Skip to main content

Gowes Santai, Denpasar - Ubud

Bersepeda ke Ubud


Sudah lama saya tak bersepeda. Terakhir sebulan yang lalu. Sampai akhirnya pagi ini, saya mengayuh pedal lagi.  Menaiki sepeda merah saya yang telah berdebu. Yang semalam telah saya cek kesiapannya.

Beberapa hari sebelumnya, Dwiana Putra "Ufo" mengajak saya gowes lagi. Mengisi liburan di akhir tahun. Menyusuri jalur mountain bike dari Penulisan ke Penuktukan di Bali Utara. Tapi itu tak jadi. Karena personil yang kurang.

Jadilah saya dan Ufo sepakat bersepeda di dekat-dekat rumah saja. Sekitar Denpasar, Badung, dan Gianyar. Hanya berdua. Dari rumah saya di Denpasar. Ke Ubud. Sambil kulineran, cari-cari makanan enak.

Menuju Jagapati

Jam tujuh pagi, saya mulai mengayuh. Meninggalkan rumah di Kesiman Kertalangu, Denpasar. Menyusuri Jalan Siulan yang pagi itu baru mulai bergeliat ramai.

Saya sendiri dari rumah. Sedangkan Ufo juga sendiri, dari rumahnya di Ahmad Yani. Kami berjanji akan bertemu di satu titik di sekitar Desa Jagapati.

Jalur yang saya lalui dari rumah adalah jalur yang begitu familiar. Menyusuri jalanan di kawasan Desa Penatih Dangin Puri di Denpasar. Dan perbatasan Desa Batubulan di Gianyar. Sampai kemudian masuk ke persawahan Desa Jagapati di Badung.

Bertemu Ufo

Kawasan desa-desa yang saya sebutkan di atas adalah kawasan pinggiran Kota Denpasar. Masih ada banyak persawahan yang menghijau. Yang diapit oleh perumahan-perumahan. Yang selalu saya doakan dalam hati. Semoga persawahan-persawahan itu akan terus bertahan. Sebagai salah satu ruang terbuka hijau di Bali selatan.

Berjanji dengan teman di suatu tempat yang tak begitu dikenal bukanlah perkara sulit. Apalagi di zaman internet ini. Seperti janji saya dengan Ufo pagi ini. Akan bertemu di Jagapati. Saya dan Ufo sama-sama mengaktifkan live location kami.

Tak butuh waktu lama, saya bertemu Ufo. Ia menunggu saya di sebuah pertigaan jalan setapak. Di tengah sawah. Beberapa petani lewat mengendarai motor. Membawa karung dan peralatan pertanian. Untuk bekerja.

Menuju Nyuh Kuning

Cuaca yang masih pagi tak begitu panas. Mendung tipis berarak di atas sana. Akhir tahun memang sudah masuk musim penghujan. Waktu yang sangat pas mengayuh sepeda. Tak akan kepanasan. Menyusuri sawah. Menyusuri desa. Dan jalan-jalan setapak.

Kami pun mengayuh ke arah utara. Menyusuri persawahan yang menghijau. Ini kawasan subak, Desa Angantaka. Jalur yang biasa saya lalui jika bersepeda dari rumah. Menuju Jalan Raya Angantaka - Sibang Gede di ujungnya.

Setelah menyusuri persawahan Angantaka sejauh lima kilometeran, kami menyeberangi Jalan Raya Angantaka - Sibang Gede. Masuk area persawahan lagi. Kali ini ke kawasan sawah Desa Singapadu Kaler bagian barat. Persawahan ini adalah wilayah perbatasan antara Kabupaten Badung dan Gianyar.

Jalan setapak di persawahan di kawasan Singapadu Kaler ini sudah tertata apik. Paving block sudah terpasang rapi. Tapi bagi kami, adanya paving block di jalan setapak membuat kurang nyaman. Karena bagi pesepeda cross country, jalan setapak tanah dan berbatu tentu lebih seru.

Mengayuh dan terus mengayuh. Kami akhirnya sampai di ujung jalan setapak. Yang berakhir di Jalan Raya Samu. Di wilayah Desa Singapadu Kaler, Gianyar.

Tiba di Nyuh Kuning

Menyusuri Jalan Nyuh Bulan di Nyuh Kuning


Dari jalan raya beraspal yang cukup ramai ini, kami putuskan untuk menyusurinya. Menuju ke timur. Ke arah Jalan Raya Singapadu. Memasuki kawasan Desa Singakerta. Lalu ke utara menyusuri jalan beraspal kecil yang nantinya akan tembus ke kawasan Banjar Nyuh Kuning di Ubud.

Dulu, saya sering melewari jalan ini dengan sepeda motor. Sewaktu saya masih bekerja di Ubud. Sekian tahun tak pernah dilalui, banyak juga terjadi perubahan. Terutama sawah-sawah pinggir jalan yang kini sudah banyak berubah menjadi vila. Saya jadi bernostalgia lewat di sini lagi.

Istirahat di Nyuh Kuning

Akhirnya setelah mengayuh menyusuri jalan kecil di Singakerta, saya tiba di Nyuh Kuning. Nyuh Kuning adalah nama sebuah banjar, di Ubud. Sebuah kelompok masyarakat tradisional di bawah desa.

Kawasan Nyuh Kuning ini memang asri. Jalanannya yang kecil beraspal diapit paving block di kedua sisinya. Rumah-rumah warga terlihat hampir seragam. Dengan gapura-gapura khas Bali sebagai pintu gerbangnya.

Hampir di setiap rumah dan pinggir jalan tumbuh pohon kamboja. Bunganya mekar dan berjatuhan. Seorang wanita setengah baya terlihat sedang mengumpulkan bunga-bunga yang berjatuhan. Di Bali, bunga kamboja yang sudah kering laku dijual. Sebagai bahan baku dupa.

Mengayuh ke utara, ada lapangan bola. Dengan pohon beringin yang tumbuh besar di sudutnya. Di seberangnya, berdiri bale banjar dan pura desa. Beberapa warga dan wisatawan berlalu lalang di jalan ini.

Nyuh Kuning memang ramai. Ada banyak tempat akomodasi di sini. Menjadi kawasan strategis di pinggiran Ubud yang sudah terkenal.

Saya dan Ufo mampir ke sebuah warung di seberang lapangan. Kami membeli bubur kacang ijo. Dengan segelas teh manis. Untuk sarapan. Jam masih menunjukkan waktu yang masih pagi. Pukul delapan kurang.

Dengan segelas teh manis di sebuah warung di Nyuh Kuning

Selain teh manis, semangkuk bubur kacang ijo jadi menu sarapan


Melintasi Mongkey Forest
 
Perjalanan pun kami lanjutkan. Menyusuri lagi jalanan di Nyuh Kuning yang asri. Menuju ke utara. Ke arah pepohonan-pepohonan yang tumbuh besar dan tinggi : Mongkey Forest.

Seperti namanya, Mongkey Forest ini adalah hutan kecil yang dihuni banyak monyet. Berjenis kera ekor panjang. Saat saya melintas, monyet-monyet terlihat di berbagai tempat. Berkeliaran di jalan dan nongkrong di atas tembok-tembok pagar.

Mongkey Forest sebenarnya adalah sebuah kawasan pura. Pura Dalem. Lengkap dengan setra atau kuburan. Milik Desa Adat Padang Tegal. Secara administratif, masuk ke dalam kawasan Kelurahan Ubud.

Kombinasi dari pura, hutan, dan kawanan monyet; menyebabkannya menjadi daya tarik bagi wisatawan.

Sebuah jalan kecil membelah bagian timur hutan ini. Meliuk-liuk di bawah pepohonan rindang dan melintasi sungai kecil. Tapi cukup ramai dilalui sepeda motor. Karena jalan kecil ini merupakan shortcut yang menghubungkan Nyuh Kuning dengan kawasan utama Ubud.

Di Titik Nol Ubud

Sekarang adalah minggu akhir tahun. Musim liburan. Keluar dari jalan setapak yang membelah kawasan hutan, saya melihat makin banyaknya wisatawan.

Kami mulai masuk ke kawasan utama wisata Ubud. Kami mengayuh sepeda dengan santai. Menyusuri Jalan Monkey Forest. Kendaraan lalu lalang. Ramai lancar.

Tanjakan ringan terus menerus. Sampai akhirnya sampai di titik nol Ubud. Di depan puri, atau keraton Ubud. Kami berhenti di depan bale banjar. Di seberang Warung Babi Guling Ibu Oka yang terkenal itu.

Ubud sebenarnya hanya sebuah desa. Sebuah kelurahan. Yang dijadikan sebagai nama kecamatan di Kabupaten Gianyar. Yang mulai terkenal sejak tahun 1930-an. Oleh pelukis Jerman, Walter Spies. Yang bersahabat dengan Cokorda Agung Sukawati, tokoh Puri Ubud waktu itu.

Tahun 1930-an adalah zaman Hindia Belanda. Ubud saat itu adalah kepunggawaan di bawah kekuasaan raja Gianyar. Sementara Gianyar di bawah kekuasaan Belanda. Di tahun-tahun itulah Walter Spies mengorganisir para seniman Ubud. Karya-karya mereka banyak dipajang di museum-museum di Ubud ini.

Di titik nol Ubud

Di titik nol Ubud


"Lanjut ke mana lagi nih?", tanya saya pada Ufo. Sambil meneguk air dari botol minum.

"Lanjut terus. Nanjak di Jalan Sueta", begitu Ufo menimpali.

Jalan Sueta adalah salah satu jalan utama di Ubud. Dari titik nol. Membentang dari selatan ke utara. Kami mau menuju ke kawasan Banjar Kelabang Moding. Dari sana, barulah perjalanan bersepeda kami akan berbelok ke arah selatan. Menyusuri persawahan.

Sawah di Ubud

Kami pun mulai menyusuri persawahan. Yang menjadi salah satu persawahan tersisa cukup luas di Ubud. Persawahan ini lebih dikenal dengan nama Sari Organik. Karena ada sebuah warung dengan nama tersebut. Yang begitu dikenal oleh bule-bule.

Di sebelah barat persawahan, yang dipisahkan oleh lembahan sungai, ada punggungan bukit ilalang. Tampak jelas dari jalur bersepeda kami. Itulah Bukit Campuhan. Yang terkenal. Bahkan sampai dibuatkan lagu oleh Slank, band slengean dari ibukota itu. Lagu yang berjudul Tepi Campuhan.

Di persawahan sekitar Ubud


Menyusuri persawahan di Kelabang Moding menuju Ubud ini cukup mengasyikkan. Banyak wisatawan yang jalan-jalan menyusuri sawah. Jika capek atau haus, ada banyak warung-warung kecil yang bisa disinggahi. Yang menjual panganan dan minuman ringan. Juga menjual lukisan dan suvenir.

Tapi yang cukup disayangkan adalah makin banyaknya villa. Berdiri di tengah sawah. Menyebar di berbagai sudut. Bjasanya si pinggir-pinggir pangkung, alias sungai atau lembahan-lembahan kecil. Villa-villa ini tentu ingin mendapatkan pemandangan sawah. Atau lembah-lembah yang hijau.

Dulu, mungkin satu atau dua orang pemilik sawah saja yang membangun villa. Tetapi sekarang, yang membangun villa sejenis makin banyak.

Dalam benak saya, lama-lama pemandangan sawah sepertinya akan hilang. Karena semua pemilik sawah ingin membangun villa.

Begitulah sedihnya melihat sawah di Bali. Sawah seperti enggan bertahan. Karena terancam oleh kepentingan pariwisata.

Sekitar Campuhan

Terus ke selatan, dari persawahan, kami kemudian sampai di gang kecil. Dan sempit. Sepeda kami kayuh dengan sesekali berhenti. Karena gang memang benar-benar sempit. Dan kami berpapasan dengan rombongan wisatawan. Atau pengguna sepeda motor.

Sampai akhirnya kami sampai di Jalan Raya Ubud. Jalan utama yang membentang timur ke barat, dari titik nol Ubud sebelumnya. Di sini, kendaraan ramai. Dan agak macet. Kami yang tak mau terlalu lama di jalan raya buru-buru mengayuh ke barat. Menuju Jembatan Campuhan.

Di sekitar jembatan Campuhan, suasana cukup rindang. Karena ada banyak pepohonan. Di bawah jembatan yang kami lalui ini, ada pertemuan dua aliran sungai. Yang bercampur menjadi satu. Karena itulah tempat ini diberi nama Campuhan. Sebuah kosa kata Bali yang berarti campuran.

Di bawah jembatan sebelah utara, ada Pura Gunung Lebah. Yang begitu anggun ketika dilihat dari atas jembatan. Pura Gunung Lebah adalah salah satu pura bersejarah di Bali. Yang dibangun ketika datangnya Rsi Markandeya dari Pulau Jawa. Pada abad ke-8.

Tak jauh dari Jembatan Campuhan, ada museum lukisan. Milik Antonio Blanco. Seorang pelukis berdarah Spanyol dan Amerika. Yang menikahi penari Bali : Ni Ronji. Pada tahun 1952.

Bali lah yang memberikan Blanco elemen penting. Yang ia butuhkan untuk membangun hasrat seninya yang jenius : pemandangan yang indah, suasana lingkungan yang seperti impian, dan keberadaan seni dan cinta yang luar biasa.

Banyak kolektor seni yang mengagumi karya-karya Antonio Blanco. Seperti misalnya Sukarno, presiden pertama Indonesia. Juga Soeharto, sang presiden kedua. Dan berbagai tokoh terkenal lain seperti Norodom Sihanouk, Raja Kamboja. Atau Michael Jackson, si king of pop.

Menyusuri Penestanan

Dari Campuhan, kami mengayuh sepeda ke Penestanan. Berbelok di pertigaan jalan.

Penestanan adalah nama banjar di Desa Sayan. Pinggiran Ubud sebelah barat. Jalannya mendaki curam. Berbelok tajam di atas Museum Antonio Blanco.

Ufo menuntun sepedanya. Sedangkan saya mencoba mengayuh terus. Menggunakan kecepatan yang paling ringan. Sekalian mengetes kemampuan sepeda dan kaki. Dan berhasil. Saya sampai di atas. Di Penestanan.

Jalan di Penestanan yang kami tempuh lebih kecil dari Jalan Raya Ubud. Tapi cukup ramai. Banyak mobil dan sepeda motor. Bahkan di sebuah tikungan, kondisinya macet parah. Karena ada mobil pick up yang parkir di pinggir jalan. Kendaraan-kendaraan yang lewat jadi tak bisa berpapasan.

Banyak rambu peringatan yang dilanggar


Salah satu hal menyebalkan di Ubud belakangan ini memang kemacetan. Dulu, Ubud terkenal akan suasana pedesaannya yang tenang dan indah. Itulah yang dicari wisatawan. Tapi kini, ketenangan itu jadi barang langka. Wisatawan dan fasilitas wisata makin banyak. Macet bisa setiap hari. Ketenangan makin hilang.

Kami pun buru-buru. Ingin keluar dari himpitan kendaraan-kendaraan bermotor. Sepeda dituntun. Lalu menyelip di celah-celah kosong di pinggiran jalan. Lalu segera bergegas menuju gang kecil ke arah barat. Menyeberangi sungai kecil. Lalu masuk ke area persawahan. Yang di tepian-tepian sawahnya banyak berdiri villa-villa tersembunyi.

Warung Men Juwel

Kami menuju sebuah warung. Di tepian sawah. Namanya Warung Men Juwel. Yang menjual makanan nasi campur Bali. Dengan daging ayam. Ufo sudah menargetkan bahwa kami akan istirahat makan siang di sana. Tapi apa daya, warung tutup.

Dan sepertinya Warung Men Juwel ini banyak penggemar. Saat saya istirahat di depan pintu masuknya yang tertutup, di bawah pepohonan yang rindang, ada banyak orang yang datang. Yang mau belanja. Yang mengira warung buka. Dan mereka semua kecele.

Pasar Organik

Tak jauh dari Warung Men Juwel, saya melihat umbul-umbul. Ada keramaian di sana. Saya penasaran. Lalu mengajak Ufo mampir ke sana. Mumpung lewat.

Ternyata keramaian itu adalah sebuah pasar. Pasarnya kecil saja. Yang pedagangnya hanya belasan. Menjual buah-buahan. Kacang-kacangan. Sayuran. Rempah-rempah. Kopi. Madu.

Pengunjungnya yang saya lihat adalah bule semua. Berbelanja macam-macam. Yang belanjaannya dimasukkan ke dalam sebuah wadah. Yang mereka bawa sendiri. Atau dimasukkan ke dalam kantong kertas. Atau kantong kain. Yang disediakan oleh para pedagang.

Dan pasar ini ternyata adalah pasar organik. Diinisiasi oleh Moksa Ubud. Sebuah resort yang ada di belakang pasar. Pedagangnya warga sekitar. Yang telah dibekali pengetahuan untuk mempraktikkan metode hidup sehat. Tanpa plastik. Tanpa pestisida. Yang tentu sangat berkesan untuk para bule.

Pasar Organik Desa Sayan, buka setiap Selasa dan Sabtu

Pasar Organik di Sayan

Mencoba minuman olahan buah-buah lokal


Saya dan Ufo membeli minuman. Olahan buah-buah lokal. Yang dicampur dengan es batu dan sedikit soda. Saya teguk, lumayan segar. Menghilangkan dahaga setelah lelah bersepeda. Tapi harganya cukup mahal. Jika dibandingkan dengan minuman yang bisa dibeli di warung atau mini market.

Ya, namanya saja pasar organik. Yang pangsa pasarnya adalah bule dan wisatawan. Bukan untuk warga lokal. Harga tentu naik di atas standar. Tapi, okelah. Dua jempol untuk ide mendirikan pasar ini.

Melintasi Banjar Sindu

Dengan menahan lapar, kami pun lanjut mengayuh sepeda lagi. Melanjutkan menyusuri jalan setapak di persawahan. Tempatnya masih di kawasan Desa Sayan. Yang di berbagai titik terdapat villa-villa wisata.

Di pinggiran jalan setapak yang kami lalui, terlihat tumpukan pasir dan batako. Sesekali saya berpapasan dengan buruh-buruh bangunan. Yang sedang bekerja menggarap pembangunan sebuah villa.

Banyak proses pembangunan villa di jalur-jalur sawah UBud yang kami lalui


Setelah meliuk-liuk di setapak persawahan, kami akhirnya sampai di Jalan Raya Sayan. Jalan ini adalah jalan utama yang membentang selatan ke utara. Menghubungkan Kota Denpasar dengan Kecamatan Payangan. Juga jika diteruskan akan sampai ke Kintamani dan Singaraja di Bali utara.

Kami menyeberangi jalan raya. Masuk lagi ke gang kecil perumahan penduduk. Di kawasan Banjar Sindu. Di dekat sini ada Hotel Ubud Raya. Yang pernah saya inapi bersama keluarga beberapa tahun yang lalu. Ada juga Warung D' Teba, tempat yang belakangan ini sering dijadikan tempat konser mini penyanyi-penyanyi lokal.

Makan Siang di Semana

Setelah menyuauri jalanan kecil Banjar Sindu, kami akhirnya sampai di jalan raya lagi. Kali ini di Jalan Raya Semana. Namanya demikian karena berada di kawasan Banjar Semana. Desa Singakerta.

Di pinggir jalan ini, ada sebuah warung makan. Namanya warung sate Semana. Ufo merekomendasikannya pada saya. Menunya sate dan soto babi. Wah...

Akhirnya kami istirahat makan siang di warung. Karena sudah cukup lelah dan lapar, makanan yang disajikan langsung ludes kami sikat. Nikmat. Nasinya pulen. Sate babinya berbumbu manis sedikit pedas. Ditambah soto yang gurih.

Di warung makan di Semana

Menunya nasi, sate, dan soto babi. Plus air mineral.


Persawahan Mambal

Usai makan. Rasanya enggan sekali untuk beranjak. Mungkin karena perut sudah diisi. Kekenyangan. Tapi tentu saja tak ada pilihan lain. Tak mungkin diam di waru g terus. Perjalanan harus dilanjutkan.

Kami pun mengayuh lagi. Melanjutkan penyusuran Jalan Raya Semana. Yang ramai dengan lalu lalang kendaraan bermotor. Yang akhirnya di ujung tikungan jalan, kami masuk ke gang kecil. Gang yang sepi.

Rasanya kami tak menemukan jalan tembus. Google Maps pun dibuka. Kami tentukan posisi lagi. Benar saja. Gang yang kami lalui ini buntu.

Tapi tak jauh dari posisi kami, terlihat jalan setapak di tengah sawah. Kami akan ke sana. Walaupun harus menuntun atau mengangkat sepeda.

Sepeda diangkat. Kami menyeberangi jembatan kecil. Lalu naik ke pematang sawah. Tanaman jagung tumbuh subur di tempat yang kami lalui. Beberapa petani yang melihat kami keheranan.

Dan jalan setapak yang kami cari pun ditemukan. Di tengah persawahan. Di kawasan Desa Mambal. Kabupaten Badung. Rasanya jalan setapak ini saya kenali.

Angkat sepeda di persawahan Desa Mambal

Jalur setapak di persawahan Desa Mambal


Kata Ufo, kami memang pernah melalui jalan setapak ini. Sewaktu bersepeda dulu. Dari Denpasar ke Sangeh. Bersama Ufo juga. Dan Alit Arimbhawa, teman kami yang kali ini tak ikut bersepeda bersama.

"Dekat sini ada warung rujak dan es buah", kata Ufo.

"Yuk lah, mampir", saya menegaskan pernyataan Ufo tadi. Entah maksudnya memberi tahu saja atau memang mau ke warung tersebut.

Kehujanan di Warung D' Carik

Kami keluar lagi ke jalan raya. Yang kanan dan kirinya masih berupa persawahan. Hanya ada beberapa bangunan rumah. Dan salah satunya adalah warung yang kami tuju itu.

Namanya Warung D' Carik. Yang artinya warung di sawah. Menunya panganan tradisional Bali sederhana. Tipat santok. Tipat plecing. Daluman. Es campur. Es buah. Berbagai jenis jus. Rujak. Dan makanan-makanan kecil lainnya.

Kami memesan es buah saja. Sambil beristirahat di sebuah bale bengong. Baru saja selesai menikmati es, hujan turun. Deras sekali.

Di Warung D' Carik, Mambal


Sambil menunggu hujan, mending saya ke belakang saja. Mau BAB. Karena sedari pagi saya memang belum ke belakang. Di tambah makan siang dan minum es, dorongan ke belakang makin menjadi.

Eh ternyata, toilet di warung ini terbuka. Buset. Jadilah saya basah kuyup saat buang hajat. Disiram oleh derasnya hujan. Sial!

Berpisah dengan Ufo

Ada sekitar satu jam kami menunggu hujan reda, untuk melanjutkan perjalanan lagi. Saat hujan telah berubah menjadi gerimis. Dan mendung tebal masih bergelayut di atas sana.

Kami memutuskan untuk langsung pulang saja. Menyusuri Jalan Raya Mambal - Sibang Gede yang terus lurus ke selatan menuju Kota Denpasar. Biar cepat sampai.

Di persimpangan Jalan Sibang Gede - Angantaka, saya dan Ufo berpisah. Ufo terus lurus ke selatan menuju Jalan Ahmad Yani. Sedangkan saya berbelok ke timur menyusuri Jalan Angantaka, menuju persawahan Sibang Gede dan Peguyangan Kangin.

Hujan gerimis dan mendung seperti ini, rasanya was-was melintasi persawahan yang sepi seorang diri. Saya tak mengkhawatirkan jalan setapak yang becek dan berlumpur. Tapi lebih kepada bahaya petir di tempat terbuka.

Saya mengayuh segera. Bergegas supaya cepat sampai di gang-gang perumahan lagi. Jalanan berbatu dan berlubang saya terobos tanpa ampun.

Sampai akhirnya setelah mengayuh di persawahan sepanjang dua kilometer, saya sampai di Jalan Trenggana. Ini sudah tak begitu jauh lagi dengan rumah.

Kali ini tak ada melintasi persawahan lagi. Setelah menyusuri Jalan Trenggana, berlanjut ke Jalan Siulan. Hingga akhirnya sampailah saya di rumah. Di kawasan Kesiman Kertalangu. []

I Komang Gde Subagia - Denpasar, Desember 2019

Comments