Skip to main content

Sejenak dalam Festival Wayang

Berawal dari sebuah artikel liburan di harian Kompas, saya kemudian mengetahui bahwa ada sebuah festival wayang tahunan yang kembali diadakan lagi pada tahun 2013 ini di Taman Fatahillah di kawasan Kota Tua Jakarta. Festival wayang tahunan ini telah dimulai sejak tahun 2011 lalu yang berarti bahwa pada tahun 2013 ini adalah festival yang ketiga kalinya. Disponsori oleh Yayasan Total Indonesia, festival wayang ini diselenggarakan juga melalui kerja sama Sekretariat Wayang Nasional Indonesia (Senawangi), Persatuan Perdalangan Indonesia (Pepadi), dan Museum Wayang.
Festival Wayang Indonesia 2013
Langit Jakarta mendung seharian ini. Hujan gerimis turun sedari pagi sampai sore. Jika berkeinginan memotret landscape ibukota, tentu gambar-gambar yang dihasilkan akan pucat pasi. Tetapi di kawasan Taman Fatahillah yang basah karena hujan, stan-stan pameran tetap berdiri walaupun terbungkus oleh kain-kain pelindung hujan. Ketika saya tiba di tempat ini, acara festival secara resmi sebenarnya belum dimulai karena acara akan dibuka menjelang malam nanti untuk kemudian digelar dari hari ini sampai tiga hari berikutnya, total selama empat hari mulai dari tanggal 4 - 7 Juli 2013.

Kegiatan-kegiatan seperti ini sangat menarik bagi saya. Bukan karena ia hanya sekedar hiburan bagi pengunjungnya, tetapi yang lebih penting adalah sebuah upaya dalam melestarikan kekayaan yang diwariskan kepada penerus dengan segala nilai yang terkandung di dalamnya. Selain itu, wayang juga adalah salah satu identitas bangsa Indonesia. Walaupun wayang paling banyak ditemui di Pulau Jawa (termasuk Sunda) dan Bali, wayang sebenarnya ada di berbagai daerah Indonesia seperti Sumatera dan Kalimantan.
Wayang Golek Khas Sunda
Menyusuri stan festival wayang satu per satu searah putaran jarum jam. Yang paling pertama saya kunjungi adalah stan yang diisi oleh Komunitas Wayang Beber Metropolitan. Komunitas wayang ini pernah saya temui di Pura Aditya Jaya Rawamangun Jakarta ketika mereka tampil dalam acara Malam Sastra Saraswati beberapa bulan silam. Anggotanya berasal dari kalangan apa saja yang mana sebagian besar saya lihat adalah orang-orang nyentrik yang memiliki cita rasa dan kegemaran akan seni. Pun dinamakan dengan kosa kata metropolitan karena tema-tema yang diangkat dalam wayang mereka adalah tentang fenomena-fenomena metropolitan. Wayang beber adalah wayang berupa lembaran-lembaran atau beberan gambar dalam pertunjukannya dan merupakan salah satu pertunjukan wayang yang hampir punah. Mulai dari lukisan-lukisan di atas kertas, sendal jepit, piring dan sendok bekas, sapu ijuk, serta berbagai barang sehari-hari lainnya menjadi peralatan mereka dalam memainkan wayang. Berbagai lukisan dan pernak-pernik karya anggota komunitas ini juga dipamerkan untuk dijual dengan tujuan menambah uang kas. Katanya supaya kita makin kreatif dan tidak tergantung pada orang lain dalam masalah keuangan.

Komunitas Wayang Beber Metropolitan
Atas : Perlengkapan Wayang Beber yang Terbuat dari Sendal dan Piring Bekas; Bawah Kiri : Alat Musik yang Terbuat dari Piring-piring Bekas; Bawah Kanan : Kain yang Dibeberkan Sebagai Media Pertunjukan Wayang
Melaju lagi ke stan berikutnya, saya temui Wayang Bordir Jogjakarta Mbah Dipo yang menjual baju-baju kaos bergambar wayang serta berbagai macam beskap loreng dan blangkon jawa . Di sebelahnya lagi ada stan yang menjual berbagai jenis buku tentang wayang. Ada kamus wayang, ada cerita wayang, sampai buku-buku primbon, babad, dan terjemahan serat-serat Jawa masa lalu. Kemudian di sisi kanan dan kiri mengapit pintu masuk bagian barat Taman Fatahillah, wayang-wayang golek khas sunda berjejer di meja-meja stan bagian depan. Ada juga stan yang memajang boneka-boneka wayang dalam akuarium kaca yang bercerita tentang isu-isu masa kini. "BBM boleh naik. Yang penting lemper, gorengan, sego kucing tidak naik.", begitu salah satu isu yang diangkat pada salah satu produk mereka. Kocak juga.

Produk-produk Kerajinan yang Berkaitan dengan Wayang : Baju Kaos, Blangkon, Buku-buku Wayang, dan Berbagai Pernak-pernik dengan Berbagai Range Harga
Suatu Kali di Warung Angkringan : BBM Boleh Naik. Yang Penting Lemper, Gorengan, Sego Kucing, Tidak Naik
Tak banyak stan-stan festival wayang yang menyita perhatian saya yang memang jumlahnya tak begitu banyak. Saya banyak melihat anak jalanan mebawa wayang-wayang yang terbuat dari kertas karton di Taman Fatahillah yang telah beranjak malam ini. Barulah saya ketahui kemudian di penghujung putaran jam saya berkeliling, yaitu ada sebuah stan yang memajang dan menjual wayang-wayang dari kertas karton seharga dua ribu rupiah. Maka tak mengherankan banyak anak-anak yang membawanya di taman ini, yang kemudian nanti saya ketahui bahwa tak sedikit anak-anak jalanan tersebut mengambil wayang secara cuma-cuma yang direlakan oleh pemilik stan.

Adalah stan Rumah Wayang Pulangasih yang menjual wayang-wayang dari kertas karton ini. Adhi Yoga Utama yang saya panggil ia dengan Mas Yoga menjadi pionir rumah wayang ini. Ia bukanlah pembuat wayang, juga bukan seorang dalang. Mas Yoga adalah seorang pegawai perusahaan swasta yang mencintai wayang. Dari obrolannya, saya ketahui memang ia "gila" dalam menjiwai wayang. Maka cita-citanya untuk melestarikan wayang dan segala pesan di dalamnya ia wujudkan dengan mendirikan Rumah Wayang Pulangasih. Luar biasa.
Anak-anak Jalanan di Kawasan Kota Tua Jakarta Memainkan Wayang yang Terbuat dari Karton
Wayang-wayang Murah Alternatif yang Dipasarkan oleh Rumah Wayang Pulangasih
Wayang-wayang Murah Alternatif yang Dipasarkan oleh Rumah Wayang Pulangasih

Sayang, dari sekian banyak stan, tak ada stan-stan yang memamerkan wayang-wayang dari Bali dan Lombok. Juga tak ada saya lihat stan yang berisikan wayang-wayang dari Sumatra dan Kalimantan. Semua hanya wayang sunda dan jawa. Kecuali wayang bali yang sampai saat ini masih sangat hidup sebagai bagian adat dan budaya di daerahnya sendiri, wayang-wayang dari daerah luar Jawa inilah yang menurut saya lebih baik dan lebih perlu untuk diperkenalkan lebih luas lagi karena ia sangat jarang diketahui publik.

Selain Wayang Beber Metropolitan dan Rumah Wayang  Pulangasih yang cukup menyita perhatian saya, sebenarnya ada satu lagi wayang yang sedikit terpatri pada ingatan saya. Yaitu Wayang Kampung Sebelah yang didalangi oleh Ki Jitheng Suparman yang tak ada membuka stan tapi nanti mengisi acara. Komunitas wayang yang berasal dari Sukoharjo Jawa Tengah ini cukup menarik perhatian saya karena lakon-lakonnya adalah lakon masa kini serta dibawakan dengan tarian dan nyanyian yang lucu. Selain itu yang tidak kalah penting adalah pesan-pesan moral yang disampaikan melalui cerita-ceritanya. Ada satu hal yang belum saya lupakan dari Ki Jitheng Suparman ketika ia tampil dalam sebuah acara yang dibawakan oleh Sule, Parto, dan Andre -para pelawak Opera Van Java- di sebuah stasiun televisi swasta. Sebuah pertanyaan serius tapi ditanyakan dengan santai ia tujukan kepada Sule dan kawan-kawan. Pertanyaan Ki Jitheng Suparman kira-kira seperti ini : "Hai Sule... Kamu melawak seperti ini dan setiap hari muncul di televisi, apa sebenarnya pesan-pesan yang kamu sampaikan kepada masyarakat? Adakah lawakan-lawakanmu itu memberikan manfaat dan membawa kemajuan seni budaya untuk kebaikan umat manusia?". Parto dan Andre hanya cengar-cengir. Sementara Sule yang sepertinya bisa mengerti maksud sang dalang hanya menjawab malu pertanyaan sekaligus kritik pedas tersebut, "Saya melawak hanya untuk cari makan Ki..", begitu jawabnya dengan muka memerah. Menyedihkan.

Pertunjukan Wayang Dimulai di Malam Pembukaan Festival Wayang Indonesia 2013
Sang Dalang Beraksi Mempertunjukkan Kebolehannya
Dan ketika malam telah tiba waktunya, pembukaan Festival Wayang 2013 ini pun dibuka. Panitia pembawa acara terdengar memanggil masyarakat yang hadir di kawasan kota tua. Acara ini memang gratis dan ditujukan untuk seluruh lapisan masyarakat berbaur dengan undangan-undangan resmi dari berbagai instansi. Kursi-kursi terisi walaupun tak penuh. Setelah berbagai sambutan dari pihak terkait dan tarian betawi sebagai pembuka, maka gamelan pun berbunyi. Wayang-wayang kulit pun beradu di depan layar terkembang yang dimainkan oleh seorang dalang muda pemenang festival tahun ini. Sebuah teater asli nusantara akhirnya dimulai malam ini. Sebuah teater yang belum disadari oleh kebanyakan orang, bahwa tokoh-tokoh yang dimainkan di dalamnya memberikan nilai-nilai keluhuran dan sekaligus mengajak kita bercermin kembali akan peran kita di dunia ini. []

Jakarta, Juli 2013

Comments

  1. Mas/ Mbak,

    Saya boleh ralat? Setahu saya, Rumah Wayang Pulangasih itu yang 'mbaureksa' namanya mas Yoga deh..

    ReplyDelete
  2. Iya benar. Namanya Mas Yoga. Tepatnya Adhi Yoga Utama.
    Terima kasih atas koreksinya.

    :-)

    ReplyDelete

Post a Comment