Skip to main content

Keliling Sangeh dan Carangsari (Bagian 1)

Monyet ekor panjang itu asyik mengunyah nasi kuning di atas pohon. Yang didapatkannya dari dashboard mobil. Monyet itu pasti sangat menikmatinya. Pagi-pagi benar sudah dapat rejeki nomplok. Nasinya masih hangat. Lengkap dengan ayam suwir dan tempe oret manis. Belum lagi beberapa pisang goreng yang juga ikut dibawa kabur.

Bersepeda keliling Sangeh dan Carangsari
(foto oleh Alit Arimbhawa)

Sementara itu. Di bawah pohon tempat si monyet menikmati sarapan. Saya dan Alit melihat peristiwa itu. Antara sedih dan tertawa. Sedih karena merasa sayang sekali makanan seenak itu dibawa kabur oleh para primata. Tertawa karena nasi itu adalah jatah Si Ufo, teman kami yang memang nasibnya cukup sial pagi ini. Ia terlambat berangkat. Sehingga nasi bungkus tak sempat ia makan sebelumnya. Niat mau dimakan di Sangeh, malah sarapan itu berakhir di tangan para penghuni hutan.

Awal Mula Cerita

Seusai insiden makanan diambil monyet, saya memulai perjalanan. Bersepeda cross country. Bersama Alit Arimbhawa yang sudah baik hati mentraktir nasi kuning. Juga bersama Dwiana Putra alias Si Ufo, yang manyun karena belum sempat sarapan.

Si monyet sedang sarapan nasi kuning hasil penjambretannya
Si monyet sedang sarapan nasi kuning hasil penjambretannya
(foto oleh Alit Arimbhawa)


Jalur bersepeda kami kali ini adalah di sekitar Sangeh dan Carangsari. Kawasan pedesaan di Kecamatan Abiansemal dan Kecamatan Petang di Kabupaten Badung. 

Kami mengangkut sepeda-sepeda kami dari Denpasar ke Sangeh. Titik awal kami bersepeda adalah dari tempat parkir kawasan wana wisata Sangeh. Yang monyetnya sangat banyak dan berkeliaran sampai ke tempat parkir. Jalur bersepeda yang kami rencanakan adalah looping. Dari Sangeh menuju ke utara di sisi timur. Lalu kembali ke Sangeh lagi melalui sisi barat.

Melalui Hutan Sangeh

Kami mulai mengayuh sepeda. Membelah hutan Sangeh. Yang pohonnya tinggi-tinggi. Jalan setapak di tengah hutan berpaving rapi. Berlumut dan dipenuhi serasah dedaunan. Sangat rindang dan sejuk. Apalagi hari masih pagi.

Melalui hutan Sangeh
Melalui hutan Sangeh


Sebagaimana umumnya di Bali, kawasan hutan biasanya disucikan. Seperti hutan Sangeh yang merupakan hutan kuno. Pepohonannya adalah pohon pala yang sudah berusia ratusan tahun. Di mana di tengah-tengahnya terdapat sebuah pura. Namanya Pura Pucak Bukit Sari. Yang dibangun pada abad ke-17 oleh anak angkat Raja Mengwi kala itu.

Kawasan hutan di Sangeh ini luasnya hanya empat belas hektar. Dibatasi sebelah oleh persawahan di sebelah utaranya. Lalu di sebelah barat dibatasi lembahan Tukad Yeh Penet. Sementara di sebelah timur berupa jalan raya. Dan di selatannya berupa kawasan perumahan warga Desa Sangeh dengan beberapa kebun dan tegalan.

Sepanjang Jalan Raya Sangeh - Petang

Kami memutari hutan Sangeh dan menuju jalan raya. Ufo sebagai leader dan penentu jalur memutuskan untuk menyusuri jalan raya. Menanjak terus ke utara. Menuju Desa Carangsari yang sudah masuk ke kawasan Kecamatan Petang. 

Mengayuh sepeda di jalan raya beraspal dan menanjak memang tantangan tersendiri. Selain banyak kendaraan melintas yang menuntut kita untuk lebih waspada, otot betis pada kaki juga harus kuat. Sepanjang lima kilometer, kami tak berhenti mengayuh. Tak ada beristirahat Dan tak ada bonus turunan sama sekali.

Selain kendaraan yang lalu lalang, pemandangan yang ditemui di sepanjang Jalan Raya Sangeh - Petang ini adalah banyaknya warung makan. Sangeh memang terkenal dengan wisata kulinernya. Warung sate babi khas Sangeh berdiri di kanan dan kiri tepian jalan.

Monumen I Gusti Ngurah Rai

Setelah menempuh perjalanan cukup panjang tanpa berhenti, kami akhirnya tiba di Monumen I Gusti Ngurah Rai. Posisinya tepat di tepi barat jalan raya. Di bagian utara Desa Carangsari.

Pada awalnya, saya cukup penasaran. Kenapa bisa ada monumen pahlawan nasional asal Bali itu di tempat ini? Sejauh yang saya ingat, mungkin rombongan pasukan Ciung Wanara pernah bergerilya melalui tempat ini. 

Setelah mengetikkan pencarian monumen ini di internet, barulah saya tahu bahwa Carangsari adalah desa tempat kelahiran I Gusti Ngurah Rai. Yang di masa awal kemerdekaan Indonesia, ia tetap teguh bersetia kepada Republik. Daripada bergabung dengan Belanda menjadi bagian Negara Indonesia Timur.


Di Monumen Pahlawan I Gusti Ngurah Rai, Carangsari, Petang, Badung
(foto oleh Dwiana Putra)


Dulu, I Gusti Ngurah Rai sering melakukan rapat-rapat perjuangan di rumahnya.  Menyusun pergerakan pasukan yang dipimpinnya. Sampai akhirnya bergerilya dan berpuputan di Desa Marga, di Tabanan.

Monumen ini diresmikan pada tahun 2017 lalu. Oleh Jendral TNI Kustanto Widiatmoko. Pangdam IX/Udayana waktu itu. Katanya, bertujuan untuk mengenang satu abad kelahiran sang pahlawan. Yang lahir pada 30 Januari 1917 silam. Yang namanya telah lebih dulu dijadikan nama bandara internasional di Bali.

Dan kebetulan, kami singgah bersepeda di monumen ini menjelang hari kemerdekaan. Bendera merah putih berkibar di sekitar monumen ini. Hati ikut gembira. Bersemangat empat lima. Pas benar kami ada di tempat bersejarah. Satu dua foto pun kami ambil di tempat ini. Untuk kenang-kenangan.

Akulturasi Bali dan Tionghoa di Carangsari

Di sebelah utara monumen, ada jalan yang lebih kecil ke barat. Kami berbelok di sana. Menyusuri persawahan yang menghijau di sisi selatan. Dengan beberapa rumah penduduk di sisi utara.

Saya mulai bernafas lega. Jalur kami kali ini sudah tak akan menanjak lagi. Juga tak di jalan raya. Pastinya akan lebih menyenangkan. Karena tak akan lagi ada banyak kendaraan. Yang berlalu lalang dan membahayakan.

Kabupaten Badung di bagian utara, khususnya di Petang, memang terkenal dengan kawasan pertanian dan perkebunan. Begitupun di Desa Carangsari yang kami lalui. Tegalan dan kebun dengan pepohonan yang beraneka ragam tumbuh subur di jalur kami ini.


Melalui kawasan kuburan Tionghoa di Carangsari


Kami juga melalui kawasan kuburan Tionghoa. Lengkap dengan kelenteng atau koncho di tengahnya. Di Carangsari, komunitas etnis Tionghoa bermukim sejak berabad-abad yang lalu. Sehingga akulturasi budaya Bali dan Tionghoa ada di sini. Seperti pelinggih-pelinggih pura ataupun rumah-rumah penduduk.

Begitu pula dengan Monumen I Gusti Ngurah Rai yang kami singgahi tadi. Yang merupakan sebuah setra atau kuburan dengan pura prajapati. Jika ada upacara  atau di kala imlek, warga Tionghoa pasti melakukan persembahyangan di sana.

Beji Samuan

Setelah mengayuh santai beberapa kilometer ke selatan, kami akhirnya sampai di Beji Samuan. Ada beberapa mobil dan motor parkir di pinggir jalan. Sepertinya ada beberapa pengunjung yang memiliki niat sama dengan kami. Mau mandi di beji ini.

Beji Samuan


Beji Samuan adalah tempat pemandian yang cukup mempesona. Beji sendiri dalam bahasa Bali berarti mata air yang menjadi tempat petirtaan. Juga tempat pemandian. Sedangkan Samuan adalah nama desa adat, tempat beji ini berlokasi.

Sepeda kami gembok di bawah sebuah pohon. Alit memasukkan dana punia atau sumbangan seiklasnya ke dalam kotak. Lalu kami pun berjalan menuruni anak tangga ke bawah. Tangganya turunan yang cukup curam dan licin. Harus hati-hati supaya tak terpeleset. 

Beji Samuan terletak di lembahan Tukad Yeh Penet. Suara gemericik air pancuran sudah terdengar. Begitu juga suara aliran sungai di bawah sana. Pepohonan dengan dedaunan lebat tumbuh kuat di lereng-lereng lembahan ini. Membuat udara makin sejuk dan segar.


Untuk menuju beji, kita harus menuruni anak tangga yang cukup curam dan licin



Selpi pok neh!
(foto oleh Alit Arimbhawa)


Beji Samuan terletak di lembahan Tukad Yeh Penet


Metirta di Beji Samuan

Kami akhirnya sampai di bawah. Lalu bergegas berganti pakaian. Baju dan sepatu kami tanggalkan. Untuk mandi di tempat yang disucikan, selayaknya kami menggunakan kain. Juga berdoa memohon izin sebelum berbasah-basahan. Canang dan dupa kami haturkan. Doa juga dipanjatkan. Tak lupa pula memberikan sesari secukupnya untuk jero mangku.


Ngaturang canangsari


Mandi di beji ini ada urutannya. Urutan pertama adalah di campuhan. Sesuai namanya, campuhan atau campuran adalah tempat bercampurnya dua sungai. Di sini, sebuah sungai kecil bermuara ke sungai utama. Aliran air kecil mengucur di bebatuan. Alit menghaturkan canang lagi di sana. Lalu kami berendam di aliran sungai yang cukup deras. Arusnya cukup kuat. Saya harus menahan kaki dengan kuat di batu. Tapi segarnya mantap.

Campuhan yang merupakan pertemuan dua aliran sungai oleh masyarakat Bali dipercaya sebagai tempat menyembuhkan berbagai macam penyakit dan kotoran. Maka tak salah, di tempat-tempat pertemuan sungai selalu disucikan dan dikeramatkan.

Urutan kedua adalah di pancuran sudamala. Lokasinya belasan meter di selatan campuhan. Sudamala sendiri berarti menghilangkan energi negatif. Energi dasa mala, atau sepuluh sifat asusila yang tidak baik.

Pancuran tinggi di tirta sudamala


Tak jauh dari pancuran sudamala ini, ada pancuran yang sumber airnya berlokasi sangat tinggi. Kucuran airnya deras. Ketika mengenai tubuh, hantaman airnya terasa sangat keras. Sangat menentramkan ketika kita bisa duduk bersila di bawahnya.

Dan urutan yang ketiga atau terakhir adalah panglukatan sapta rsi. Terdiri dari tujuh pancuran yang dinamai dengan nama-nama sungai. Untuk memohon anugrah kehidupan yang baik. Uniknya, pancuran-pancuran sapta rsi ini berada di kolam dengan genangan air setinggi pinggang orang dewasa. Mirip kolam renang di tepian tebing pada villa-villa di Bali. 

Dan Kemudian

"Yuk, buruan mandinya", Ufo tiba-tiba mengajak untuk segera selesai. Ia lapar.  Tapi tanjakan curam untuk kemabli ke atas sudah menunggu. []


I Komang Gde Subagia | Abiansemal - Petang, Agustus 2020

Comments

  1. Wah ternyata pak Gejor berbakat nulis tentang perjalanannya nih. Keren 👍

    ReplyDelete

Post a Comment