Skip to main content

Keliling Sangeh dan Carangsari (Bagian 2)

Di tepian kolam, saya menghirup segarnya udara. Pemandangan di lembah Tukad Yeh Penet ini sangat asri. Rasanya begitu tersembunyi dari dunia luar. Sementara, kucuran dan gemericik air Beji Samuan berpadu dengan denting genta jero mangku. 

Bersepeda Keliling Sangeh dan Carangsari
(Foto oleh Alit Arimbhawa)

Agama Tirta, Agama Asli Bali

Menikmati suasana di petirtaan seperti ini, pikiran saya melayang tentang tradisi Bali. Tentang spiritualitas dan kepercayaan lokal orang-orang di pulau ini.

Jika kita melihat lebih dalam, maka akan kita ketahui bahwa setiap kegiatan upacara keagamaan di Bali, selalu menggunakan air sebagai instrumen utama. Sebelum memulai, saat kegiatan, dan setelah selesai; air selalu digunakan.

Suasana Beji Samuan di Lembah Tukad Yeh Penet

Suasana Beji Samuan di Lembah Tukad Yeh Penet


Dulu, kepercayaan orang-orang Bali disebut sebagai Agama Tirta. Yang artinya air suci. Karena selalu menggunakan air. Sebuah praktik laku kehidupan yang diamalkan oleh hampir seluruh manusia penghuninya.

Agama lokal Bali ini tumbuh dan berkembang di pulau yang alamnya subur, hijau, dan asri. Pas dan cocok untuk petani dan orang desa yang masih menyentuh tanah dan bercocok tanam. Berbudaya agraris.

Berbagai ritual pemujaannya menunjukkan keterhubungan manusia dan alam : pegunungan, lembah, pepohonan, tetumbuhan, sungai, laut, dan tentu saja sumber air. Ia menjadi esensi dalam laku spiritual sehari-hari.

Jika kita mengunjungi desa-desa di Bali, hampir semuanya memiliki beji atau mata air yang disucikan. Atau tanyakan pada warga lokal setempat, bagaimana kita bisa nunas tirta di sana. 

Salah satu contohnya tentu saja seperti Beji Samuan, tempat yang saya kunjungi kali ini. Saksi sejarah perjalanan Agama Bali, Agama Tirta. Agama lokal manusia-manusia Bali.

Tapi apa pun nama kepercayaannya, rasanya tak terlalu berhubungan dengan spiritualitas. Apalah artinya agama jika laku kehidupan kita tak selaras dengan semesta? 

Kata Alit, jika kita meributkan agama, sama saja meributkan bungkus tapi lupa dengan isinya. Seperti berbagai perdebatan tentang Hindu Bali atau India atau Nusantara. Atau sempalan-sempalan berbagai aliran. Atau perdebatan agama-agama Abrahamic di luar sana. 

Istirahat di Warung

Saya, Alit, dan Ufo mulai bergegas. Waktu telah menunjukkan jam dua siang. Ufo yang tak sarapan dan belum makan siang, mewanti-wanti untuk segera naik.

Setelah selesai berganti pakaian, kami berdoa lagi di salah satu pelinggih. Nunas tirta dan memasang wija di kening. Memohon pamit dan mengucapkan terima kasih pada jero mangku yang bertugas.

Kami mulai mendaki anak tangga satu per satu. Saya berjalan di depan. Disusul Alit. Dan Ufo paling belakang. Ufo mulai meracau mau memesan makanan. Ia kelaparan dari tadi. 

Sampai di atas, kami beristirahat di sebuah warung. Ufo dengan lahap menghabiskan tipat santok yang dipesannya, sampai ludes tak bersisa. Sementara saya dan Alit hanya menikmati teh manis ditemani satu bungkus biskuit.

Tipat santok dan biskuit sudah habis. Lumayan sebagai pengganjal perut. Jam memang menunjukkan waktu makan siang yang telah lewat. Tapi kami sudah berencana untuk istirahat makan siang beneran di Sangeh. Banyak pilihan kuliner di sana. 

Perjalanan Dilanjutkan

Perjalanan mengayuh sepeda pun dilanjutkan. Kami mulai menyusuri jalan setapak tanah. Dimulai dari atas beji ke arah selatan. Lalu tembus ke jalan berpaving yang cukup rapi.

Ufo yang menjadi penentu jalur tetap berada di depan. Sesekali berhenti di beberapa titik untuk mencocokkan posisi di Google Maps. Kanan dan kiri masih persawahan dan tegalan warga.

Melewati persawahan di utara Sangeh
(Foto oleh Alit Arimbhawa)


Kita akan menuju Tanah Wuk, kata Ufo. Sebuah tempat di utara hutan Sangeh. Tempat di mana ada air terjun dan gua besar di lembahan Tukad Yeh Penet.

Kami pun mengayuh terus. Melalui jalan-jalan setapak kecil di tengah sawah. Yang padinya masih hijau. Dengan pohon-pohon kelapa yang tumbuh subur di kanan dan kiri jalan setapak.

Blusukan di Hutan Jati

Sedikit kurang yakin, kami memacu sepeda ke arah barat. Di sebelah tembok pagar pembatas yang tinggi. Jalan makin kecil dan tak jelas. Sementara peta di Google Maps menunjukkan ada jalan setapak ke arah selatan.

Sepertinya, peta di aplikasi ini belum diperbarui. Dulu tembok pembatas rasanya belum ada. Jadilah kami mengelilingi tembok batako. Yang di dalamnya tumbuh pohon-pohon jati yang tinggi menjulang.

Cukup jauh menempuh jalan setapak yang makin kecil, akhirnya kami tiba di bagian tembok yang roboh. Tak ada jalan lagi. Kami memutuskan untuk masuk ke dalam melalui runtuhan tembok tadi. Masuk ke area hutan jati.


Melalui pinggiran hutan jati yang telah dipagari tembok
(Foto oleh Alit Arinbhawa)


Alit bersandar di salah satu pohon jati setelah blusukan mengangkat sepeda dari bawah
(Foto oleh Dwiana Putra)


Akhirnya sampai di jalan setapak di dalam hutan jati
(Foto oleh Dwiana Putra)


Pilihan jalan hanya masuk ke hutan jati. Tak ada yang lain. Karena di tepi barat sudah merupakan jurang Tukad Yeh Penet. Sedangkan ke selatan juga buntu. Hanya pepohonan dan semak yang lebat. Tapi kami nekat saja masuk ke timur. Menerobos semak-semak di bawah pohon-pohon jati. Kaki sampai gatal-gatal. Padahal sudah mandi. 

Saya memilih di depan sekarang. Saya penasaran. Kenapa jalan yang seharusnya ada di Google Maps, tapi tak ada di kenyataannya. Rasanya memang kami agak melenceng terlalu ke barat. Karena lahan hutan jati ini sudah dipagari tembok. Kami pun potong kompas ke arah timur. 

Dan benar saja. Kami menemui jalan setapak lagi. Masih di dalam hutan jati. Membentang dari utara ke selatan. Di ujung utara, saya melihat samar-samar ada patung Buddha. Di ujung selatan, ada beberapa bangunan rumah. Kami lalu memacu sepeda ke selatan.

Ternyata, bangunan rumah yang kami temui di selatan adalah bangunan tua. Sudah rusak dan roboh. Bangunan ini adalah villa-villa yang sudah tak ditinggali lagi. Tak terawat. Dengan atap-atap yang ambruk dan semak-semak tumbuh liar. Agak menyeramkan juga.

Tiba di Tanah Wuk

Kami pun keluar dari kawasan villa tak terawat, yang rasanya seperti berhantu. Pintu gerbangnya yang tergembok ada di timur. Tapi untung saja, ada bagian tembok yang rendah. Sehingga kami bisa keluar sambil mengangkat sepeda satu per satu.

Di Tanah Wuk
(Foto oleh Alit Arimbhawa)


Seorang petani di kejauhan datang menghampiri. Sepertinya ia curiga. Melihat kami datang dengan meloncati pagar. Setelah diinterogasi seadanya, kami pun melanjutkan perjalanan. Menaiki pematang sawah yang ada di luar pintu gerbang villa tak terawat yang sekaligus sebagai hutan jati tadi.

Tanjakan di pematang sawah cukup tinggi. Alit yang katanya bisa mengendarai sepeda untuk melaluinya, akhirnya nyerendeng. Jatuh terjerembab. Pas sekali waktu itu Ufo merekamnya dalam video. Saya yang mengayuh di belakang, ikut berhenti.

Oh ya, Tanah Wuk tempat kami keluar dari hutan jati adalah tempat wisata. Tapi rasanya kawasan wisata itu tutup dan terbengkalai. Tak ada tanda-tanda ada yang berkunjung. Rumput-rumput ilalang juga terlihat tak terawat.

Tanah Wuk ini adalah bagian dari lembahan Tukad Yeh Penet. Lokasinya di sebelah utara Sangeh. Dari namanya, berarti tanah yang rusak. Mungkin karena ada bentukan muka bumi yang tak teratur. Bahkan sampai membentuk gua besar di dasar lembahannya.

Kembali ke Sangeh

Akhirnya, setelah menyusuri sedikit persawahan dan menyeberangi jalan raya Sangeh - Sembung, kami kemudian sampai di sisi utara hutan Sangeh. Lalu masuk ke dalam hutan. Menyusuri setapak menuju lapangan parkir di sisi selatan.

Dengan sampainya kami di parkiran, berarti usai sudah perjalanan bersepeda kali ini. 

Ufo

Alit

Gejor


Waktunya untuk istirahat. Sambil berwisata kuliner. 

Tujuan istirahat sekaligus makan siang kami adalah ke sebuah warung tepi sawah. Yang menawarkan menu ikan gurame nyatnyat. 

Dan jarak warung dengan hutan sangeh cukup jauh. Jadinya tak ada monyet yang mengganggu. Apalagi sampai mencuri makanan kami seperti pagi tadi. []


I Komang Gde Subagia | Abiansemal - Petang,  Agustus 2020

Comments