Skip to main content

Menyusuri Kabut Cikuray

Saya masih tak menyangka akan mendaki Gunung Cikuray di akhir pekan ini. Beberapa hari sebelumnya saya hanya merencanakan dan mengajak Amien -rekan saya di Astacala- untuk menemani melakukan hunting foto di kawasan Gunung Papandayan di Garut. Tetapi karena Amien yang tiba-tiba mendapatkan tugas dari kantornya, jadilah Petong yang saya ajak. Ia yang katanya mau ngikut ke mana saja  menyarankan untuk pergi ke Gunung Manglayang di timur Bandung. Tapi karena ajakan Muron, Cikuray lah yang akhirnya kemudian menjadi pilihan.


Menyusuri Kabut Cikuray

Gunung Cikuray adalah salah satu gunung tidak aktif yang berlokasi di Garut, Jawa Barat. Dengan tinggi 2818 m dpl, ia menjadi gunung tertinggi keempat di Jawa Barat setelah Gunung Ciremai, Gunung Pangrango, dan Gunung Gede. Jika dibandingkan dengan tiga gunung yang saya sebutkan belakangan tersebut, tentu saja Gunung Cikuray tidak begitu dikenal dan kurang menjadi pilihan favorit para pendaki. Pemandangan alam yang disajikan Gunung Cikuray bisa dibilang tak seindah gunung-gunung tersebut, hanya perkebunan teh dan hutan tropis yang mendominasi. Tetapi dari segi karakteristik jalur pendakian, bisa dibilang tanjakannya akan menguras banyak tenaga. Lihat saja peta topografi Gunung Cikuray ini, garis-garis konturnya rapat dan berdekatan di hampir seluruh punggungannya yang menandakan jalurnya yang terjal.

* * *

Dan pagi-pagi itu, dari Sekretariat Astacala di Bandung, berangkatlah saya bersama Petong, Muron, dan Rendy -ketiganya juga rekan-rekan saya di Astacala- menunggangi motor-motor tangguh pinjaman. Wah... Naik motor! Ini cukup menantang karena harus menggendong carrier yang berisi berbagai peralatan. Selain itu, yang menjadi pertimbangan utamanya adalah waktu dan akses ke titik start pendakian. Ya, waktu yang kami miliki hanya sabtu minggu ini. Sedangkan untuk akses ke lokasi memang hanya bisa dilalui motor atau ojek, kendaraan roda empat tidak diperkenankan masuk sampai Menara Pemancar -titik start pendakian- yang jaraknya masih cukup jauh.

Tepat tengah hari setelah menempuh perjalanan dari Bandung sampai Garut, tibalah kami di Dayeuhmanggung, Cilawu -desa terakhir menuju titik start pendakian-. Setelah makan siang di sebuah warung kecil milik penduduk, kami melanjutkan perjalanan menyusuri perkebunan teh Dayeuhmanggung, perkebunan teh milik PTPN VIII warisan Belanda. Jalanan mulai berbatu dan rusak. Sesekali kami berpapasan dengan petani yang melintas di perkebunan yang menghijau ini. Udara dingin khas pegunungan mulai menyusup masuk menembus pakaian. Samar-samar di balik kabut terlihat jajaran tower-tower menara di ketinggian bukit. Ya, siang ini kabut tebal turun menutupi pandangan.

Rendy Berpose Beberapa Puluh Meter Setelah Mendaki dari Menara Pemancar

Di Menara Pemancar, sudah terlihat beberapa pendaki yang baru saja turun. Sebuah warung sederhana yang menjual makanan dan minuman berdiri di tepi ujung jalan perkebunan ini. Tak jauh dari situ, sebuah pos tempat perizinan berdiri. Sumbangan seiklasnya bisa kita berikan setelah mengisi buku tamu untuk mendaki. Sementara, tower-tower menara pemancar stasiun televisi berdiri ringkih dalam balutan kabut tebal. Titik ini memang lokasi yang cukup tinggi dan bisa menggapai seluruh dataran di sekitar Garut, sehingga tak salah kalau stasiun-stasiun televisi menempatkan menara pemancarnya di sini.

* * *

Dari Menara Pemancar inilah perjalanan mendaki akan dimulai. Jika tidak dalam musim kemarau berkepanjangan, air bisa bisa kita penuhi di sini. Dari informasi yang kami dapatkan sebelumnya, tak ada sumber air yang akan kita temui di jalur pendakian Cilawu ini sampai ke Puncak Cikuray. Tapi nanti setelah memasuki hutan, ada pipa memanjang yang mengalirkan air yang saya temui di antara jalur perjalanan Pos 1 dan Pos 2. Ada beberapa titik sambungan pipa yang menyemburkan air, dan dari semprotan bocoran air pipa yang mengeluarkan bunyi inilah yang membuat saya mencari tahu. Karena belakangan ini sering hujan, sepertinya beberapa lembahan di atas mengalirkan air dan penduduk setempat memanfaatkannya untuk dialirkan ke bawah.

Mendaki dengan Memanfaatkan Akar-akar Pohon Sebagai Pegangan

Saya berjalan mendaki tak terlalu cepat. Malah lebih sering istirahat. Nafas ngos-ngosan. Sudah lama saya tak mendaki gunung. Ternyata saya harus beradaptasi lagi dengan kegiatan mendaki gunung ini. Puncak gunung tak kelihatan sama sekali. Pun begitu juga dengan tower-tower menara pemancar yang seharusnya bisa menjadi titik acuan kini juga tak terlihat. Kabut yang turun cukup tebal. Semua serba putih. Hanya samar di sebelah kiri jalur awal pendakian ini terlihat rerumputan hijau cenderung kering yang menghampar luas dengan sebuah gubuk petani menyembul ibarat sebuah lukisan di atas kanvas.

Setelah menyusuri kebun teh dan rerumputan bekas ladang penduduk ini, hutan pun dimasuki. Pepohonan yang tumbuh di kawasan gunung ini adalah pepohonan khas pegunungan tropis Jawa Barat. Mirip dengan hutan-hutan kawasan Situ Lembang atau Ciwidey, tempat saya sering bermain dulu. Awal dari jalur pendakian masih bersahabat, alias tak banyak tanjakan-tanjakan curam. Tapi setelahnya, hampir sebagian besar memerlukan pegangan tangan pada akar dan cabang pepohonan untuk menambah ketinggian. Saya menghirup dalam-dalam udara dari atmosfir hutan pegunungan di kala istirahat. Di sebelah kanan saya mulai terlihat lembahan luas dari salah satu sisi Gunung Cikuray.

Melepas Lelah Perjalanan

Tercatat ada beberapa pos pendakian di sepanjang jalur ini sampai ke puncak. Jangan bayangkan pos pendakian adalah sebuah pos yang berupa rumah atau bangunan yang berfungsi sebagai pelindung. Pos yang dimaksud di sini adalah lokasi-lokasi yang tanahnya datar di mana bisa digunakan sebagai tempat mendirikan tenda, hampir sama seperti setiap gunung di Indonesia. Dan yang pasti, sampah-sampah plastik, kaleng, dan botol akan mudah dijumpai di sekitar lokasi tempat bermalam para pendaki ini. Begitu juga tali-tali rafia yang bergelantungan di pepohonan bekas mengikatkan tenda. Tak usah ditanyakan lagi bagaimana sebagian besar kesadaran para pendaki gunung di negeri kita ini. Petong, yang paling banyak mengoceh di sepanjang perjalanan berkomentar, "Siapa yang mengotori gunung dengan sampah?", jawabnya "Tentu saja pendaki gunung, masa tukang sayur". Sebuah joke sekaligus kritik sederhana yang ditujukan kepada mereka pendaki gunung, yang tentu saja termasuk kritik pada diri kami sendiri.

* * *

Menjelang malam, sampailah kami di ketinggian 2100 m dpl. Lokasi ini disebut sebagi Pos 3 dengan lahan datar yang cukup luas. Setelah beristirahat mengambil nafas beberapa menit, tugas pun dibagi. Muron mendirikan tenda dan memasang flysheet. Petong memasak. Saya mencari kayu dan membuat api. Sementara Rendy membantu Muron dan selanjutnya ikut mencari kayu untuk persediaan sampai pagi.

Usai makan malam, saya segera membungkus diri dengan sleeping bag yang hangat. Api unggun yang menyala di luar tenda tak menarik minat saya yang sudah lelah. Padahal Petong, Muron, dan Rendy terdengar sesekali tertawa dalam obrolan mereka. Biasanya saya senang duduk bercerita sambil menikmati kopi susu melalui hangatnya obrolan api unggun di tengah hutan. Tapi malam ini saya memang benar-benar lelah. Malam kemarin saya kurang istirahat. Jadilah saya nyenyak terlelap sampai tengah malam.

Ketika suasana telah sepi, tiba-tiba suara rombongan pendaki terdengar membangunkan dan menyapa di samping tenda. "Punten Kang, bade ngiring istirahat". Saya sedikit terkejut, ternyata tengah malam begini masih banyak yang melakukan perjalanan ke puncak. "Mangga...", begitu saya menyahut masih setengah mengantuk dan tanpa keluar dari dalam tenda. Sepertinya mereka juga maklum bahwa saya dan rekan-rekan saya sedang beristirahat. Petong saya lihat bergeliat ketika rombongan pendaki itu lewat. Rendy benar-benar terlelap tak bergerak. Sedangkan Muron tetap meringkuk di luar tenda tak jauh dari api unggun yang makin mengecil untuk menyisakan bara.

* * *

Pagi menjelang. Cahaya matahari mulai masuk di sela pepohonan dan menerangi masuk ke dalam tenda. Petong terdengar sudah sibuk di luar menyiapkan minuman hangat dan sarapan. Bara sisa api unggun semalam juga dihidupkan untuk mengusir dingin pagi yang masih tersisa. Saya melanjutkan memasak nasi di atas api unggun. Api lumayan besar digunakan memasak sehingga bisa menghemat bahan bakar spritus pada trangia. Pun begitu juga dengan tempe dan krupuk sebagai menu sarapan pagi, juga diselesaikan di atas api unggun. Ditambah dengan sayur sup dan telor dadar racikan Petong, perut kami pun terisi dan siap melanjutkan perjalanan.

Suasana Pagi di Depan Tenda

Gunung Cikuray ini terkenal angker, begitu kata orang. Konon pada masa lalu kawasan gunung ini merupakan tempat pertapaan para pendeta Kerajaan Padjajaran, entah di mana titik tepatnya tempat tersebut. Maka tak mengherankan jika gunung yang juga disebut sebagai Gunung Srimanganti ini sering didaki oleh orang-orang yang mempunyai tujuan semedi. Dari data yang saya dapatkan, beberapa anggota Astacala pernah ikut melakukan operasi SAR mencari orang yang bersemedi dan hilang di gunung ini pada tahun 2000 silam.

* * *

Perjalanan di hari kedua menuju puncak Gunung Cikuray sepertinya akan lebih berat. Kontur jalur perjalanan pada peta terlihat makin rapat, itu artinya akan semakin terjal. Dan benar saja, jalur makin menanjak sampai di sebuah pertemuan anak punggungan di sebuah punggungan utama yang disebut sebagai Pos 6 atau juga disebut Pos Puncak Bayangan. Di sini kami beristirahat sambil menghabiskan biskuit coklat. Tak jauh dari tempat kami istirahat, satu rombongan pendaki yang sedang dalam perjalanan turun juga sedang beristirahat. Pun beberapa menit kemudian, satu dua pendaki mulai datang dari arah puncak. Menjelang siang, banyak pendaki yang mulai turun. Kebanyakan dari mereka bermalam di puncak gunung. Dari obrolan bersama mereka, para pendaki itu ada yang berasal dari Jakarta, Depok, Bandung, Garut, dan juga Tasik.

Dari Pos Puncak Bayangan, perjalanan ke puncak hanya kurang lebih tiga puluh menit lagi. Tepat tengah hari, kami pun sampai di puncak. Sebuah bangunan bercat hijau berdiri di sana. Beberapa pendaki yang terlihat sebagai rombongan siswa pecinta alam tingkat SMA masih di sana. Di sekitar puncak, kabut masih tetap tebal. Tak kelihatan apa pun. Hanya awan putih di mana-mana. Jika langit bersih, maka Gunung Papandayan dan Gunung Guntur akan terlihat di arah barat. Begitu juga jauh di selatan, Samudera Hindia juga akan terlihat.

Di Puncak Gunung Cikuray

Usai berisitirahat menikmati suasana puncak, kami bergegas turun. Kami menargetkan sebelum gelap harus sudah sampai di Menara Pemancar, kalau bisa malah sudah harus sampai di Jalan Raya Tasik - Garut. Memang, kami mendaki gunung ini hanya dua hari. Bisa dibilang sebagai olah raga di alam terbuka yang sudah jarang saya lakukan. Lelahnya terasa. Pegalnya terasa. Badan sehat. Makan dan tidur pun jadi nikmat.

* * *

Sesuai perkiraan, kami sampai di Menara Pemancar sebelum gelap turun. Sampah-sampah plastik dalam trash bag di carrier kemudian saya letakkan di tempat sampah. Beberapa sampah botol plastik ditempatkan terpisah karena akan dijual oleh penjaga pos pendakian. Sebagai catatan, dalam perjalanan turun kami menemui sampah-sampah plastik berserakan di bekas tempat kami bermalam, padahal di pagi hari setelah kami meninggalkannya tempat tersebut sudah bersih. Sepertinya kemudian ada rombongan pendaki yang beristirahat di tempat tersebut dan lupa membawa kembali sampah-sampah mereka. Hhh... Kebiasaan-kebiasaan buruk menyampah di gunung seperti ini belum sepenuhnya dipahami oleh kita yang mendaki gunung.

Petong di Batas Hutan, sedang Bersiap untuk Melanjutkan Perjalanan

Setelah menuruni jalan berbatu di hamparan perkebunan teh menghijau di hari yang telah beranjak senja, malam pun menyambut di Kota Garut. Kabut tetap tebal tersamar gelapnya malam. Gunung Cikuray yang seharusnya tampak saat kami turun makin tak terlihat. Ketika kami menyantap makan malam di sebuah warung di salah satu sudut kota, pegalnya tangan dan kaki mulai terasa. Tapi tentu saja saya tak kapok. Esok atau lusa, di sela berbagai kesibukan saya masih akan mendaki gunung lagi. []

Bandung - Jakarta, Juni 2013

Comments