar saya ditempatkan di Singaraja, ia mengeluh. Katanya terpencil. Juga jauh. Jauh dari Denpasar. Padahal Denpasar ke Singaraja bisa ditempuh selama tiga jam perjalanan. Tapi jauh yang dimaksud adalah jauh dari sanak saudara. Tak banyak hiburan. Tak ada bioskop. Tak ada mall. Atau tak ada beragam tempat makan yang kekinian untuk nongkrong.

Ketika saya berkeliling kota di malam minggu, saya melihat ada banyak pertokoan. Walaupun sebagian besar sudah tutup. Ada pasar senggol. Ada pusat perbelanjaan modern, yaitu Hardys dan Carefour yang menempati satu gedung yang sama. Yang saya sebut pertama adalah milik seorang pengusaha Bali. Yang kedua, seperti yang diketahui oleh umum, adalah milik seorang pengusaha nasional. Jadi, sebenarnya tak sepi-sepi amat.

Singaraja disebut sebagai kota pedidikan. Ia memiliki kampus ternama. Menjadi salah satu kampus awal yang ada di Bali. Namanya STKIP, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Kemudian berubah menjadi IKIP, berbentuk institut. Dan sekarang telah menjadi Universitas Pendidikan Ganesha. Nama yang diambil dari nama dewa dalam mitologi Hindu, penguasa ilmu pengetahuan.

Kampus ilmu pendidikan di Singaraja ini mencetak sarjana pertama di keluarga  besar saya. Jadi bisa dibilang kampus yang bersejarah. Adalah I Nengah Sudja, biasa saya panggil Pak Ngah, adik bungsu bapak saya. Beliau yang saat ini telah menjadi doktor dan guru besar di sebuah kampus di Denpasar awal mulanya dididik di sini. Di zaman yang tak enak. Ketika tak banyak orang yang bersekolah, apalagi kuliah. Sebuah kebanggaan bagi keluarga saya. Sering diceritakan oleh mendiang nenek. Juga sering diceritakan oleh Bapak.

Tak jauh dari pusat kota, ada Lovina. Siapa yang tak tahu? Ini adalah pantai yang ketenarannya seperti Kuta. Karena letaknya di Bali utara, tak banyak turis. Tapi selalu ada. Biasanya dari Pantai Lovina kita bisa bermain di laut dan melihat lumba-lumba. Tapi saya tak pernah ke Lovina. Maksudnya, saya tak pernah ke pantainya. Hanya lewat di jalan rayanya saja. Di mana banyak ada penanda hotel atau resort. Biasanya penanda yang terpasang di ujung jalan kecil yang menuju tepi pantai. Mungkin kunjungan berikutnya saya akan meluangkan waktu ke sana.

Saya hanya pernah ke pantai bekas pelabuhan waktu kunjungan kedua bersama Bapak. Juga bersama Okoh, sepupu saya. Yang saat itu kami memang ke Singaraja hanya bertiga. Kami makan siang di sebuah warung apung yang tak mengapung. Disebut warung apung karena warung ini berdiri di atas beton-beton yang dirangkai di atas laut. Tempat santai yang ideal di tepi pantai. Tapi makanan di warungnya biasa saja. Tak spesial.

Di pantai bekas pelabuhan ini ada tugu perjuangan. Namanya Yudha Mandala Tama. Berbentuk patung seorang pemuda bertelanjang dada yang membawa bendera merah putih. Latar ceritanya diambil dari zaman perang kemerdekaan. Pada tahun 1945. Para pejuang rakyat bertempur di pelabuhan ini sehingga terjadi insiden perobekan bendera. Yang dirobek tentunya bendera Belanda. Dari merah putih dan biru, kemudian disisakan merah dan putih saja. Sekilas mirip peristiwa di Hotel Oranje yang sekarang bernama Hotel Majapahit, di Surabaya. Tapi peristiwa di Singaraja terjadi lebih dulu, pada bulan Oktober. Kalau di Surabaya, terjadi pada bulan November.

Yang paling saya inginkan ketika di Singaraja adalah mengunjungi Gedong Kirtya. Ini adalah museum peninggalan Belanda. Berlokasi di pusat kota. Dekat dengan Puri Buleleng yang merupakan wilayah kota tua atau kawasan bersejarah. Tapi sayang, museum ini hanya buka pada hari kerja. Senin sampai jumat. Padahal museum yang menyimpan sejarah suatu daerah harusnya dibuka pada akhir pekan. Untuk wisatawan yang biasanya banyak berlibur. Jika buka, mereka tentu bisa berkunjung untuk melihat-lihat. Termasuk saya, yang di akhir pekan ini ada di Singaraja. Tapi tak bisa ke sana karena tutup.

Gedong Kirtya menyimpan berbagai naskah kuno Bali. Juga menyimpan naskah-naskah kuno lainnya dari berbagai tempat di nusantara. Hampir setiap artikel tentang pengetahuan Bali kuno yang saya baca selalu menjadikan museum ini sebagai referensinya. Begitu juga artikel-artikel tentang lontar dan aksara nusantara. Museum yang berdiri sejak tahun 1928 ini selalu disebut.

Sebagai kota terbesar kedua di Bali dan terletak jauh di ujung utara, Singaraja hampir selalu dituntut untuk semakin maju. Oleh sebagian besar masyarakat di Bali. Terutama mereka yang berasal dari Buleleng, khususnya Singaraja. Alasannya supaya pemerataan pembangunan di Bali seimbang, antara yang di selatan dan yang di utara.

Rencana pembangunan bandara di Bali utara sudah digaungkan dari dulu. Lokasinya di Kubutambahan. Sekitar sepuluh kilometer di timur kota. Prosesnya sudah hampir menyelesaikan urusan pembebasan lahan. Mungkin akan segera dikerjakan. Jika bandara ini telah terbangun, diharapkan bisa meringankan arus lalu lintas penerbangan di Bandara Ngurah Rai yang sudah sangat padat. Objek wisata di sekitarnya juga bisa terangkat. Ekonomi bisa lebih bergairah.

Selain bandara, ada proyek shortcut. Pembangunan jalan singkat yang menghubungkan Denpasar dan Singaraja. Yang saya tahu, ada sebelas titik yang akan dibangun. Menyebar dari kawasan Bedugul di Tabanan, sampai ke Gitgit di Buleleng. Pengerjaannya bahkan sudah dimulai. Selama ini, jalur utama dari selatan ke utara ini memiliki tingkat kemiringan tinggi. Juga berkelok-kelok. Karena melewati daerah pegunungan, di Bali bagian tengah. Selalu ramai. Sering menyebabkan macet dan kecelakaan. Dengan adanya shorcut, jalan akan lurus tak banyak tikungan. Waktu tempuh bisa dipersingkat. Satu jam lebih cepat. Juga diharapkan lebih aman.

Ketika menempuh perjalanan ke Singaraja, saya melihat pengerjaan shortcut ini sedang berlangsung. Lokasi yang saya lihat ada di Desa Wanagiri. Titik tertinggi di jalur Denpasar - Singaraja. Mungkin baru dimulai dari sini. Ada banyak truk pengangkut material dan mesin ekskavator. Ada banyak pekerja proyek. Bukit-bukit dibelah. Pohon-pohon ditebang. Lahan diratakan. Jalan aspal di sekitarnya kecoklatan terkena ceceran tanah.

Pembangunan memang seperti pisau bermata dua. Harus hati-hati menggunakannya. Jika tidak, bisa berakibat buruk. Begitu pula dengan niat memajukan Singaraja dan Bali utara, melalui pembangunan bandara dan shortcut. Di satu sisi, ia akan bermanfaat membangun ekonomi. Tapi jika ada kesalahan, maka pembukaan lahan di kawasan pegunungan Bali tengah ini akan merusak lingkungan. Bisa membawa dampak besar. Pemerintah yang telah menggoalkan proyek-proyek ini tentu sudah mengkaji pertimbangan-pertimbangan tersebut.

Pegunungan di Bali bagian tengah yang dilalui jalur Denpasar - Singaraja ini bisa dibilang hulu dari sungai-sungai di Bali. Ada tiga danau besar yang menampung air dari hutan-hutan di kawasannya. Tak ada proyek pembangunan pun, hutan telah banyak dibuka. Jika musim hujan, jalan menurun dari Wanagiri ke Pancasari sering seperti banjir. Juga longsor. Mengalirkan air kecoklatan. Membawa ranting dan pohon tumbang. Kebun di sekitar danau terendam banjir. Jika musim kemarau, terjadi kebalikannya. Danau surut. Tepiannya kering kerontang. Rasanya gersang.

Dan siang itu, saya kembali pulang ke Denpasar. Setelah semalam menginap di Singaraja. Saya menyempatkan diri mampir di Gitgit. Desa di mana ada objek wisata air terjun pertama di Bali. Di lembah yang diapit perbukitan hijau. Airnya kecoklatan. Jatuh bebas dari ketinggian. Percikan air dan embunnya sampai membasahi saya yang berdiri cukup jauh. Beberapa pancuran mengalirkan air dari cerukan-cerukan tebing. Sejuk. Pepohonan menghijau. Angin sepoi-sepoi. Bunyi tonggeret bersahutan. Canang sari dengan dupa yang harum ada di beberapa tempat. Dihaturkan oleh penjual-penjual suvenir yang membuka warung di sepanjang jalan setapak ke air terjun. Sebagai simbol sembah hormat kepada alam semesta beserta isinya.

Sementara di atas sana, truk dan ekskavator sedang bekerja. Membangun shortcut. Menambah laju percepatan pembangunan. []

Singaraja - Denpasar, Februari 2019

Comments