Skip to main content

Citarum di Awal Januari

Masih seperti dulu. Air yang membelah daerah perbukitan kapur Bandung Barat. Yang berkali-kali sudah Astacala menjadikan aliran ini tempat latihan. Begitu juga penggiat alam ataupun atlet olahraga air di seputaran Bandung. Citarum, salah satu sungai yang menjadi ikon Jawa Barat, yang terbesar dan terpanjang, yang di masa silam memisahkan dua kerajaan, Sunda dan Galuh.

Di Riak Citarum

Gemericik air jernih yang berasal dari nun jauh di kaki Gunung Wayang Pengalengan. Dimuarai oleh Cikapundung yang sepanjang hari selalu kulihat ketika bepergian kuliah dulu. Juga ditambah sungai-sungai kecil lainnya yang ikut menjadikannya tempat berlabuh terakhir. Yang ketika musim penghujan akan meluapkankan sebagian isinya di seputaran Dayeuhkolot dan Baleendah. Untuk kemudian mengalir berkilo-kilometer ke barat sampai di PLTA Saguling yang akan menjadikannya energi yang bisa menerangi malam. Dan pada akhirnya riak dan jeramnya bisa kulihat di sini, di sebuah jembatan kecil yang terlihat rapuh dan melengkung, yang menghubungkan Bantar Caringin dan Raja Mandala, sebelum nanti semua air di bawahku ini melewati Waduk Jatiluhur dan berakhir di Laut Jawa.

Pak Udeh dan Mak Udeh, warga pinggiran sungai ini sudah biasa menjadi tempat singgah kami. Mulai dari makan, mandi, istirahat, juga sampai bermalam. Senyum mereka yang ramah masih tetap kulihat menyambut.

Hari ini sebenarnya aku tak berminat turun. Memang dari awal kuniatkan untuk melihat dan foto-foto. Hanya saja, karena ada banyak provokator, akhirnya aku ikut turun juga. Alhasil, bajuku basah dan kering di badan karena tak ada pakaian ganti.

Timbul Tenggelam

Panas dan terik matahari mulai membakar ketika hari beranjak siang. Cukup melelahkan untuk portaging perahu sampai ke titik start ataupun dari titik pemberhentian. Tak sebanding dengan lamanya waktu pengarungan. Tapi tak mengapa. Kalau yang namanya mandiri, ya beginilah. Perahu dan awak sendiri, portaging pun juga sendiri. Beberapa A berkali-kali turun sampai sore menjelang. Sampai air mulai surut, pertanda pintu air di atas sedikit demi sedikit sudah ditutup.

Beberapa bocah bertelanjang dengan ceria tetap kulihat meluncur di atas jerigen kecil menyusuri jeram-jeram sepanjang aliran. Sementara aku sendiri yang lengkap dengan peralatan sesuai safety procedure tidak 100% bernyali untuk berenang survival.

Aku tersenyum menertawakan diriku sendiri. Sungguh benar kata mereka yang berpengalaman. Bahwa sesiap-siapnya dan sehebat-hebatnya seseorang di alam, tidak akan lebih mumpuni dengan orang yang sudah dari lahir mengenal alamnya. Seperti para serpha di pegunungan Himalaya ataupun para anak pantai dan nelayan di lautan lepas.

Ketika senja, sebelum pulang, kami sempatkan untuk singgah dan bersih-bersih di sebuah pemandian air panas yang tempatnya tak jauh dari tempat pengarungan ini. Terlihat daerah aliran sungai di sini masih menghijau. Sangat berbeda dengan di seputaran Bandung Selatan yang dipenuhi oleh rumah dan pemukiman kumuh. Atau penebangan hutan di lebih jauh ke hulunya.

Dan masih selalu terbentang ingatan akan Citarum. Aliran yang riaknya cukup untuk pemula. Tapi aliran sungai sekecil apapun tetap saja merupakan energi alam yang tidak bisa kita duga dengan pasti kedasyatannya. Kita manusia yang mengarunginya adalah bukan untuk menaklukkannya, tetapi untuk berdampingan dengannya, untuk melihatnya, untuk mengenalnya, juga untuk belajar bersamanya, di alam yang maha luas ini.

Find Citarum Picture In My Picasa
Bandung, Januari 2008

Comments

Post a Comment