Skip to main content

Bersepeda, Denpasar - Ubud



Hari sudah sore. Jam tiga lewat. Matahari masih bersinar terik. Udara di Kota Denpasar terasa begitu panas. Saya akan bersepeda sore ini. Menyusuri jalur pendek dari Denpasar ke Ubud, kemudian balik lagi ke Denpasar. Jalur ini sebagian sudah pernah saya lalui. Juga sudah saya rangkai di Google My Maps.

Ban sepeda saya pompa. Tetapi bannya tak bisa sampai benar-benar memiliki tekanan yang pas. Masih lembek saja. Pompa yang saya gunakan rusak. Katupnya lepas. Ini membuat udara tak biaa masuk sempurna. Jika ban sudah terisi udara yang cukup, mengisinya lagi menjadi susah. Akhirnya saya cukupkan saja. Nanti diisi udara saja di bengkel pinggir jalan. Tak jauh dari rumah, ada bengkel sepeda.

Perlengkapan bersepeda sudah siap. Yang spesial, saya membawa action cam GoPro Hero 5. Saya membeli kamera ini beberapa hari yang lalu. Jadi ini percobaan pertama saya bersepeda membawanya. Sebelumnya sudah. Tapi waktu naik motor dari kantor ke rumah, bukan saat bersepeda. Semoga hasilnya bagus. Karena saya terpincut dengan video-video bagus bersepeda di Youtube.

Saya mulai mengayuh. Start dari rumah, di lingkungan Banjar Kertajiwa. Menyusuri jalan aspal. Sebelum Banjar Tohpati, saya mengisi angin pada ban sepeda di sebuah bengkel sepeda. Ada beberapa sepeda di sana. Kebanyakan adalah sepeda anak-anak.

Sampai di Banjar Tohpati, saya menyeberang jalan raya. Di sini jalanan cukup ramai. Ini termasuk jalan raya provinsi. Saya harus menunggu lama untuk bisa ke seberang. Untuk selanjutnya masuk ke sebuah gang kecil yang bernama Gang Jepun Pipil II. Dulu, saya tak masuk ke gang ini. Tapi kali ini saya lewat gang saja. Menuju persawahan di belakang perumahan Gang Jepun Pipil II ini. Di Google Map, tak tampak jalan setapak di tengah sawahnya. Hanya gambaran pematang kecil yang sepertinya bisa dilalui sepeda.

Akhirnya saya sampai di ujung perumahan. Terlihat persawahan yang sepertinya baru selesai panen beberapa hari sebelumnya. Persawahan ini masuk ke dalam wilayah Desa Penatih Dangin Puri. Nun jauh di tepi persawahan ini sudah tampak rumah semua. Saya memarkir sepeda. Kemudian berjalan kaki menyusuri pematang. Seorang petani yang saya tanyai mengatakan pematang ini bisa tembus sampai ke jalan utama, Jalan Siulan. Tapi kemudian ia kaget. Karena saya kemudian mengambil sepeda untuk menyusuri sawah. Tapi sepeda tak saya naiki. Saya menuntunnya saja.

Sebenarnya sepeda bisa dikendarai. Tapi saya tak mau ambil resiko jatuh. Ini baru perjalanan di beberapa kilometer pertama. Tak lucu jika saya jatuh atau cedera dulu. Udara masih panas. Kaki saya mulai gatal menerobos rerumputan dan semak-semak. Sesekali saya harus mengangkat sepeda karena menyeberangi aliran air. Fiuh. Ternyata memang benar informasi satelit dari Google di tempat ini. Pematangnya tak bisa dilintasi kendaraan jenis apapun. Saya membuka HP dan melihat posisi pada Google Map. Ternyata jalan besar tak jauh lagi. Beberapa meter menjelang rumah pertama, barulah ada jalan setapak. Sepeda pun saya naiki dan kayuh lagi. Saya sempatkan untuk mendokumentasikan perjalanan saya. GoPro saya pasangkan pada tripod dan saya mulai berbalik dan mengayuh. Syuting untuk diri sendiri.

Akhirnya saya keluar di sebuah belokan Jalan Siulan.Tapi, dari belokan jalan ini saya masuk lagi ke tengah persawahan. Kali ini pematangnya sudah dipaving. Sepertinya ini adalah joging track. Saya tak pernah ke sini sebelumnya. Ada beberapa orang yang saya lihat sedang memancing di aliran air persawahan ini. Ada petani yang sedang membajak sawah dengan traktor. Dan ada juga seorang ibu-ibu dengan anaknya yang sedang jalan-jalan sore.

Jalan paving persawahan ini akhirnya bermuara lagi di jalan raya. Tepatnya di sebuah pertigaan, pertemuan Jalan Nagasari dan Jalan Siulan. Dari sini, saya menyusuri jalan raya menuju Batubulan. Jalan rayanya cukup panjang untukdilalui sepeda. Mungkin sekitar satu kilometer. Sebuah tugu lambang Kabupaten Gianyar berdiri di tepi jalan. Selokan kecil membelah dari utara ke selatan tak jauh darinya. Di sinilah perbatasan antara Denpasar dan Gianyar. I i sudah di Desa Batubulan. Saya mengayuh sepeda saya lebih cepat. Menuju jalan pedesaan di wilayah Banjar Pagutan Kaja.

Saya tak suka bersepeda di jalan raya. Setelah masuk kawasan Banjar Pagutan Kaja, jalan mulai sepi. Di sini cukup menyenangkan. Suasananya asri. Teduh. Banyak pepohonan di pinggir jalan. Di ujung jalan, ada villa wisata. Mungkin karena ada villa ini, jalanan dijaga selalu asri. Di depan bale banjar, ada pedagang sate babi. Ibu pedagang yang sudah tua melihat saya dan tersenyum. Sore-sore, memang banyak pedagang sate babi. Dagangannya biasanya hanya sate babi ditambah ketupat. Sama sambal. Mejanya pendek, tidak tinggi seperti pedagang kaki lima pada umumnya.

Di ujung jalan, ada pura desa. Di sini aspal berakhir. Saya masuk menyusuri gang kecil. Melalui tegalan penduduk. Lalu gang ini berlanjut ke jalan setapak di area persawahan. Tanaman padi masih baru. Hijau dan digenangi air. Di beberapa titik, ada petani-petani yang sedang bekerja.  Ada yang saya lihat sedang menyiangi sawah, mencari rumput, dan memetik bunga. Bunga adalah salah satu komoditi yang laku di Bali. Sebagai bahan dasar untuk membuat canang. Ada satu dua sepeda motor yang saya lihat sedang diparkir. Sepertinya milik para petani itu. Di   jalan setapak area persawahan ini, saya syuting lagi sendiri lagi.

Jalan setapak di persawahan ini menuju ke utara. Berujung di sebuah perumahan di pinggiran Desa Jagapati, Badung. Beberapa ekor anjing mengikuti saya. Tapi tak menggonggong. Biasanya memang banyak anjing jika kita lewat gang-gang perumahan seperti ini di Bali. Kadang ada saja anjing yang galak dan mengejar.

Dari kawasan Desa Jagapati, saya mulai berbelok ke area persawahan Desa Angantaka. Jalur yang saya lalui ini masih membelah persawahan dari selatan ke utara. Saya baru sadar bahwa jalur yang saya lalui ini adalah wilayah perbatasan antara Kabupaten Badung dan Gianyar. Sebelumnya dengan Denpasar. Di wilayah Angantaka ini, persawahan cukup luas. Persawahan ini adalah Subak Pedahan. Ada pengumuman di depan pura subak yang saya lalui. Pengumuman tentang dilarang membangun dan mengapling tanah. Juga memperjualbelikannya. Saya pikir, peraturan subak ini lumayan juga. Bisa melindungi lahan pertanian. Tapi seorang teman pernah menanyakan apakah larangan-larangan tersebut sesuai hukum yang berlaku. Ya, karena peraturan di tingkat terkecil harus sesuai dengan perda dan undang-undang di atasnya. Semoga saja area persawahan yang hijau ini tetap terjaga.

Di ujung utara persawahan, ada rombongan pesepeda yang menuju ke selatan. Berkebalikan dengan arah saya. Kami saling menyapa. Tak lama kemudian, saya tiba di Jalan Raya Angantaka - Subang Gede. Jalan ini melintang dari timur ke barat di persawahan. Saya harus menyeberanginya. Masuk ki sisi utaranya dan menyusuri lagi jalan setapaknya di tengah sawah. Di bawah sebuah pohon yang rindang, saya beristirahat. Baterai kamera GoPro yang hanya satu-satunya, saya charge. Saya memang membawa power bank. Seorang ibu petani ada di dekat saya. Ia memperbaiki saluran air. Istirahat lima belas menit saja. Sambil menunggu baterai terisi. Matahari sudah condong ke barat. Udara sudah tidak panas seperti waktu berangkat dari rumah.

Cukup istirahat, perjalanan dilanjutkan. Arahnya masih ke utara. Memasuki persawahan wilayah Desa Sedang. Di desa ini, jalan setapak tanah sudah berganti menjadi paving blok. Ternyata ini adalah joging track. Banyak masyarakat sekitar sedang berolahraga di sini. Ada yang jalan-halan saja. Beberapa bersepeda. Di sebuah pertigaan, saya menuju ke timur. Masuk ke wilayah Desa Singapadu Kaler, Gianyar. Ada rombongan motor ATV wisata melintas. Ternyata di sini jalur mereka. Di salah satu sisi jalan di tepi sawah, ada pedagang tipat dan sate babi yang ramai pembeli. Saya mampir sejenak menyapa pedagangnya yang ramah. Mantap juga. Sore-sore seperti ini makan tipat dan sate di tepi sawah.

Melaju terus ke arah timur, jalanan mulai menanjak. Sekarang saya sudah tiba di pemukiman penduduk di Desa Singapadu Kaler. Tepatnya di Banjar Silakarang. Arah perjalanan ke utara lagi sekitar beberapa puluh meter untuk kemudian ke timur lagi. Saya tiba di Jalan Raya Singapadu. Menyeberang ke timur. Di Bale Banjar Silakarang, saya berhenti. Baterai GoPro sudah habis. Harus saya charge di dalam tas sambil bersepeda. Banjar Silakarang ini adalah titik paling utara dari target bersepeda saya hari ini. Hari sudah makin sore. Jam lima lewat. Semoga saya bisa sampai di Denpasar sebelum gelap.

Dari Bale Banjar Silakarang, jalan menurun ke timur. Meluncur menuruni lembahan sungai. Di pinggir jalan, banyak ada batu-batu paras. Daerah ini memang penghasil batu paras, yang ditambang dari sungai. Setelah melewati jembatan, saya memasuki wilayah Desa Lodtunduh. Jalan menanjak tajam, sesuai kebalikan turunan sebelumnya yang saya lalui. Saya harus menuntun sepeda karena tak kuat menanjak. Di sebuah warung, saya beristirahat. Air di botol sudah habis. Saya mengisinya lagi di warung ini.

Oke. Lanjut lagi. Saya menyusuri jalan kecil menuju ke timur. Menyeberangi Jalan Raya AA Gde Rai. Lalu menyusuri Jalan Raya Silungan. Di sebuah belokan, saya masuk ke area persawahan lagi. Pematang sawah yang bisa dilalui sepeda sedang dipaving block. Kadang saya sedih juga dengan jalan setapak yang dipaving. Jalan menjadi lebar dan lebih rata. Sepeda motor juga bisa melaluinya selain sepeda. Jadi untuk sepeda MTB atau cross country, menjadi kurang seru lagi. Proses pengerjaan paving block di area ini sedang berlangsung. Terlihat tumpukan pasir dan batako di beberapa tempat di pinggir sawah.

Beberapa ratus meter kemudian, setapak kembali berupa tanah. Proyek paving belum sampai di sini. Saya mengayuh sepeda lebih kencang lagi. Langit senja mulai menguning. Seirama dengan persawahan di sini yang banyak ditanami bunga gumitir. Nyiur-nyiur melambai ketika saya mulai memasuki kawasan pemukiman penduduk. Sayup-sayup, alunan Tri Sandya terdengar. Sudah jam enam sore.

Saya kembali menemui jalan aspal kecil. Menuju Jalan Raya Lodtunduh. Saya memacu sepeda lagi dengan kencang. Dari jalan raya ini, saya menyusuri jalanan yang menurun ke selatan. Menyeberangi sungai. Lalu masuk ke kawasan Desa Singapadu Kaler. Setelah sungai, saya memasuki jalan kecil lagi dan masuk ke area persawahan. Langit yang kuning mulai memerah. Beberapa petani saya lihat sedang berjalan di pematang. Sepertinya sudah mau pulang. Area persawahan ini sedang pasca panen. Di tepi jalur yang saya lalui, ada jerami yang sedang terbakar. Asapnya tebal. Saya harus menahan nafas ketika melewatinya.

Di timur, ada sungai lagi. Jalanan menurun. Kanan dan kiri pepohonan. Juga semak-semak. Membentuk lorong yang panjang. Karena sudah sore, suasananya gelap. Sampai akhirnya saya tiba di sebuah bendungan. Ini perbatasan antara Desa Singapadu Kaler dengan Desa Batuan. Di bendungan inilah tempat menyeberang. Jalannya sempit. Hanya bisa dilalui sepeda. Atau mungkin sepeda motor. Tak jauh dari bendungan ini, ada villa. Di samping kanan dan kiri sungai. Ada jembatan kecil yang menghubungkannya. Rumput dan bunga-bunga tumbuh di sana. Suasananya menjadi asri. Ada banyak orang berpakain adat yang saya lihat ketika saya sampai di seberang sungai. Seperrinya sedang ada piodalan.

Saya mengayuh sepeda lagi ke timur. Karena tadi dari barat, menurun. Sekarang ke timur, menanjak. Seperri kata teman yang sering bersepeda dengan saya, "amongken legane amonto sebete". Yang artinya, seberapa senangmu sebegitu pula sedihmu. Dalam bersepeda dengan jalur memutar atau looping, kalau kita gembira dengan jalan turun, kita akan menderita karena akan menemukan jalan yang menanjak.

Saya tiba di Desa Batuan. Jalanan berupa aspal. Jalan pedesaan. Bukan jalan raya. Saya mengayuh santai saja. Tenaga sudah terkuras akibat tanjakan tadi. Jalan desa yang saya susuri ini bernama Jalan Lettu Nengah Duaji. Saya melewati pura yang ada pohon beringin besar tumbuh di sana. Juga melalui persawahan yang ada kandang-kandang ayam, juga tempat penggilingan padi. Sampai kemudian jalan ini berujung di Desa Sukawati.

Di Sukawati, jalan yang saya lalui adalah tepatdi belakang pasar. Suasana sudah tak  ramai. Kios-kios sudah tutup. Hanya beberapa warung dan toko makanan. Di jalan utama Sukawati, saya mulai terganggu dengan banyaknya bus-bus pariwisata yang ukurannya besar. Mereka beriringan. Melaju cukup kencang menyalip saya. Saya harus menepi. Mwmbiarkan mereka lewat saja. Tapi di Pertigaan lampu lalu lintas, saya bertemu iring-iringan bus ini. Sial. Untung saja di pertigaan tersebut, mereka berbelok. Tak searah dengan jalur saya.

Setelah pertigaan, saya memasuki Desa Celuk. Jalanan masih jalan raya yang ramai kendaraan dengan lampu ya g sudah menyala. Langit sudah makin memerah dan gelap. Saya sudah lelah. Tak bisa ngebut untuk bisa cepat sampai di rumah. Sepertinya saya memang harus sampai si rumah saat malam. Lampu deoan dan belakang sepeda sudah saya nyalakan. Berkedip. Sebagai sinyal supaya saya yang bersepeda bisa dilihat oleh pengguna jalan yang lain.

Di sebuah gang kecil, saya masuk. Gang ini tembus ke Desa Batubulan Kangin. Jalan kecil ini sudah diaspal. Makin lama makin lebar. Kanan dan kiri berupa persawahan yang sudah banyak beralihfungsi menjadi rumah. Hari sudah gelap. Saya memasuki area persawahan lagi. Ini adalah area persawahan terakhir sebelum mencapai rumah. Saya mengayuh sepeda santai. Toh sudah gelap. Daripada buru-buru, selain capek bisa celaka. Apalagi jalanan masih di sawah.

Sampai akhirnya saya tiba di Perumahan Candra Asri, Banjar Biaung. Ini sudah dekat dengan rumah. Tapi saya malah bertambah capek. Rasanya diburu-buru supaya segera sampai. Saya berniat mampir di warung es kelapa muda di Biaung. Tapi tutup. Saya kecewa. Saya istirahat saja di pelataran warung itu sambil meminum air yang tersisa di botol. Seorang ibu pemilik warung kelontong di sebelahnya mengajak saya ngobrol. Katanya sepeda saya keren lamounya berkedip-kedip. Ia juga kaget ketika tahu saya bersepeda pulang pergi ke Ubud. Jauh juga, katanya.

Dan jam delapan malam kurang, saya tiba di rumah. Lumayan juga. Sekitar tiga sampai empat jam saya bersepeda. Badan terasa hangat. Keringat banyak menetes. Semoga selalu sehat untuk bisa terus blusukan bersepeda.

Oh ya, hasil GoPro saya jelek. Semua hasil video saat mengayuh sepeda arahnya ke bawah. Ternyata memakai GoPro di dada ada tekniknya tersendiri. Saya belum tahu itu. Berarti nanti saya akan mengulangi bersepeda di jalur ini. Dengan persiapaan kamera yang lebih matang. Okelah kalau begitu. []

Denpasar, Februari 2019

Comments

Post a Comment