Skip to main content

Dua Belas Jam di Batur dan Besakih


Kompleks Pura Agung Besakih
(Gambar Diambil dari Facebook Page Pura Agung Besakih)

Ada dua pura besar di Bali yang memiliki waktu upacara bersamaan. Yaitu Pura Ulun Danu Batur di Kintamani, Bangli. Dan Pura Besakih di Rendang, Karangasem. Keduanya merupakan pura kahyangan jagat, yang bersifat universal. Artinya semua umat manusia di dunia diperbolehkan melakukan pemujaan di sana.

Di tahun 2019 ini, Besakih melaksanakan upacara Panca Wali Krama. Upacara besar yang dilaksanakan sepuluh tahun sekali. Setiap tahun Saka yang diakhiri dengan angka nol. Kali ini, dilaksanakan pada tahun 1940 Saka. Dimulai sebelum perayaan Nyepi, tepatnya pertengahan Februari. Sampai nanti berakhir diparuh ketiga April, di tahun 1941 Saka.

Sementara di Ulun Danu Batur, dilaksanakan Ngusaba Purnama Kedasa. Setahun sekali. Setiap bulan purnama di bulan kesepuluh, penanggalan Bali. Dibandingkan dengan Besakih, rangkaian waktu upacara di Batur lebih pendek. Dimulai pada paruh ketiga Maret dan berakhir di minggu pertama April.

Saya bersama keluarga melakukan persembahyangan ke kedua pura tersebut pada akhir pekan lalu. Istilahnya nangkil. Bahasa Bali halus. Yang artinya berkunjung ke tempat yang suci. Atau berkunjung ke tempat yang statusnya lebih tinggi. Sementara pengunjungnya disebut sebagai pemedek. Dua kosa kata Bahasa Bali ini akan sering saya pakai berikutnya di tulisan ini.

Tujuan pertama kami sekeluarga adalah ke Batur. Kemudian dilanjutkan ke Besakih. Begitu urutannya. Sesuai katagori kedua pura sebagai simbol rwa bhineda.Yin yang. Sesuatu yang berpasangan.

Dalam kepercayaan Bali, Batur dianggap sebagai predana. Simbol garis keturunan perempuan atau ibu. Sedangkan Besakih sebagai purusa, simbol garis keturunan ayah. Aturannya Batur dulu, baru kemudian Besakih. Tapi banyak juga yang sebaliknya. Ke Besakih dulu, baru kemudian ke Batur. Rasanya tak masalah.

Karena akhir pekan, pemedek ramai. Beberapa rekan di kantor yang nangkil seminggu sebelumnya mengatakan bahwa ada banyak titik kemacetan. Karena membawa orang tua dan juga anak-anak, saya menyiapkan beberapa jalur alternatif. Semoga tak terjebak kemacetan yang parah. Atau jika macet, perjalanan tetap nyaman.

Kami berangkat dari Klungkung. Melalui Jalan Raya Besakih. Perjalanan lancar. Walau kendaraan ramai tak seperti hari biasa. Saya melihat beberapa kendaraan yang penumpangnya berpakaian adat Bali. Saya yakin mereka akan ke Batur atau Besakih juga.

Percabangan jalan menuju Batur dan Besakih ada di Desa Menanga. Saya lurus ke utara, menuju Batur.

Sesampainya di wilayah Kintamani, jalan mulai tersendat. Macet. Bahkan tak bisa bergerak. Sesekali bus-bus besar melintas, yang kesulitan berbelok di tikungan sempit. Di jalur menuju Batur yang merupakan gigiran gunung, tikungan ada banyak. Bus-bus inilah yang menyebabkan kemacetan. Karena jika menikung, seluruh area jalan dipenuhi. Badannya besar. Kendaraan lain harus berhenti di tempat jauh supaya bus bisa lewat.

Di lain pihak, banyak pula mobil-mobil kecil berhenti. Penumpangnya yang mungkin baru pulang dari Batur atau Besakih turun beristirahat. Ada yang makan dan minum. Sambil melihat pemandangan Danau Batur di bawah sana. Sampah-sampah plastik berceceran di beberapa tempat.

Dari persimpangan jalan di depan Museum Geopark Batur, kemacetan semakin parah. Persimpangan ini menyatukan arus kendaraan dari arah Besakih dan Kota Bangli. Semuanya menuju Pura Ulun Danu Batur. Polisi dan pecalang setempat terlihat sibuk mengatur lalu lintas.

Kemacetan di Jalan Batur Tengah, Jalur dari Besakih Menuju Kintamani

Saya membuka Google Maps. Menampilkan trafik kendaraan di jalan. Dan benar saja. Dari posisi saya ke arah pura, warna jalanan merah tua. Artinya macet parah. Masih sekitar sepuluh kilometer lagi. Estimasi waktu sampai di tujuan dengan mobil adalah dua jam.

Sesekali saya membuka Facebook dan Instagram. Dari limasa media sosial ini, saya melihat beberapa kenalan yang juga sedang nangkil ke Batur. Statusnya, "Pang taen ngasanin idup di Jakarta, kene ba kena macet ngewai". Artinya : biar pernah merasakan tinggal di Jakarta, setiap hari kena macet.

Ada pertigaan di depan saya. Ada jalan kecil yang sepi. Di sela kemacetan, saya membuka Google Maps lagi. Melihat jalan itu bisa dilalui menuju pura. Melalui Desa yang bernama Bayung Gede dan Belancan. Nanti tembus di sebelah utara pura. Arah dari Singaraja, kebalikan dari Denpasar. Arah di mana jumlah pemedeknya bisa dibilang sedikit. Jalannya memutar. Jauh ke barat. Tapi lancar.

Saya memutuskan lewat jalur alternatif ini. Ayah saya yang suka mencoba jalur-jalur baru tampak senang. Ia kagum dengan teknologi jaman sekarang yang bisa tahu di mana ada macet di mana tidak.

Tak sampai tiga puluh menit, saya sampai di jalan utama. Sekitar tiga ratus meter di sebelah utara pura. Tepat jam dua belas siang. Alunan Puja Tri Sandya mengalun dari radio ketika saya parkir. Di bagian utara pura ini, jalan cukup lancar. Malah bisa dibilang sepi dari kendaraan. Saya celingukan mencari warung. Untuk tempat istirahat makan siang. Nanti. Setelah selesai sembahyang.

Pura Ulun Danu Batur adalah pura yang dibangun untuk memuja Dewi Danu, dewi kesuburan. Dulu pura ini berlokasi di dalam kaldera Batur. Di bawah. Di tepi danau bagian barat daya. Karena letusan Gunung Batur di tahun 1926, pura ini terkubur. Masyarakat setempat pun memindahkannya ke tempat yang lebih tinggi. Ke tempatnya sekarang ini yang berlokasi di pinggir Jalan Raya Kintamani. Di atas kaldera.

Sewaktu mengantri di jaba tengah -area pintu masuk ke pura utama-, ada pertunjukan tari rejang. Saya memotret penari-penari ini. Ada juga penari-penari tari baris yang sedang menunggu giliran tampil.

Tari Rejang di Jaba Tengah Pura Ulun Danu Batur
Persembahyangan kami di Batur tak lama. Karena hanya satu kali. Di pura utama saja.  Udara cukup panas. Walaupun ada beberapa awan mendung di atas sana. Kami duduk di bawah bayang-bayang gapura. Cukup rindang.

Jam satu siang, persembahyangan selesai. Saatnya istirahat. Makan siang. Saya menuju warung makan yang sudah saya tandai. Menunya mujair nyat-nyat. Makanan khas di Kintamani. Berupa ikan mujair dari Danau Batur dengan bumbu mengendap. Tentu dimakan dengan nasi. Ditambah sayur plecing. Juga sambal matah dan kacang tanah. Mantap. Rasanya nikmat. Setelah bermacet-macetan dan panas-panasan usai sembahyang.

Dari Batur, kami menuju Besakih. Melalui jalur yang sama seperti tadi. Masih macet di beberapa titik. Dua jam lamanya di perjalanan menuju Besakih. Jam empat sore, kami pun tiba.

Saya memarkir mobil di pinggir jalan yang dikelola oleh warga setempat. Musim upacara seperti ini, banyak lahan-lahan warga menjadi tempat parkir. Pemedek mebludak. Kebutuhan parkir meningkat. Dengan tarif sebesar sepuluh ribu rupiah untuk mobil, maka pengelolanya bisa mendapatkan penghasilan lumayan. Apalagi selama tiga bulan, selama upacara ini berlangsung.

Pura Besakih adalah induk segala pura yang ada di Bali. Di sini ada pura-pura pedarman. Tempat bersemayamnya para leluhur orang Bali. Orang Bali digolongkan berdasarkan klan kekerabatan. Seperti marga. Istilahnya adalah soroh. Jumlahnya ada banyak. Setiap soroh memiliki pura pedarmannya masing-masing. Seperti misalnya soroh Pasek, Pande, Dalem, atau Arya. Di mana masing-masing soroh itu ada sub-sub sorohnya lagi.

Selain pura pedarman, ada beberapa pura lain di Besakih yang mana semua orang bisa bersembahyang di sana. Ada Pura Gelap yang lokasinya paling atas. Ada Pura Dalem Puri yang lokasinya paling bawah. Ada Pura Melanting tempat pemujaan bagi para pedagang atau pebisnis. Ada kelenteng untuk penganut Kong Hu Chu. Ada pura yang paling utama, yaitu Pura Penataran Agung atau Kahyangan Tiga. Dan lain-lain.

Berdasarkan sejarah, kompleks pura di Besakih dulunya adalah punden berundak. Tempat pemujaan masyarakat Bali kuno. Sampai akhirnya datang rombongan Rsi Markandya dari Gunung Raung di Jawa. Maha Rsi yang pernah bersemedi di Dieng itu menanam lima jenis logam di Besakih. Sewaktu kedatangannya pertama kali di Bali. Yang membuka hutan belantara. Lima logam itu disebut sebagai Panca Datu.

Seiring perjalanan waktu di Bali, baik pada masa Dinasti Warmadewa (Bali kuno), Kepakisan (Majapahit), dan masa modern sekarang; pura Besakih tetap menjadi simbol tempat pertama kali datangnya leluhur orang Bali. Sangat disucikan dan dihormati.

Urutan bersembahyang keluarga saya di Besakih dimulai dari pura pedarman di Pura Pedarman Mengwi atau Arya Keloping. Kemudian dilanjutkan ke Pura Gelap. Lalu ke Pura Melanting. Dan diakhiri di Pura Penataran Agung. Karena istri dan ipar saya berasal dari soroh Pasek, maka mereka menyempatkan juga ke Pura Pedarman Pasek.

Selain di Pura Penataran Agung, di Pura Pedarman Pasek inilah yang paling ramai. Pemedeknya berdesakan. Padat. Membludak. Di Bali, mereka yang golongan soroh Pasek jumlahnya paling banyak. Katanya, delapan puluh persen orang Bali merupakan orang Pasek.

Jam delapan malam, rangkaian persembahyangan kami di Besakih selesai. Pemedek yang berdatangan masih banyak. Untuk menghindari keramaian, banyak yang nangkil malam-malam. Apalagi malam minggu. Mungkin banyak yang berpikiran sama. Menghindari macet, datangnya malam. Ditambah banyak rombongan sekolah dan mahasiswa yang saya lihat baru turun dari bus. Keramaiannya sama saja dengan siang hari.

Sementara dari wantilan, sebuah bangunan besar dengan panggung, ada pertunjukan bondres. Bondres adalah drama tari Bali. Dengan lakon cerita tertentu yang disisipi humor yang lucu-lucu. Besakih makin malam makin meriah.

Kami tiba di rumah jam sembilan malam. Jika dihitung, dua belas jam lamanya perjalanan ini.

Seorang teman malah mengatakan ia harus menempuh perjalanan lebih dari dua puluh jam. Dari Denpasar, ke Batur dan Besakih. Berangkat subuh, pulang tengah malam. Bermacet-macetan. Berdesak-desakan.

Tapi apa pun kondisinya, yang penting menjalaninya dengan tulus dan iklas. []

Klungkung, Maret 2019

Comments