Skip to main content

Melangkah ke Jenjang Grahasta

Rumah saya di salah satu sudut Kota Klungkung di Bali yang biasanya sepi mulai bergeliat dengan keramaian selama beberapa hari terakhir. Satu demi satu sanak saudara mulai berdatangan; dari yang hanya sekedar datang bersua membawa beras, gula, dan kopi sebagai hadiah lazimnya masyarakat Bali jika berkunjung pada keluarga yang memiliki hajat; sampai sanak saudara yang datang dan menetap selama beberapa hari untuk benar-benar berbaur dalam kesibukan. Dua anjing yang biasanya sibuk bermain di halaman rumah mulai diungsikan ke belakang dapur dan ke bawah pohon mangga di kebun depan rumah supaya tidak usil mengganggu. 

The Wedding Ceremony
Pekan kedua di bulan Oktober 2013 Masehi adalah dewasa ayu atau hari baik untuk melangsungkan pernikahan, tepatnya pada tanggal 9 Oktober 2013 atau pada Buda Umanis Julungwangi, lima belas hari sebelum Hari Raya Galungan. Hari baik ini jauh-jauh hari telah ditetapkan oleh orang tua dan para sepuh di keluarga besar saya dengan menggunakan wariga, metode ilmu pengetahuan masyarakat Bali dalam bidang astronomi untuk menentukan hari dan mencari masa yang baik dalam melakukan suatu kegiatan. 

Membicarakan wariga ini, saya pasti selalu ingat dengan mendiang kakek saya yang juga mahir membaca hari. Ada yang lucu dan selalu terpatri di kepala saya bahwa kakek yang gemar bermain judi sabung ayam akan selalu berhitung hari untuk menentukan di posisi mana ia harus berdiri jika ia mengadu ayamnya, begitu juga dengan warna ayam jago yang akan dipertandingkan, apakah hari itu cocok mengadu ayam biing (merah) atau brumbun (loreng). 

Oke, kembali lagi kepada hari baik untuk melangsungkan pernikahan. Adalah adik kandung saya I Ketut Gde Artha Susila yang mendapatkan kehormatan untuk melangsungkan pernikahannya hari itu mempersunting pujaan hatinya, Ni Komang Trisna Karini. Kenapa adik saya, dan bukan saya? Tentulah ini adalah pertanyaan yang tidak satu dua orang saja yang menanyakannya. Perjalanan setiap orang dalam kehidupan tidak sama dan berbeda. Ya begitulah. Hehehe. 

Maka, setelah segala sesuatunya dipastikan, berjalanlah proses pernikahan itu.

Kesibukan Beberapa Hari Menjelang Acara

Kesibukan Beberapa Hari Menjelang Acara

Membangun Tetaring dan Metanding

Hal besar pertama yang dilakukan di rumah saya untuk menyiapkan hajatan besar ini adalah membuat taring atau bangunan dadakan yang beratapkan anyaman daun kelapa yang disebut kelangsah. Kenapa dari kelangsah dan bukan dengan tenda kain yang saat ini banyak disewakan oleh event-event organizer? Tentu saja karena ini adalah warisan kearifan lokal masyarakat Bali dalam mengadakan sebuah kegiatan.

Membuat Kelangsah
Memasang Taring
Memasang Taring
Tetaring dari kelangsah otomatis akan membuat atap dadakan ini sedikit berlubang-lubang sehingga melancarkan sirkulasi udara dan membuat udara di siang hari tidak terlalu panas, pun begitu juga kalau hujan bisa tetap melindungi. Selain itu, menggunakan atap kelangsah dipercaya bisa menghalangi pengaruh negatif yang datang dari udara.

Selain membangun tenda dari kelangsah yang merupakan hal wajib jika memiliki kegiatan adat di rumah, tenda dari kain juga dipasang di beberapa sudut. Tenda dari kain ini biasanya ditujukan untuk tempat yang diperuntuknan permanen dalam kondisi kering. 

Akan sangat terasa perbedaan menggunakan kelangsah dan tenda kain ini. Dinaungi oleh kelangsah jauh lebih sejuk seperti berteduh di bawah pohon. Dibandingkan dengan langsung berada di bawah tenda kain, suasananya cenderung berhawa panas. Mungkin hawa panas dari tenda di siang hari ini yang dimaksud sebagai energi negatif dari udara, sebuah sanepa kearifan lokal yang jarang kita ketahui.

Hampir sama dengan pemilihan hari H, membangun tetaring juga dilaksanakan pada hari yang telah dipilih dengan menggunakan metode wariga, yaitu pada hari Minggu 6 Oktober 2013 Masehi atau Redite Pon Julungwangi. Para kerabat jauh diundang untuk datang bergotong royong membantu mendirikan tetaring ini. Walaupun dikerjakan secara gotong royong, tentu saja bahan-bahan siap pasang sudah jauh-jauh hari dipersiapkan supaya pekerjaan tidak terlalu berat. Sementara para keluarga inti sebagian membantu menyiapkan makan untuk dinikmati selepas pekerjaan selesai. Sampai kemudian dilanjutkan dengan menghias rumah dengan berbagai macam dekorasi seperti kain prada, kain poleng, janur, dan lain-lain.

Para Perempuan Sedang Membuat Banten
Para Perempuan Sedang Membuat Banten
Di lain pihak, para perempuan makin sibuk metanding dan menyiapkan segala keperluan banten atau sarana upacara yang akan digunakan dalam upacara pernikahan. Di masa sekarang ini yang dipenuhi oleh berbagai kesibukan, sudah sangat lazim seseorang di Bali tidak lagi membuat sendiri banten dan sarana upacaranya, melainkan membeli produk jadi pada mereka yang menyediakan jasa pembuatan banten

Tapi, untuk upacara pernikahan adik saya kali ini, keperluan banten dibuat dan dikordinir oleh Bibi saya sendiri, Ni Wayan Saji, kakak kandung perempuan dari ayah saya. Sementara untuk berbagai macam makanan, dibuat dan dikomandoi oleh Bibi saya yang lain, Ni Ketut Widiani, yang merupakan adik ipar ayah saya. Tentu dengan pekerjaan mandiri dan gotong royong seperti ini ada kekurangannya, yaitu membuat repot sanak saudara sendiri. Tapi begitulah kondisinya. Tidak mengerjakannya dengan bantuan keluarga malah merupakan hal negatif bagi keluarga besar saya karena dianggap mencerminkan pudarnya rasa kekeluargaan.

Mesuaka atau Melamar

Menjelang sore, di hari yang sama saat membangun tetaring, tibalah waktunya mesuaka atau melamar sang mempelai perempuan. Para sesepuh keluarga besar saya diiringi anggota-anggota keluarga yang lain datang ke rumah mempelai perempuan. Pada momen ini akan diutarakan maksud keluarga kami untuk meminang sang mempelai perempuan. Di sini juga akan ditentukan kapan sang mempelai perempuan akan diambil oleh pihak lelaki.

Para Sesepuh Keluarga Kedua Pihak Berdialog di Balai Daja
Meminang dapat dilakukan bila telah ada kesepakatan saat melamar, yaitu kesepakatan antara kedua calon mempelai dan keduanya saling mencintai. Keluarga mempelai lelaki akan diminta secara formal pada hari yang dianggap baik untuk meminang selanjutnya dan dilakukan upacara pernikahan. Di sini disampaikan pula syarat-syarat keluarga dan adat setempat yang harus dipenuhi dan ditaati oleh keluarga saya saat meminang selanjutnya nanti. 

Ada hal yang saya anggap penting dari acara adat meminang ini yang identik dengan keseriusan, yaitu adanya salah seorang sesepuh keluarga perempuan yang bisa mencairkan suasana dengan humor-humornya untuk membalut percakapan. Tentu tak jarang mempelai calon suami istri menjadi sasaran empuk untuk digoda. Tawa renyah dan senyum simpul pun keluar dari setiap orang yang mengikuti jalannya acara.

Sebenarnya ada beberapa jenis pernikahan bagi masyarakat Bali selain meminang atau yang lazim disebut ngidih. Ngidih saat ini dianggap cara yang paling terhormat bagi masyarakat Bali karena cara ini merupakan cara pernikahan baik-baik dan disetujui oleh seluruh pihak. Ada lagi cara yang lain, yaitu ngerorod atau maling yang dikenal dengan istilah kawin lari, serta nyentana atau nyeburin yang biasanya dilakukan oleh penganut sistem matrilineal. Ngerorod atau maling seperti arti katanya adalah perkawinan yang menikahi perempuan tanpa persetujuan keluarga pihak perempuan. Sedangkan nyentana atau nyeburin adalah pihak lelaki yang nanti kemudian diambil oleh pihak perempuan karena pihak perempuan tidak memiliki saudara lelaki.

Mulai Kedatangan Tamu yang Berkunjung ke Rumah
Dan setelah kesepakatan kedua belah pihak tercapai, maka mulai lah rumah saya ramai dikunjungi tamu para kerabat dan handai taulan yang datang untuk mengucapkan selamat. Para tamu ini biasanya datang membawa sokasi atau wadah dari anyaman bambu yang berisi beras, gula, kopi, panganan, atau pun kado yang berisi kain.

Mebat untuk Undangan Adat

Selasa, 8 Oktober 2013 Masehi atau Anggara Kliwon (Anggarkasih) Julungwangi dilaksanakan mebat atau membuat makanan olahan Bali seperti lawar dan sate oleh para undangan adat. Mebat ini dilakukan di pondok di kebun depan rumah saya yang jauh-jauh hari sudah dipersiapkan. 

Menyiapkan Babi yang Akan Disembelih
Dalam hajatan masyarakat Bali, para lelaki diundang secara adat untuk bersama-sama mengolah makanan yang nantinya digunakan untuk megibung atau makan bersama. Makanan olahan Bali ini juga nantinya akan diberikan ke masing-masing rumah para undangan, ke rumah sanak saudara, dan juga sebagai isin sok atau oleh-oleh kepada mereka yang bertamu.

Dua ekor babi disembelih pagi-pagi buta. Berbagai macam bumbu diracik. Dan kemudian berbagai macam jenis lawar diolah sambil beberapa yang lain memanggang sate yang jumlahnya lebih dari seribu lilit. Saya yang menjadi tuan rumah hilir mudik menjadi perantara. Para undangan perlu ini dan itu, maka saya dan beberapa saudara sepupu yang sibuk mencarikannya. 

Mebat
Manggang Sate
Megibung
Hari ini sepertinya adalah hari tersibuk dari seluruh rangkaian acara. Sungguh melelahkan. Belum lagi tamu-tamu berdatangan sampai malam yang tentu saja harus disambut. Biasanya para tamu yang berdatangan diajak ngobrol pertanda mereka mengucapkan selamat dan ikut bersukacita dilaksanakannya acara pernikahan ini.

Madik atau Meminang

Dan hari H pun tiba. Rabu, 9 Oktober 2013 Masehi atau Buda Umanis Julungwangi, tepat jam delapan pagi kami sekeluarga besar disertai kepala adat dan para kerabat bertandang ke rumah mempelai perempuan di Desa Takmung, Klungkung. Tak perlu waktu lama dari rumah saya untuk ke Takmung. Jarak yang hanya sekitar 10 kilometer ini ditempuh kurang lebih selama 15 menit.

Ketua Adat dari Masing-masing Pihak Berjabat Tangan dalam Proses Meminang

Mepamit Kepada Leluhur dan Memohon Restu dari Hyang Widhi di Pura Keluarga Mempelai Perempuan
Beberapa keluarga dari pihak mempelai perempuan sudah menyambut di depan rumah. Kami anggota keluarga yang datang menyertai dipersilahkan duduk di pelataran balai dangin (rumah timur),  balai delod (rumah selatan), dan balai dauh (rumah barat). Sementara di balai daja (rumah utara) ditempati oleh para sesepuh masing-masing keluarga didampingi oleh para kepala banjar dan desa adat. Di balai dangin, sudah terlihat banten-banten ditata sebagai sarana upacara meminang di pihak perempuan. 

Di dalam ilmu arsitektur Bali, setiap bangunan rumah di sebuah pekarangan memiliki fungsinya tersendiri. Maka tak heran balai daja yang lantainya paling tinggi digunakan sebagai tempat para sesepuh berdialog. Sementara balai dangin yang lantainya juga tinggi tetapi lebih rendah dari balai daja digunakan sebagai tempat melakukan upacara manusa yadnya seperti natab banten saat meminang sang anak gadis tuan rumah. Sementara di balai delod dan balai dauh yang dianggap kurang suci digunakan sebagai tempat duduk mereka yang menyaksikan jalannya acara.

Ada dua hal yang dilakukan dalam proses memadik atau meminang kali ini. Yang pertama adalah meminang secara sekala (kehidupan manusia), dan yang kedua adalah secara niskala (Hyang Widhi dan leluhur). Secara sekala dilakukan dengan dialog keluarga kemudian menandatangani buku nikah oleh kedua mempelai dengan saksi-saksi keluarga dan tokoh adat sehingga sah secara hukum. Setelah selesai secara sekala, dilanjutkan secara niskala. Dalam runtutan acara secara niskala ini kedua mempelai melakukan persembahyangan di sanggah (pura) di rumah mempelai perempuan dan di pura paibon keluarga besarnya. Ini diartikan bahwa sang mempelai perempuan berpamitan kepada para leluhur untuk meninggalkan keluarganya untuk ikut bersama suaminya. Sementara mempelai lelaki diartikan  memohon izin dan restu dari para leluhur dan Hyang Widhi untuk membawa sang mempelai perempuan.

Mekala-kalaan

Selesai sudah rangkaian acara di rumah mempelai perempuan. Ini berarti sang mempelai perempuan sudah bisa dibawa serta pulang ke rumah mempelai lelaki. Ni Komang Trisna Karini pun kemudian diajak serta pulang ke rumah oleh adik saya beserta seluruh keluarga besar. Beberapa kerabat dari Takmung pun turut serta mengantarkan.

Sesampainya di rumah, ada jeda waktu untuk istirahat sambil menunggu datangnya ida pedanda (pendeta) yang akan memimpin upacara pernikahan ini. Ada banyak upacara yang dilaksanakan hari ini di berbagai daerah, sebagian besar adalah upacara pernikahan. Ida pedanda yang akan muput upacara di rumah saya baru saja usai muput upacara di dua tempat yang berbeda sebelumnya, sehingga ia baru bisa datang tepat pada tengah hari.

Maka, ketika Ida Pedanda Gede Putra Abiyan dari Griya Manduang datang, dimulailah upacara mekala-kalaan. Inilah puncak upacara pernikahan mereka. Upacara ini mempunyai makna yang amat dalam. Sesuai dengan namanya, mekala-kalaan yang memiliki kata dasar "kala" ini diartikan sebagai sebuah kekuatan buruk, yang penuh dengan energi negatif yang disimbulkan dalam wujud raksasa. Diadakannya upacara ini tujuannya adalah menetralisir sifat-sifat kala yang ada dalam tubuh mempelai sehingga sedapat mungkin bisa berubah menjadi sifat dewa-dewi yang bijaksana dan dipenuhi dengan kebajikan.

Mekala-kalaan di Halaman Rumah
Upacara ini dilaksanakan di tengah pekarangan rumah yang dalam istilah Balinya disebut dengan natah. Natah merupakan titik sentral kekuatan kala sebagai penguasa wilayah madyaning mandala perumahan. Di sini dilakukan berbagai proses simbolis peresmian pengantin dalam melanjutkan tahap kehidupannya dari brahmacari (masa belajar) menjadi grahasta (masa membina rumah tangga).

Bersembahyang Bersama di Pura Keluarga
Nunas Wangsupada atau Air Suci Seusai Metataban
Usai di natah, dilakukanlah persembahyangan bersama di sanggah atau pura keluarga dan dilanjutkan dengan natab banten di balai dangin. Usai nunas wangsuhpada atau air suci, maka usai sudah upacara pernikahan ini. Resmi sudah I Ketut Gde Artha Susila dengan Ni Komang Trisna Karini menjadi sepasang suami istri yang telah direstui oleh  Hyang Widhi dan leluhur serta disaksikan oleh keluarga dan masyarakat.

Resepsi

Kali ini adalah acara yang lebih bersifat nasional. Bukan lagi berdasarkan adat dan agama. Adik saya menentukan waktu resepsi ini dimulai setelah jam empat sore karena perkiraan waktu selesainya upacara. Tapi siapa sangka salah satu tamu penting -Bupati Klungkung terpilih- datang lebih awal. Alhasil, foto bersama sang dengan bupati pun seadanya sebelum selesai make up.

Di Meja Penerima Tamu Resepsi
Bersama Salah Satu Tamu Resepsi
Menjelang malam, tamu yang datang makin ramai. Pak Pecalang dari Banjar Adat Tangkas Klungkung berjaga di pintu masuk menjaga keamanan. Beberapa obor dari bambu yang sengaja dipasang untuk menambah suasana etnik menyala redup. Alunan senandung gamelan rindik kini berganti dengan alunan instrumen seruling Gus Teja. Dua orang yang menjadi videografer dan fotografer dari Nyama Bali Studio masih setia mendokumentasikan acara walaupun mereka sudah tampak lelah bertugas dari pagi.

Sampai akhirnya mendekati tengah malam, tamu-tamu telah pulang dan rumah mulai sepi. Hanya rombongan dari Dewata Harley Davidson yang menjadi tamu terakhir tapi menjadi yang paling rusuh. Berbotol-botol bir dan vodka menjadi menu mereka. Musik instrumen seruling Gus Teja sengaja diganti oleh salah satu dari mereka menjadi alunan house music. Waduh... Untung saja beberapa kerabat yang sudah tua termasuk orang tua saya sudah istirahat di lokasi yang agak jauh.

Suasana Resepsi
Suasana Resepsi
Baru dini hari suasana rumah mulai sepi. Bisa dibayangkan repotnya esok hari kami harus membereskan semua sisa acara ini.

Tiga Harian dan Ngelus Tetaring

Tiga hari berikutnya adalah metataban bagi pengantin. Ini artinya mereka sudah bisa keluar rumah. Selama tiga hari sebelumnya mereka tidak diperbolehkan keluar dari rumah. Merupakan pantangan bagi pengantin baru. Hari ini juga tetaring yang terpasang di halaman rumah dibongkar. Segala perhiasan dan dekorasi juga dilepas. Suasana kembali seperti semula walaupun masih menyisakan barang-barang yang berantakan. Beres-beres tentu saja akan masih memerlukan waktu yang cukup lama.

Dan Selanjutnya

Suasana rumah kembali seperti semula. Sanak saudara sudah kembali ke rumahnya masing-masing. Dan saya kadang merasakan agak aneh tiba-tiba ada anggota keluarga baru di rumah, yaitu adik ipar saya. Masih terasa kikuk saja. Mungkin belum terbiasa. Hmmm...

Akhirnya selesai sudah. Acara ini memang menyisakan lelah yang luar biasa dalam mempersiapkannya. Saya sangat berterima kasih kepada sanak saudara yang telah bersedia direpotkan dalam acara ini serta meluangkan waktunya untuk bekerja tak kenal lelah bersama.

Mempelai
Dan yang pasti, bagi adik saya, pernikahannya ini tentu bukan sekedar lelah mempersiapkan dan mengikuti jalannya acara. Bukan pula meriahnya resepsi dan suksesnya mengikat janji sekala dan niskala. Bukan pula sekedar membahagiakan orang tua dan keluarga. Atau bukan pula hanya untuk update status sosial telah bersuami atau beristri. Tetapi lebih kepada kesadaran diri dalam membuat keputusan untuk beranjak dalam jenjang kehidupan manusia dan siap melangkah ke depan dengan segala resiko baik buruk bersama ia belahan jiwanya. Congratulation My Brother! Wish you luck and happy always. []

Klungkung, Oktober 2013

Comments