Skip to main content

Tak Ternilai dengan Uang

Hari mulai beranjak siang ketika minibus tujuan Batur Banjarnegara yang saya tumpangi masih ngetem menunggu penumpang di pinggiran jalan di sudut Kota Wonosobo. Telepon saya berdering. Mat Fadil, seorang asli Dieng menyapa saya di seberang sana. "Jadi ke Dieng nggak Mas...? Saya sudah menunggu di warung.", begitu ia bertanya dengan ramah dimana sehari sebelumnya saya sempat memberitahunya bahwa saya akan ke Dieng lagi.

Perjalanan yang menanjak mendaki, melewati lereng-lereng bukit yang gersang oleh pepohonan hutan, dan udara yang terasa dingin menembus jendela kendaraan menjadi pemandangan tak asing menuju dataran tinggi di titik tengah Pulau Jawa ini.

Seorang bapak setengah baya berpeci dan bersarung - pakaian khas masyarakat di daerah ketinggian memberitahu saya ongkos angkutan yang saya tumpangi ini; pemuda ramah yang menjadi kondektur yang mungkin usianya tidak melebihi saya dan yang mungkin tidak melanjutkan kuliah sehingga tidak menjadi pegawai kantoran di ibukota seperti saya sambil tersenyum mengembalikan kembalian setelah saya menyatakan "biasanya nggak segitu ongkosnya"; sopir minibus yang guratan-guratan wajahnya secara tidak langsung menggambarkan ia telah melalui jalur ini berkali-kali untuk menyambung kehidupan keluarganya; seorang ibu-ibu penjual krupuk di emperan kios sebuah pasar yang terbuyar ngantuknya ketika saya membeli sebungkus krupuk singkong dagangannya; seorang ibu-ibu lain yang menggendong karung yang mungkin berisi sayuran untuk dijual di pasar; juga orang-orang yang lalu lalang yang saya lihat sepanjang perjalanan menjadi pemandangan tersendiri; bahwa kita sebagai manusia itu sama saja, bahwa kita ada di dalam keragaman, bahwa kita semua adalah sebuah pemandangan kehidupan yang indah.

Pak Fadil dan Bu Fadil, begitu mereka saya panggil, telah menunggu di pertigaan jalan di depan warungnya. Suguhan teh manis hangat serta beberapa gorengan menyambut ketika kami duduk di bangku kecil di dalam warungnya. Begitu juga dengan sarapan pagi yang saya pikir tentu telah ia siapkan sebelumnya karena mengetahui bahwa saya akan datang hari itu.

Begitu juga di malam hari, setelah lelah mengunjungi objek-objek wisata diantarkan oleh kedua menantunya, Anton dan Dayat, saya sempatkan untuk singgah di rumahnya. Bercanda tawa di depan hangatnya arang di atas anglo bersama kedua cucu Mat Fadil. Pikiran saya pun melayang pada keramahan keluarga Pak Muctar di Ciwidey dan keluarga Pak Sunta di Wonokitri, juga keramahan para aparat Cisurupan, Cibatarua, dan Cileleuy di kaki Gunung Papandayan yang rumah mereka saya jadikan tempat menginap dahulu. Atau senyum dan sapa masyarakat di berbagai tempat yang saya temui, yang sering saya repotkan hanya sekedar minta air minum ataupun menumpang berteduh.

Mengunjungi sebuah tempat dan hanya terfokus pada objek tempatnya, mungkin tak akan banyak yang kita lihat. Danau, kawah, candi, atau pun perkebunan dataran tinggi. Mungkin Dieng tak jauh berbeda dengan kawasan selatan atau utara Bandung yang dingin. Lebih jauh mungkin kita bisa mengetahui mengenai catatan sejarah masa lalu tempat bersangkutan. Mungkin hitung-hitungan alokasi uang yang kita rencanakan cukup untuk mengira pengeluaran yang akan kita habiskan selama perjalanan. Untuk makan, untuk angkot, untuk ojek, atau yang lainnya.

Tapi ketika uang tak lagi bisa dijadikan tolak ukur, hanya perasaan terharu yang kita temukan. Tentang keramahan dan ketulusan seorang yang baru saya kenal setahun yang lalu dan itupun tak lebih dari dua hari waktu mengenalnya. Saya tak sanggup berkata ketika kedua menantu Pak Fadil yang juga berprofesi sebagai tukang ojek di Dieng mengatakan "Terserah Mas saja" ketika saya tanya berapa yang harus saya bayar kepada mereka yang telah mengantarkan saya berkeliling. Juga Pak Fadil dan Bu Fadil yang menolak uang pemberian saya di warungnya padahal selama saya di Dieng semua sarapan, makan siang, dan makan malam disediakan oleh mereka. "Anggap saja kita bersaudara Mas... Yang penting Mas Komang tidak lupa sama kami dan mampir ke rumah kalau ke Dieng lagi", begitu kata Pak Fadil tersenyum ramah.

Dan pikiran saya pun melayang kembali tentang keluarga Pak Muchtar di tepi Dusun Cibeber, Desa Mekarwangi, Ciwidey. Entah bagaimana kabar mereka sekarang. Beberapa kali saya dan teman-teman saya di Astacala menjadikan gudang dan halaman depan rumahnya sebagai base camp ketika saya berkegiatan di perkebunan teh dan tepian hutan Gunung Wayang. Setiap sore sepanci nasi yang masih mengepul disuguhkan kepada kami walaupun kami wanti-wanti memintanya untuk tidak perlu melakukan itu karena kami tahu Pak Muchtar hanyalah penjaga perkebunan yang anaknya banyak dan masih bocah, juga kami adalah mahasiswa yang tentunya tak selalu punya uang lebih untuk memberikan sesuatu sebagai ucapan terima kasih. Hanya foto-foto yang kami berikan beberapa minggu berikutnya sampai pada suatu saat Pak Muchtar berkunjung ke tempat kami membawa oleh-oleh sayur mayur dan seekor ayam. Duh... Tak ternilai lagi harga cetakan berlembar-lembar foto maupun harga seekor ayam jika dibandingkan dengan ketulusan yang ada di sana.

Mengingat kembali semua orang yang ditemui, perjalanan ibaratnya tak hanya melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, tapi juga melakukan perkenalan dan berbaur terhadap berbagai karakteristik sosial maupun budaya. Tentang sebuah seni yang tak tertuliskan, tentang sebuah peristiwa yang tak terfotokan, tentang segala hal yang mengetuk kepekaan kita, bahwa pada dasarnya semua manusia itu sama, terlepas apapun kondisinya. Tentang keragaman dan keindahan masyarakat negeri ini seperti yang banyak tertulis di buku-buku pelajaran sekolah. Bahwa ada kebanggaan yang terbentuk dari keramahan, ketulusan, dan rasa persaudaraan, yang masih ada dan tertanam rapi di dalam jiwa setiap orang. Semoga saja semua kebanggaan itu ada pada kita semua, dan tak teracuni oleh efek negatif pariwisata yang menggempur setiap sudut tempat eksotis ataupun jajahan budaya kapitalis yang menghitung segalanya dengan uang.

Banjarnegara - Wonosobo, Desember 2010

Comments

  1. ulasan dan infonya sangat menarik. kalo boleh saya copas ke sini. boleh?

    ReplyDelete
  2. @Kamar Cewek :
    Sebelumnya saya boleh masuk tidak ya ke dalam kamar? Hehehe...
    Terima kasih. Boleh, silahkan saja dicopas, yang penting dicantumkan sumbernya.

    ReplyDelete

Post a Comment